Mohon tunggu...
Dwi Safty Wulandari
Dwi Safty Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Untuk menjadi bintang, kamu harus bersedia untuk ditempatkan di titik paling gelap. Karena bintang tidak dapat bersinar tanpa malam.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelisik Ikatan Pernikahan dalam Kacamata Hukum Perdata Islam di Indonesia

29 Maret 2023   21:05 Diperbarui: 29 Maret 2023   21:16 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

b) Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c) Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

d) Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. 

Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

f) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

C. Pendapat Penulis Mengenai Pentingnya Pencatatan Perkawinan Serta Dampak Apabila Pernikahan Tidak Dicatatkan (Dilihat dari sisi Sosiologis, Religius dan Yuridis)

Menurut konteks Sosiologis itu sendiri, masyarakat haruslah menjadi saksi aatau tahu bahwa pasangan tersebut telah menikah dan pernikahan keduanya sudah tercatat oleh negara, agar tidak adanya fitnah dan baik dari pasangan itu sendiri maupun keluarga dari kedua belah pihak dapat hidup dengan aman dan damai serta menghasilkan keturunan yang sah di mata agama dan juga negara. 

Dan untuk dampak dari yang akan terjadi apabila pasangan yang sudah menikah tidak mencatatkan pernikahannya maka hal tersebut dapat menimbulkan pertanyaan yang berujung pada pemikiran negatif sehingga timbul fitnah dan buah bibir bagi masyarakat yang berada di sekitar lingkungannya. Sehingga membuat pasangan maupun keluarga dari pasangan tersebut merasa tidak nyaman karena menjadi buah bibir dari masyarakat di sekitar.

Sedangkan menurut konteks Religius, agama haruslah memenuhi hak-hak serta kewajibannya. Banyak ulama fiqh berpendapat bahwa, sebuah pernikahan itu merupakan salah satu ibadah yang apabila dilaksanakan maka hal tersebut dapat menyempurnakan separuh agama. 

Dalam pencatatan perkawinan itu sendiri lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya, sehingga diharuskan bagi pasangan yang telah menikah untuk mencatatkan pernikahannya. Meskipun pencatatan pernikahan itu sendiri tidak disebutkan di dalam Al-Quran maupun Hadits, namun jika kita melihat dari sisi era atau perkembangan zaman, sudah tentu populasi manusia saat ini semakin bertambah dan jika tidak mencatatkan pernikahan, kita akan sulit untuk mendapatkan hak juga kewajiban kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun