Landasan hukum hibah terdapat dalam Q.S. An-Nisa ayat 4, Q.S. Al-Baqarah ayat 177 dan 262, Q.S. Al-Munafiqun ayat 10, Q.S. Al-Maidah ayat 2. Sedangkan untuk hukum hibah itu sendiri ialah mandub (dianjurkan). Rukun hibah ialah orang yang menghibahkan, orang yang menerima hibah, harta yang dihibahkan, lafadz hibah (ijab kabul). Untuk syarat harta yang dihibahkan itu sendiri yaitu, benar-benar ada, harta tersebut bernilai, dapat dimiliki zatnya, tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah dan wajib dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi miliknya, dan dikhususkan (yang dhibahkan bukan untuk umum).Â
Perbedaan antara Waris, Hibah, dan Wasiat adalah dari segi waktunya, kalau waris dan wasiat itu setelah wafat sedangkan hibah itu sebelum wafat. Lalu dari segi penerima waris haruslah sang ahli waris, kalau hibah bisa dari ahli waris dan bukan ahli waris, sedangkan wasiat bukan dari ahli waris. Sedangkan dari segi nilainya adalah waris harus sesuai dengan faraidh, untuk hibah itu bebas, dan untuk wasiat maksimal 1/3. Yang terakhir dari segi hukumnya, jika waris itu wajib sedangkan hibah dan wasiat itu hukumnya sunnah.
Masuknya islam ke Indonesia itu melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian dan juga politik. Lalu untuk ulama-ulama sebelum kemerdekaan Indonesia itu sendiri ialah Sultan Maliki Zahir dari Kerajaan Samudera Pasai, lalu ada Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, kemudian Nuruddin Ar-Raniri, Abd Al-Ra'uf Al-Sinkili, Syekh Arsad Al-Banjari, Syekh Abdul Malik bin Abdullah Trengganu, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdul Hamid Hakim, dan lain-lain. Untuk penerapan hukum islam di era kerajaan-kerajaan Indonesia itu ada tiga periode yaitu, periode Tahkim, periode Ahlul Hilli Wal'Aqdhi, dan periode Tauliyah. Hukum kewarisan Islam pada masa kemerdekaan Indonesia, dimulai dari sistem hukum kewarisannya itu sendiri  terdiri dari tiga sistem yaitu:
1. Hukum Kewarisan Menurut Islam, 2. Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), 3. Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat (sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat. Untuk penerapan hukum islam pada masa kemerdekaan itu sendiri terbagi menjadi tiga periode yaitu, 1. Periode sebelum lahirnya UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana setiap keputusan lembaga PA yang berkaitan dengan sengketa waris harus selalu dikukuhkan (ditetapkan secara yuridis) oleh Pengadilan Umum.
2. Periode UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 3. Periode UU no. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Terkait hukum kewarisan islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hakim dari pengadilan agama dianjurkan untuk menggunakan 13 kitab hukum islam siantaranya yaitu, 1. Al-Bajuri, 2. Fathul Mu'in, 3. Syarqowi alat Tahrir, 4. Qolyubi wa Mahalli, 5. Fathul Wahab dengan syarahnya, 6. Tuchfah, 7. Targhibulmusytaraq, 8. Qawain sayr'iyah lis Sayid bin Yahya, 9. Qawain syar'iyah lis Sayyid Sadqah Dachlan, 10. Syamsuri fil-faraidl, 11. Bahyatul Musytarsyidin, 12. Al-fiqh 'ala Mazhabil Arba'ah, 13. Mughnil Muhtaj.
Kesimpulannya adalah, Buku karya Dr. Mardani yang berjudul "Hukum Kewarisan Islam di Indonesia" ini secara pasti membahas mengenai hukum waris islam yang berada di Indonesia, dimulai dari pembahasan mengenai pengertian hukum kewarisan islam, pembagian harta warisan dalam agama islam, wasiat dan hubungannya dengan hukum kewarisan, hibah, serta waris islam dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini. dari masuknya islam ke Indonesia yang  melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian dan juga politik.Â
Lalu untuk ulama-ulama sebelum kemerdekaan Indonesia itu sendiri ialah Sultan Maliki Zahir dari Kerajaan Samudera Pasai, lalu ada Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, kemudian Nuruddin Ar-Raniri, Abd Al-Ra'uf Al-Sinkili, Syekh Arsad Al-Banjari, Syekh Abdul Malik bin Abdullah Trengganu, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdul Hamid Hakim, dan lain-lain. Lalu untuk perbedaan antara Waris, Hibah, dan Wasiat terdapat dari segi waktu, segi penerimanya, segi nilai atau ketentuannya, dan dari segi hukum. Untuk dari segi waktunya, kalau waris dan wasiat itu setelah wafat sedangkan hibah itu sebelum wafat.Â
Lalu dari segi penerima waris haruslah sang ahli waris, kalau hibah bisa dari ahli waris dan bukan ahli waris, sedangkan wasiat bukan dari ahli waris. Sedangkan dari segi nilainya adalah waris harus sesuai dengan faraidh, untuk hibah itu bebas, dan untuk wasiat maksimal 1/3. Yang terakhir dari segi hukumnya, jika waris itu wajib sedangkan hibah dan wasiat itu hukumnya sunnah.
Kemudian untuk kesan setelah membaca buku ini adalah, penulis jadi lebih banyak belajar mengenai Hukum Kewarisan Islam yang ada di Indonesia baik itu dari segi Islam, segi Hukum di Indonesia yang tidak hanya berfokus pada segi Islam tetapi ada dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), lalu ada juga yang sesuai dengan hukum adat. Kemudian dalam penentuan warisan, wasiat, dan hibah itu juga tidak sembarang dan asal-asalan tetapi ada hukum-hukum, ketentuan-ketentuan, rukun-rukun, syarat-syarat, dan bahkan ada juga larangan-larangan dalam penentuan pembagian masalah warisan, wasiat, dan hibah tersebut. Karena jika waris, wasiat, dan hibah dilakukan tanpa adanya ketentuan-ketentuan maka bisa menimbulkan permasalahan yang rumit, seperti misalnya adalah perpecahan keluarga karena konflik warisan yang dirasa oleh beberapa ahli waris itu tidak cukup adil dalam pembagiannya.
Nama Penulis : Dwi Safty Wulandari
NIM Â Â Â Â Â Â Â Â : 212121030