untuk menolongmu.” Diusapnya lengan Anita. Anita memegang tangan Eli dan berkata,”Maafkan aku, Eli. Aku sungguh menyesal telah menyakitimu selama ini.”
“Sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Lebih baik kamu beristirahat saja supaya
cepat pulih lagi.”
“Betapa mulia hatimu, Eli.” Sebutir mutiara bening mengalir dari kedua mata Anita.
Eli tersenyum, diusapnya air mata Anita dengan lembut.
“Aku permisi dulu ya? Sudah ada papa dan mama yang menemani Anita di
sini.”
“Terima kasih Nak Eli. Saya antar pulang, boleh?” kata Papa Anita.
Eli berpikir sejenak. Kebetulan sepedanya sudah aman, karena dia titipkan pada pemilik warung dekat kecelakaan tadi. “Lebih baik aku menerima tawaran papa Anita, karena ibu pasti sudah sangat khawatir menungguku,” pikirnya. Sebentar kemudian Eli sudah berada di dalam Alphard yang mewah, melaju ke rumahnya.
****
Pak Novanto, papa Anita memandang ke sekeliling ruangan tamu rumah Eli. Hanya ada 2 buah kursi kayu yang sudah kusam catnya, menemani sebuah meja yang salah satu kakinya diikat dengan tali rafia. Sudah, hanya itu saja perabotan berharga yang dimiliki keluarga itu. Sementara dindingnya yang terbuat dari bilik bambu itupun sudah banyak yang keropos sehingga membentuk lubang di mana-mana. Lantai rumah yang masih asli dari tanah itu nampak agak becek, mungkin karena atapnya bocor. Benar-benar mengenaskan.