Mohon tunggu...
Dwi Safty Wulandari
Dwi Safty Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Untuk menjadi bintang, kamu harus bersedia untuk ditempatkan di titik paling gelap. Karena bintang tidak dapat bersinar tanpa malam.

Selanjutnya

Tutup

Book

Book Review "Hukum Kewarisan Islam di Indonesia"

10 Maret 2023   22:11 Diperbarui: 10 Maret 2023   22:18 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BOOK REVIEW

Judul Buku : Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.

Penulis : Dr. Mardani.

Penerbit : PT RajaGrafindo Persada.

Terbit : 2015.

Cetakan : Cetakan Kedua, Januari 2015.

Buku karya Dr. Mardani yang berjudul "Hukum Kewarisan Islam di Indonesia" ini secara pasti membahas mengenai hukum waris islam yang berada di Indonesia, dimulai dari pembahasan mengenai pengertian hukum kewarisan islam, pembagian harta warisan dalam agama islam, wasiat dan hubungannya dengan hukum kewarisan, hibah, serta waris islam dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini. 

Jumlah halaman dari buku ini bisa dibilang standar apabila dibandingkan dengan buku yang membahas mengenai waris islam, dengan jumlah halaman 236 yang pada bagian akhirnya memuat dua lembar daftar pustaka dan 38 halaman yang berisi lampiran-lampiran yang dimana di dalam lampiran itu terdapat Undang-Undang mengenai Hukum Kewarisan di Indonesia. 

Di dalam buku ini terbagi menjadi 7 bab, yaitu pada Bab 1 mengenai Tinjauan Umum Tentang Hukum Kewarisan Islam, Bab 2 mengenai Ahli Waris, Bab 3 mengenai Pembagian Harta Warisan, Bab 4 mengenai Kewarisan Dalam Bentuk Tertentu, Bab 5 mengenai Wasiat Dan Hubungannya Dengan Hukum Kewarisan, Bab 6 mengenai Hibah Dan Hubungannya Dengan Hukum Kewarisan, dan yang terakhir Bab 7 mengenai Hukum Kewarisan Islam Dalam Hukum Positif Indonesia.

Menurut etimologi, waris berasal dari kata waratsa yang memiliki beberapa arti yaitu, yang pertama 'mengganti' yang terdapat di dalam Q.S. An-Naml/27:16, yang kedua 'memberi' yang terdapat di dalam Q.S. Az-Zumar/39:74, dan yang terakhir adalah 'mewarisi' yang terdapat di dalam Q.S. Maryam/19:6. 

Sedangkan menurut terminologi, hukum kewarisan ialah suatu hukum yang dimana didalamnya mengatur tentang segala pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak untuk menjadi ahli waris serta diatur juga berapa bagian dari tiap ahli warisnya. 

Lantas mengapa kita sebagai muslim dianjurkan untuk mempelajari Hukum Kewarisan Islam, diantaranya ialah: Ilmu waris akan dicabut pertama kali dari ingatan umat Rasulullah SAW., Adanya perintah khusus dari Nabi SAW., Apabila mempelajarinya itu sejajar dengan belajar Al-Qur'an, menghindari perpecahan keluarga, dan menghindari ancaman di akhirat. 

Didalam Hukum Kewarisan Islam juga terdapat asas-asas yang menyertainya diantaranya adalah, 

1. Asas Ijbari, yaitu peralihan harta dari seseorang yang sudah wafat kepada sang ahli waris, asas ini berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah SWT. Tanpa tergantung kepada kehendak si pewaris. 

2. Asas Bilateral, yaitu Yaitu harta warusa beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak ke warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak keranat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. 

3. Asas Keadilan Berimbang, yaitu Yaitu keseimbangan atau kesetaraan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. 

4. Asas Individual, yaitu Yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi yang dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. 

5. Asas Semata Akibat Kematian, yaitu harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain atas nama waris selama yang memiliki harta masih hidup. 

6. Asas Ketulusan,

7. Asas Ta'abudi (Penghambaan Diri), 

8. Asas Huququl Maliyah (Hak-hak Kebendaan), 

9. Asas Huququn Thaba'iyah (Hak-hak Dasar), 

10. Asas Membagi Habis Harta Warisan.

Dasar hukum kewarisan itu sendiri termaktub di dalam Al-Qur'an dalam Q.S. An-Nisa ayat 7-14, 33, 176, Q.S. Al-Anfal ayat 75, juga hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, Ijma'/Kesepakatan Ulama, dan Ijtihad. 

Terkait rukun waris yang terbagi menjadi 3 yaitu, Harta Warisan, Pewaris, dan Ahli Waris. Untuk sebab-sebab mewarisi ada 4 yaitu, karena hubungan kekeluargaan, karena adanya hubungan tali perkawinan, karena adanya hubungan agama sesama, karena adanya hubungan wala' (sebab memerdekakan budak). 

Syarat-syarat mendapatkan warisan, yang pertama adalah, Orang yang mewariskan haruslah sudah wafat baik itu haqiqi, hukmy, maupun taqdiri, lalu orang yang menerima warisan harus masih hidup pada saat wafatnya si pewwaris, lalu tidak adanya penghalang untuk mendapatkan warisan, dan yag terakhir adalah tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang tingkatannya lebih dekat dengan si pewaris. 

Selain itu terdapat pula sebab-sebab dari terhalangnya mendapatkan warisan yaitu, pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan dari pewaris yang telah dibunuhnya, selanjutnya adalah orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang beragama islam, dan yang terakhir adalah karena perbudakan. Namun sebagai ahli waris tidak diperbolehkan untuk melupakan hak-haknya untuk mengurus biaya perawatan yang masih terutang, biaya penyelenggaraan jenazah, serta membayar hutang-hutang si pewaris.

Didalam ahli waris terdapat macam-macam dari ahli waris itu sendiri yang menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) terdiri dari ahli waris karena adanya hubungan darah dan karena adanya hubungan perkawinan. 

Namun jika dilihat dari golongan yang berhak mendapatkan atau tidaknya warisan di dalam hukum waris islam dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Dzawil Furudh (Ashab Furudh) adalah ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan didalam Al-Qur'an ialah bagi anak perempuan, saudara perempuan (sekandung/seayah), dan suami (bila pewaris tidak meninggalkan anak), bagi suami dan istri yang apabila meninggalkan anak, 1/8 bagi istri bila meninggalkan anak, 1/6 bagi ayah, ibu, kakek, nenek, saudara seibu (laki-laki/perempuan), 1/3 bagi ibu (bila mewarisi bersama ayah dan pewaris tidak meninggalkan anak), dan saudara seibu (laki-laki/perempuan bila terdapat lebih dari satu), 2/3 bagi anak perempuan (lebih dari dua orang), dan saudara (kandung/seayah bila lebih dari dua orang). 

2. Ashabah adalah ahli waris yang dimana ahli waris tersebut mendapatkan semua harta, Ashabah terbagi menjadi 

3 yaitu, Pertama, Ashabah bin nafsi yang dimana pada ashabah ini adalah setiap laki-laki yang dalam nisbatnya dengan si pewaris tidak termasuki oleh wanita seperti anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek (pihak ayah), saudara laki-laki (sekandung), saudara laki-laki (seayah), keponakan laki-laki (sekandung), keponakan laki-laki (seayah), paman (sekandung dari pihak ayah), paman (seayah dari pihak ayah),anak laki-laki paman (sekandung dengan ayah), anak laki-laki paman (seayah dengan ayah). 

Kedua, Ashabah bil ghairi ialah ashabah dengan sebab orang lain, yaitu, anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah dengan ketentuan, bahwa untuk anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah, saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah, saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah. 

Ketiga, Ashabah ma'al Ghairi adalah Ashabah bersama orang lain yaitu, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak. 3. Dzawil Arham adalah orang yang sebenarnya memiliki hubungan darah dengan si pewaris, namun karena tidak adanya ketentuan dari naskh, maka mereka tidak diberikan bagian dan tidak berhak menerima harta warisan.

Kemudian karena adanya hubungan jauh dan dekatnya dalam suatu kekerabatan, hal ini membedakan lagi dari segi ahli waris, yaitu ahli waris hijab dan ahli waris mahjub. 

Ahli waris yang dihijab oleh sebagian ahli waris ialah, kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara kandung (laki-laki/perempuan), saudara seayah (laki-laki/perempuan), saudara seibu (laki-laki/perempuan), anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman sekandung dengan ayah, paman yang seayah dengan ayah, anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah, anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah, cucu perempuan dari anak laki-laki. 

Hijab itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu, Hijab Hirman yang diantaranya ialah, anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, suami, istri. Lalu untuk Hijab Nuqshan diantaranya ialah suami, istri, ibu, cucu perempuan berbagi dengan cucu laki-laki, dan saudara perempuan seayah.

Sebelum melakukan pembagian harta warisan terdapat beberapa hal yang perlu diselesaikan sebelumnya yaitu adalah, pemisahan dari harta bersama, biaya penguburan si mayit, melunasi hutang-hutang kepada Allah (seperti, kifarat sumpah), melunasi hutang-hutang kepada sesama manusia, dan juga pelunasan wasiat. 

Dalam pembagian harta warisan ada yang namanya pembagian masalah 'Aul yang dimana 'Aul itu sendiri adalah bertambahnya jumlah ashabul furudh yang dimana hal tersebut menyebabkan hak waris berkurang. 

Lalu ada juga pembagian masalah Radd, dimana Radd ini sendiri merupakan kebalikan dari 'Aul yaitu mengembaikan sisa dari harta warisan setelah adanya bagian tetap kepada ashabul furudh secara proporsional apabila tidak ada ashabah. Radd tidak terjadi kecuali terwujudnya tiga syarat sebagai berikut, pertama karena adanya ashabul furudh, kedua karena tidak adanya ashabah, ketiga karenya adanya sisa harta warisan. 

Kemudian ada pembagian masalah sisa harta warisan yang memiliki dua maksud yaitu, kelebihan harta setelah selesi dibagikan kepada ahli waris furudh atau seluruh harta perihal kasus ketiadaan ahli waris furudh dan sisa harta tidak ada yang berhak untuk menerima sisa harta itu atau ashabah dalam kelompok ahli waris. 

Lalu ada pembagian masalah Umariyah I, yang dimana bentuk masalahnya dalam kewarisan adalah yang pernah diputuskan oleh Uman dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur sahabat, masalah ini terjadi ketika penjumlahan beberapa furudh dalam suatu kasus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak. 

Selanjutnya adalah pembagian masalah Himariyah (Masyarakat) yang dimana pembagian masalah ini timbul karena adanya bentrokan antar prinsip dengan prinsip, sebenarnya tidak mesti timbul masalah karena pembagian hartanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Tetapi hasilnya tidak sesuai dengan anggapan umum yang telah berlaku. 

Selanjutnya ada pembagian masalah Akdariyah yang dimana masalah pembagian harta warisan ini ialah suami, istri, saudara kandung seayah, dan kakek.

Selanjutnya ialah Munasakhah (Pemindahan Hak Waris), menurut As-Sayyid As-Syarif adalah memindahkan bagian sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya, karena kematiannya sebelum pembagian harta warisan dilaksanakannya. 

Unsur-unsur dari Munasakhah adalah, harta warisan pewaris belum dibagikan kepada para ahli waris, adanya kematian dari seorang atau beberapa ahli waris, adanya pemindahan nagian harta warisan dari pewaris kepada ahli waris yang lain ataukepada ahli warisnya yang semula-mula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang meninggal pertama, dan pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya harus dengan jalan mewarisi, bukan yang lainnya seperti hibah atau hadiah. 

Munasakhah dibagi menjadi dua bentuk, yang pertama ialah ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari orang yang meninggal belakangan adalah ahli waris juga bagi orang yang meninggal dunia lebih dulu, yang kedua adalah ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari orang yang meninggal belakangan merupakan bukan ahli waris bagi orang yang meninggal lebih dulu, namun seandainya tidak terjadi kematian yang kedua, maka ia tidak dapat mewarisi orang yang mati duluan. 

Selanjutnya ada Takharuj yang dimana berarti perjanjian yang diadakan oleh ahli waris yang mengundurkan dirinya dari menerima saham bagian warisan sebagai pengganti atau imbalan dari barang tertentu yang diberikan kepadanya.

Bagian selanjutnya ialah kewarisan di dalam bentuk-bentuk tertentu. Pertama ada kewarisan Khunsa yang berarti adalah orang yang mempunyai dua alat kelamin laki-laki atau perempuan atau tidak mempunyai keduanya sama sekali, atau ia diragukan jenis kelaminnya. 

Cara pembagian harta warisan Khunsa itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu Khunsa Ghairu Musykil yang dimana melalui alat yang ada dan dipastikan jenis kelaminnya, bila melalui tanda yang ada dipastikan ia laki-laki/perempuan, maka alat kelamin yang satunya lagi itu disebut alat kelamin tambahan dan begitu juga sebaliknya. 

Yang terakhir adalah Khunsa Musykil yaitu Khunsa yang dengan segala macam cara pembuktian alat tidak dapat dipastikan jenis kelaminnya. 

Lalu kewarisan janin dalam kandungan, untuk persyaratannya sendiri ialah janin sudah harus berwujud saat si pewaris meninggal dunia, kemudian para ulama banyak mengalami perbedaan pendapat mengenai tenggang waktu tersebut, jumhur ulama mengatakan bahwa tenggang waktunya adalah enam bulan, sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal adalah sembilan bulan. 

Lalu untuk pembagian harta warisannya itu sendiri ada dua cara yaitu, tidak usah dibagi terlebih dahulu sebelum anak yang dalam kandungan itu lahir, hal ini tidak menimbulkan kesulitan karena tidak tahu apakah janin yang berada di dalam kandungan itu masihlah hidup atau sudah meninggal dunia dan jenis kelaminnya sudah terlihat dengan jelas. 

Dan cara terakhir adalah dengan harta peninggalan si pewaris segera dibagikan tanpa perlu menunggu anak tersebut lahir, dan cara ini sedikit lebih rumit karena ketidaktahuan mengenai anak yang berada di dalam kandungan itu masihkah hidup atau telah meninggal, lalu jenis kelaminnya pun juga belum bisa dipastikan secara jelas antara laki-laki ataupun perempuannya. 

Lalu ada kewarisan orang hilang (Mafqud), untuk kedudukan Mafqud dalam kewarisan itu sendiri adalah, pertama jika Mafqud berkedudukan sebagai pewaris maka Mafqud dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak bisa dibagikan kepada ahli warisnya sampai ada berita yang jelas bahwa ia benar-benar telah meninggal dunia atau divonis oleh hakim tentang kematiannya. 

Yang terakhir jika Mafqud berkedudukan sebagai ahli waris yang dimana bagian Mafqud akan ditahan dulu  sampai benar-benar jelas kematiannya. Selanjutnya untuk penyelesaian pembagian harta warisan yang ahli warisnya ada yang Mafqud ialah:

1. Diselesaikan lebih dulu beberapa bagian mereka masing-masing yang sekiranya si Mafqud dianggap masih hidup, 2. Diselesaikan lagi beberapa bagian dari masing-masing yang sekiranya si Mafqud dianggap sudah meninggal dunia, 3. Dari dua penyelesaian sebelumnya, maka ahli waris diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan. Dan sisanya ditahan untuk si Mafqud, sampai permasalahannya menjadi jelas, baik vonis pengadilan, maupun karena kadaluarsa masa tunggu.

Selanjutnya adalah Kewarisan Mati Beruntun yang dimana hak warisnya menurut Abu Bakar, Zaid, Ibnu Abbas, Auza'i, Malik, Imam Syafi'i, Abu Hanifah, dan Ahmad, bahwa dalam satu riwayat mengatakan bahwa mereka tidak saling mewarisi karena statusnya jelas-jelas telah meninggal dunia. Sedangkan menurut Umar, Ali, Imam Ahmad, Syuraih, Al-Sya'bi, 'Atha', Ibnu Abi Lalila, yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, bahwa antara mereka yang mengalami kematian beruntun itu saling mewarisi. 

Kemudian kewarisan anak dari hasil zina dan anak Mula'anah, yang dimana anak mula'anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang dili'an oleh suaminya. Keterlibatan hukum dalam anak zina dan mula'anah ialah, anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab, wali nikah, dan nafaqah dengan pria yang menyebabkan kelahirannya, lalu anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga pihak ibu nya, dna yang terakhir adalah jika li'an itu terbukti maka seorang anak akan berubah statusnya menjadi anak tidak sah (mula'anah) dan dimata hukum anak itu sederajat dengan anak hasil zina yang dimana hubungan nasab dan lainnya itu hanya dengan sang ibu dan keluarga ibu, sedangkan untuk pria yang meli'annya tidak memiliki hubungan apa-apa.

Bagian selanjutnya adalah mengenai wasiat dan hubungannya dengan hukum kewarisan. Definisi wasiat sendiri diambil dari kata al-washiyah yang secara bahasa berarti pesan, perintah, dan nasihat. Kemudian para ulama fikih mendefinisikan wasiat sebagai penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik itu harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat. 

Hukum melakukan wasiat menurut Az-Zuhri dan Abu Miljaz adalah wajib, sedangkan menurut Imam Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husain adalah wajib, menurut Ibnu Hazm wasiat itu hukumnya fardhu'ain, sedangkan menurut Abu Daud, Masruq, Thawus, Iyas, Qatadah, dan Ibnu Jabir wasiat itu hukumnya wajib, dan menurut jumhur ulama dan fuqaha syi'ah zaidiyah, wasiat kepada orang tua dan kerabat tidak termasuk fardhu'ain dan wajib. Kemudian untuk dasar hukum disyariatkannya wasiat terdapat didalam Al-Qur'an Q.S. Al-Ma'idah ayat 106, Q.S. Al-Baqarah ayat 180, dan Q.S. An-Nisa ayat 11. 

Untuk rukun dari wasiat itu sendiri adalah pewasiat, penerima wasiat, harta yang diwasiatkan, dan redaksi (sighat) wasiat. Terkait batalnya wasiat yaitu:

1. Calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekustan hukum yang tetap dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si pewasiat, lalu dipersalahkan karena memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau lebih, lalu dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat, dan dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat. 

2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya si pewasiat, lalu mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak untuk menerimanya, dan ia mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum si pewasiat wafat. 

3. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah. Kemudian untuk larangan wasiat itu sendiri terdapat di dalam pasal 207 dan pasal 208 Kompilasi Hukum Islam. Wasiat wajibah, ialah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.

Hibah dan hubungannya dengan hukum kewarisan, hibah merupakan melewatkan atau menyalurkan atau memberi, sedangkan menurut istilah hibah berarti suatu pemberianyang bersifat sukarela, tanpa mengharapkan adanya kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada si pemberi masih hidup. 

Landasan hukum hibah terdapat dalam Q.S. An-Nisa ayat 4, Q.S. Al-Baqarah ayat 177 dan 262, Q.S. Al-Munafiqun ayat 10, Q.S. Al-Maidah ayat 2. Sedangkan untuk hukum hibah itu sendiri ialah mandub (dianjurkan). Rukun hibah ialah orang yang menghibahkan, orang yang menerima hibah, harta yang dihibahkan, lafadz hibah (ijab kabul). Untuk syarat harta yang dihibahkan itu sendiri yaitu, benar-benar ada, harta tersebut bernilai, dapat dimiliki zatnya, tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah dan wajib dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi miliknya, dan dikhususkan (yang dhibahkan bukan untuk umum). 

Perbedaan antara Waris, Hibah, dan Wasiat adalah dari segi waktunya, kalau waris dan wasiat itu setelah wafat sedangkan hibah itu sebelum wafat. Lalu dari segi penerima waris haruslah sang ahli waris, kalau hibah bisa dari ahli waris dan bukan ahli waris, sedangkan wasiat bukan dari ahli waris. Sedangkan dari segi nilainya adalah waris harus sesuai dengan faraidh, untuk hibah itu bebas, dan untuk wasiat maksimal 1/3. Yang terakhir dari segi hukumnya, jika waris itu wajib sedangkan hibah dan wasiat itu hukumnya sunnah.

Masuknya islam ke Indonesia itu melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian dan juga politik. Lalu untuk ulama-ulama sebelum kemerdekaan Indonesia itu sendiri ialah Sultan Maliki Zahir dari Kerajaan Samudera Pasai, lalu ada Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, kemudian Nuruddin Ar-Raniri, Abd Al-Ra'uf Al-Sinkili, Syekh Arsad Al-Banjari, Syekh Abdul Malik bin Abdullah Trengganu, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdul Hamid Hakim, dan lain-lain. Untuk penerapan hukum islam di era kerajaan-kerajaan Indonesia itu ada tiga periode yaitu, periode Tahkim, periode Ahlul Hilli Wal'Aqdhi, dan periode Tauliyah. Hukum kewarisan Islam pada masa kemerdekaan Indonesia, dimulai dari sistem hukum kewarisannya itu sendiri  terdiri dari tiga sistem yaitu:

1. Hukum Kewarisan Menurut Islam, 2. Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), 3. Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat (sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat. Untuk penerapan hukum islam pada masa kemerdekaan itu sendiri terbagi menjadi tiga periode yaitu, 1. Periode sebelum lahirnya UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana setiap keputusan lembaga PA yang berkaitan dengan sengketa waris harus selalu dikukuhkan (ditetapkan secara yuridis) oleh Pengadilan Umum.

2. Periode UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 3. Periode UU no. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Terkait hukum kewarisan islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hakim dari pengadilan agama dianjurkan untuk menggunakan 13 kitab hukum islam siantaranya yaitu, 1. Al-Bajuri, 2. Fathul Mu'in, 3. Syarqowi alat Tahrir, 4. Qolyubi wa Mahalli, 5. Fathul Wahab dengan syarahnya, 6. Tuchfah, 7. Targhibulmusytaraq, 8. Qawain sayr'iyah lis Sayid bin Yahya, 9. Qawain syar'iyah lis Sayyid Sadqah Dachlan, 10. Syamsuri fil-faraidl, 11. Bahyatul Musytarsyidin, 12. Al-fiqh 'ala Mazhabil Arba'ah, 13. Mughnil Muhtaj.

Kesimpulannya adalah, Buku karya Dr. Mardani yang berjudul "Hukum Kewarisan Islam di Indonesia" ini secara pasti membahas mengenai hukum waris islam yang berada di Indonesia, dimulai dari pembahasan mengenai pengertian hukum kewarisan islam, pembagian harta warisan dalam agama islam, wasiat dan hubungannya dengan hukum kewarisan, hibah, serta waris islam dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini. dari masuknya islam ke Indonesia yang  melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian dan juga politik. 

Lalu untuk ulama-ulama sebelum kemerdekaan Indonesia itu sendiri ialah Sultan Maliki Zahir dari Kerajaan Samudera Pasai, lalu ada Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, kemudian Nuruddin Ar-Raniri, Abd Al-Ra'uf Al-Sinkili, Syekh Arsad Al-Banjari, Syekh Abdul Malik bin Abdullah Trengganu, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdul Hamid Hakim, dan lain-lain. Lalu untuk perbedaan antara Waris, Hibah, dan Wasiat terdapat dari segi waktu, segi penerimanya, segi nilai atau ketentuannya, dan dari segi hukum. Untuk dari segi waktunya, kalau waris dan wasiat itu setelah wafat sedangkan hibah itu sebelum wafat. 

Lalu dari segi penerima waris haruslah sang ahli waris, kalau hibah bisa dari ahli waris dan bukan ahli waris, sedangkan wasiat bukan dari ahli waris. Sedangkan dari segi nilainya adalah waris harus sesuai dengan faraidh, untuk hibah itu bebas, dan untuk wasiat maksimal 1/3. Yang terakhir dari segi hukumnya, jika waris itu wajib sedangkan hibah dan wasiat itu hukumnya sunnah.

Kemudian untuk kesan setelah membaca buku ini adalah, penulis jadi lebih banyak belajar mengenai Hukum Kewarisan Islam yang ada di Indonesia baik itu dari segi Islam, segi Hukum di Indonesia yang tidak hanya berfokus pada segi Islam tetapi ada dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), lalu ada juga yang sesuai dengan hukum adat. Kemudian dalam penentuan warisan, wasiat, dan hibah itu juga tidak sembarang dan asal-asalan tetapi ada hukum-hukum, ketentuan-ketentuan, rukun-rukun, syarat-syarat, dan bahkan ada juga larangan-larangan dalam penentuan pembagian masalah warisan, wasiat, dan hibah tersebut. Karena jika waris, wasiat, dan hibah dilakukan tanpa adanya ketentuan-ketentuan maka bisa menimbulkan permasalahan yang rumit, seperti misalnya adalah perpecahan keluarga karena konflik warisan yang dirasa oleh beberapa ahli waris itu tidak cukup adil dalam pembagiannya.

Nama Penulis : Dwi Safty Wulandari

NIM                : 212121030

Kelas -- Prodi  : 4A - HKI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun