Yang terakhir adalah menurut konteks yuridis, yang dimana di dalam pencatatan perkawinan ialah pembuatan pencatatan hukum sekaligus sebagai peristiwa hukum yang mengandung nilai sakral oleh ketentuan hukum agama dan juga penentu dari keabsahan perkawinan tersebut. Apabila tidak dicatatkan dalam pencatatan perkawinan, maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan di mata hukum, karena tidak adanya bukti bahwa keduanya pernah melangsungkan pernikahan, hal ini sangat merugikan bagi pihak wanita.
D. Pendapat Ulama dan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, telah mengatur persoalan perkawinan wanita hamil yang terdapat di dalam Pasal 53 yang berbunyi:
1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Sedangkan menurut pendapat para ulama mengenai perkawinan wanita hamil, ada beberapa pendapat dari para ulama terkait permasalahan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa menikahi wanita hamil tersebut dinilai sah.
Namun sebagian ulama lainnya melarang hal ini. Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad yang dimana didukung kuat oleh firmal Allah SWT. Dalam Q.S. An-Nur ayat 3 yang artinya, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”
Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi dirinya jika memenuhi dua syarat: Pertama: Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’ala.
Kedua: Istibro’ (membuktikan kosongnya rahim). Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina.
E. Cara Untuk Menghindari Perceraian