Berikutnya minat murid dapat dilakukan oleh guru dengan strategi menciptakan situasi pembelajaran yang menarik perhatian murid (misalnya dengan humor, menciptakan kejutan-kejutan, dsb), menciptakan konteks pembelajaran yang dikaitkan dengan minat individu murid, mengkomunikasikan nilai manfaat dari apa yang dipelajari murid, menciptakan kesempatan-kesempatan belajar di mana murid dapat memecahkan persoalan (problem-based learning). Selanjutnya Profil belajar dapat dilihat dari preferensi terhadap lingkungan belajar, pengaruh budaya, dan preferensi berdasarkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences).
Setelah memetakan kebutuhan murid berdasarkan tiga aspek tersebut, guru menentukan strategi dan kegiatan pembelajaran. Dalam penerapan diferensiasi pembelajaran ada tiga strategi, yaitu diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk.
Selain menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, dalam menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid, rancangan lainnya adalah pembelajaran yang kita lakukan pun harus memperhatikan dan menerapkan pembelajaran sosial emosional siswa. Pembelajaran Sosial dan Emosional berupaya menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang menumbuhkan lima kompetensi sosial dan emosional yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.Â
Implementasi pembelajaran sosial dan emosional di kelas dan sekolah mencakup empat indikator pembelajaran di antatanya meliputi (1) Pengajaran eksplisit (2) Integrasi dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik (3) Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah (4) Penguatan kompetensi sosial emosional pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di sekolah.
Dengan pembelajaran yang menerarapkan sosial emosional tersebut diharapkan menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, responsif, proaktif, mendorong anak untuk memiliki rasa ingin tahu tentang ilmu pengetahuan, sosial, budaya, dan humaniora. Semua ini selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Untuk dapat mewujudkan pelaksanaan pembelajaran yang mampu mengarah pada aspek-aspek di atas yang selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan maka di sini perlulah supervisi akademik dalam kegiatan pembelajaran.
Secara definisi, supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Supervisi akademik perlu dimaknai secara positif sebagai kegiatan berkelanjutan yang meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada murid. Karenanya kegiatan supervisi akademik hanya memiliki sebuah tujuan yakni pemberdayaan dan pengembangan kompetensi diri dalam rangka peningkatan performa mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran (Glickman, 2007, Daresh, 2001).
Kualitas pengajaran atau akademik guru diharapkan meningkat melalui supervisi akademik, namun hal ini tidak berarti supervisi akademik hanya berfokus pada peningkatan keterampilan dan pengetahuan semata. Kualitas guru yang diharapkan untuk berkembang juga termasuk didalamnya peningkatan motivasi atau komitmen diri. Kualitas pembelajaran meningkat seiring meningkatnya motivasi kerja para guru.
Dalam praktiknya di sekolah, kegiatan supervisi akademik ini kebanyakan masih dianggap sebagai hal prosedural yang bersifat administratif saja agar tercapai unsur yang diperlukan dalam syarat akreditasi sekolah tercapai dengan nilai yang diharapkan. Alhasil kebanyakan supervisi yang dilakukan di sekolah tidak berdampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Supervisi akademik yang dilakukan tidak dapat meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada murid.Â
Rangkaian supervisi akademik digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang  perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya. Kepala sekolah yang memiliki wewenang untuk melakukan supervisi akademik kepada seluruh guru di sekolahnya, terkadang memberikan mandat kembali kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk melakukan supervisi akademik kepada para gurunya kemudian terkadang bila jumlah guru yang di supervisi banyak sementara waktu yang terbatas wakil kepala sekolah bidang kurikulum tersebut kembali memandatkan tugas tersebut kepada timnya yang dianggap kompeten untuk melakukan itu.Â
Bila saja yang diberikan mandat itu dalam prosesnya mampu memcapai sasaran yang diharapkan dalam supervisi akademik mungkin tak akan menjadi persoalan, namun bagaimana bila yang tim yang dimandatkan tidak kompeten?Bagaimana bila proses coaching yang berjalan tersebut hanya sebatas evaluasi yang dilakukan oleh seorang yang dimandatkan kepada guru yang disupervisi?Â