Mewujudkan Pembelajaran yang Berpihak pada MuridÂ
melalui Supervisi Akademik dengan Paradigma Coaching
Oleh
Dwi Meilani Hasmiyatni, S.Pd.
Program Pendidikan Guru Penggerak menyiapkan seorang guru penggerak untuk menjadi pemimpin pembelajaran dengan kegiatan pembelajaran yang berpihak pada murid. Tentunya hal ini sejalan dengan nilai dan peran yang harus dimiliki oleh seorang guru penggerak.
Nilai-nilai tersebut di antaranya adalah berpihak pada murid, mandiri, kolaboratif, inovatif dan reflektif. Berpihak pada murid yang merupakan bagian dari nilai guru penggerak di sini maksudnya dalam menjalankan perannya sebagai guru penggerak, guru penggerak harus mampu mendesain atau membuat rancangan pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan murid. Lalu bagaimana agar desain atau rancangan pembelajaran tersebut sesuai dengan kebutuhan murid?
Desain atau rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid adalah pembelajaran yang memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman murid dengan memperlakukan murid sesuai dengan keunikannya masing-masing melalui pembelajaran berdiferensiasi.Â
Tomlinson (2001) mengatakan bahwa pembelajaran berdiferensiasi merupakan usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap peserta didik. Menurut Tomlinson (1999:14) dalam kelas yang mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi, seorang guru melakukan upaya yang konsisten untuk merespon kebutuhan belajar murid.Pembelajaran berdiferensiasi itu sendiri adalah serangkaian keputusan masuk akal yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.Â
Orientasi terhadap kebutuhan murid tersebut terkait bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang "mengundang" murid untuk belajar, bagaimana menanggapi/ merespon kebutuhan belajar murid apakah perlu sumber, cara, penugasan, penilaian yang berbeda, serta bagaimana memanagemen kelas yang efektif baik prosedur, rutinitas, metode yang fleksibel, kegiatan pembelajaran yang berbeda namun kelas tetap efektif.
Dalam menerapkan pembelajaran yang berdiferensiasi seorang guru harus menentukan tujuan pembelajaran sebelum menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Tujuan pembelajaran ini tentunya harus transparan di mana murid juga harus mengetahui tujuan tersebut. Â Langkah selanjutnya guru memetakan kebutuhan murid terlebih dahulu, di mana kebutuhan belajar murid harus memperhatikan tiga aspek, yaitu: (1) kesiapan belajar,(2) minat murid, dan (3) profil belajar murid.Â
Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk mempelajari materi, konsep, atau keterampilan baru. Kesiapan belajar murid dapat dilakukan oleh guru dengan strategi  memodifikasi tingkat kesulitan pada bahan pembelajaran, sehingga dipastikan murid terpenuhi kebutuhan belajarnya Minat merupakan suatu keadaan mental yang menghasilkan respons terarah.Â
Berikutnya minat murid dapat dilakukan oleh guru dengan strategi menciptakan situasi pembelajaran yang menarik perhatian murid (misalnya dengan humor, menciptakan kejutan-kejutan, dsb), menciptakan konteks pembelajaran yang dikaitkan dengan minat individu murid, mengkomunikasikan nilai manfaat dari apa yang dipelajari murid, menciptakan kesempatan-kesempatan belajar di mana murid dapat memecahkan persoalan (problem-based learning). Selanjutnya Profil belajar dapat dilihat dari preferensi terhadap lingkungan belajar, pengaruh budaya, dan preferensi berdasarkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences).
Setelah memetakan kebutuhan murid berdasarkan tiga aspek tersebut, guru menentukan strategi dan kegiatan pembelajaran. Dalam penerapan diferensiasi pembelajaran ada tiga strategi, yaitu diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk.
Selain menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, dalam menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid, rancangan lainnya adalah pembelajaran yang kita lakukan pun harus memperhatikan dan menerapkan pembelajaran sosial emosional siswa. Pembelajaran Sosial dan Emosional berupaya menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang menumbuhkan lima kompetensi sosial dan emosional yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.Â
Implementasi pembelajaran sosial dan emosional di kelas dan sekolah mencakup empat indikator pembelajaran di antatanya meliputi (1) Pengajaran eksplisit (2) Integrasi dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik (3) Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah (4) Penguatan kompetensi sosial emosional pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di sekolah.
Dengan pembelajaran yang menerarapkan sosial emosional tersebut diharapkan menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, responsif, proaktif, mendorong anak untuk memiliki rasa ingin tahu tentang ilmu pengetahuan, sosial, budaya, dan humaniora. Semua ini selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Untuk dapat mewujudkan pelaksanaan pembelajaran yang mampu mengarah pada aspek-aspek di atas yang selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan maka di sini perlulah supervisi akademik dalam kegiatan pembelajaran.
Secara definisi, supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Supervisi akademik perlu dimaknai secara positif sebagai kegiatan berkelanjutan yang meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada murid. Karenanya kegiatan supervisi akademik hanya memiliki sebuah tujuan yakni pemberdayaan dan pengembangan kompetensi diri dalam rangka peningkatan performa mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran (Glickman, 2007, Daresh, 2001).
Kualitas pengajaran atau akademik guru diharapkan meningkat melalui supervisi akademik, namun hal ini tidak berarti supervisi akademik hanya berfokus pada peningkatan keterampilan dan pengetahuan semata. Kualitas guru yang diharapkan untuk berkembang juga termasuk didalamnya peningkatan motivasi atau komitmen diri. Kualitas pembelajaran meningkat seiring meningkatnya motivasi kerja para guru.
Dalam praktiknya di sekolah, kegiatan supervisi akademik ini kebanyakan masih dianggap sebagai hal prosedural yang bersifat administratif saja agar tercapai unsur yang diperlukan dalam syarat akreditasi sekolah tercapai dengan nilai yang diharapkan. Alhasil kebanyakan supervisi yang dilakukan di sekolah tidak berdampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Supervisi akademik yang dilakukan tidak dapat meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada murid.Â
Rangkaian supervisi akademik digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang  perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya. Kepala sekolah yang memiliki wewenang untuk melakukan supervisi akademik kepada seluruh guru di sekolahnya, terkadang memberikan mandat kembali kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk melakukan supervisi akademik kepada para gurunya kemudian terkadang bila jumlah guru yang di supervisi banyak sementara waktu yang terbatas wakil kepala sekolah bidang kurikulum tersebut kembali memandatkan tugas tersebut kepada timnya yang dianggap kompeten untuk melakukan itu.Â
Bila saja yang diberikan mandat itu dalam prosesnya mampu memcapai sasaran yang diharapkan dalam supervisi akademik mungkin tak akan menjadi persoalan, namun bagaimana bila yang tim yang dimandatkan tidak kompeten?Bagaimana bila proses coaching yang berjalan tersebut hanya sebatas evaluasi yang dilakukan oleh seorang yang dimandatkan kepada guru yang disupervisi?Â
Bila itu terjadi tentunya jangan harap pula bila hasil supervisi akademik dapat berdampak secara  nyata dan langsung pada guru-gurunya dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Bahkan jangankan mendorong guru untuk mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid terkadang ironis kepala sekolah sendiri tidak mengetahui kualitas guru yang seharusnya disupervisi olehnya.
Terlepas dari realitas yang terjadi tersebut lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah kepala sekolah ideal seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid? Â Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Program guru penggerak mempersiapkan seorang guru penggerak untuk menjadi seorang kepala sekolah atau pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Sebagai kepala sekolah, tentunya tidak akan terlepas dengan tugas supervisi akademik. Supervisi akademik ini dilakukan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid.
Untuk dapat melakukan itu, diperlukan paradigma berpikir bertumbuh dan keberpihakan pada murid. Apa pun pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kompetensi, kesemuanya diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan. Salah satu pendekatan dengan  paradigma yang memberdayakan ini yaitu melalui paradigma coaching. Whitmore (2003) mengungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya.Â
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, di mana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya.Â
Coaching berbeda dengan mentoring, konseling, fasilitator dan training. Keempatnya memiliki benang merah yang dapat ditarik perbedaannya dari segi tujuan dan hubungan. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai"...bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif."Â
Konsep coaching dalam konteks pendidikan sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang  menekankan bahwa tujuan pendidikan itu 'menuntun' tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya.Â
Berdasarkan hal tersebut keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.Â
Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan  (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid.Â
Sebagai seorang Guru  (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun).Â
Dalam relasi guru dengan guru, seorang coach juga dapat membantu seorang coachee untuk menemukan kekuatan dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan proses coaching merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan.Â
Untuk mengembangkan kompetensi diri mereka dan menjadi otonom, kita perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih dahulu. Paradigma tersebut adalah:
1. Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan
  Pada saat kita mengembangkan kompetensi rekan sejawat kita, kita memusatkan perhatian kita pada rekan yang kita kembangkan, bukan pada "situasi" yang dibawanya dalam percakapan. Fokus diletakkan pada topik apa pun yang dibawa oleh rekan tersebut, dapat membawa kemajuan pada mereka, sesuai keinginan mereka. Berikut adalah percakapan yang menggambarkan bagaimana kita berfokus pada rekan sejawat kita bukan pada "situasi" yang disampaikan dalam percakapan.
2. Bersikap terbuka dan ingin tahu
Paradigma berpikir yang kedua adalah bersifat terbuka dan ingin tahu. Ciri-ciri dari sikap terbuka dan ingin tahu ini adalah berusaha untuk tidak menghakimi, melabel, berasumsi, atau menganalisis pemikiran orang lain, mampu menerima pemikiran orang lain dengan tenang, dan tidak menjadi emosional dan tetap menunjukkan rasa ingin tahu (curiosity) yang besar terhadap apa yang membuat orang lain memiliki pemikiran tertentu.Â
3. Memiliki kesadaran diri yang kuat
Kesadaran diri yang kuat membantu kita untuk bisa menangkap adanya perubahanÂ
yang terjadi selama pembicaraan dengan rekan sejawat. Kita perlu mampu menangkap adanya emosi/energi yang timbul dan mempengaruhi percakapan, baik dari dalam diri sendiri maupun dari rekan kita. Kompetensi yang merupakan perwujudan dari paradigma berpikir ini akan kita pelajari lebih lanjut di bagian Kompetensi Coaching.
4. Mampu melihat peluang baru dan masa depan
Paradigma berpikir coaching yang keempat adalah mampu melihat peluang baru dan masa depan. Kita harus mampu melihat peluang perkembangan yang ada dan juga bisa membawa rekan kita melihat masa depan. Coaching mendorong seseorang untuk fokus pada masa depan, karena apapun situasinya saat ini, yang masih bisa diubah adalah masa depan. Coaching juga mendorong seseorang untuk fokus pada solusi, bukan pada  masalah, karena pada saat kita berfokus pada solusi, kita menjadi lebih bersemangat dibandingkan jika kita berfokus pada masalah.
  Selanjutnya prinsip coaching dikembangkan dari tiga kata/frasa kunci pada definisi coaching,yaitu "kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi". Dalam berinteraksi dengan rekan sejawat atau siapa saja, kita dapat menggunakan ketiga prinsip coaching  tersebut dalam rangka memberdayakan orang yang sedang kita ajak berinteraksi. Secara lebih jelas prinsip coaching tersebut di antaranya.Â
Kemitraan
  Kemitraan ini diwujudkan dengan cara kita membangun kesetaraan dengan orang yang akan kita kembangkan, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di antara keduanya. Kesetaraan dapat dibangun dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri kita, pada saat kita akan mengembangkan rekan sejawat yang lebih tua, lebih senior, dan atau lebih berpengalaman. Sebaliknya, kita perlu menumbuhkan rasa rendah hati pada saat rekan sejawat yang akan kita kembangkan adalah rekan yang lebih muda, lebih junior, dan atau memiliki pengalaman yang lebih sedikit dari kita.
Proses Kreatif
  Guru yang menjadi coach hanya melontarkan pertanyaan untuk membantu rekan sejawatnya memetakan situasi dia saat ini dan situasi yang dia inginkan di masa depan. Dua pertanyaan terakhir adalah contoh pertanyaan untuk menghasilkan ide-ide baru.
Memaksimalkan potensi
  Untuk memaksimalkan potensi dan memberdayakan rekan sejawat, percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh rekan yang dikembangkan, yang paling mungkin dilakukan dan paling besar kemungkinan berhasilnya. Selain itu juga, percakapan ditutup dengan kesimpulan yang dinyatakan oleh rekan yang sedang dikembangkan.
 Â
 Selain paradigma proses berfikir coaching dan prinsip coaching, dalam melakukan supervisi akademik serang pemimpin pembelajaran pun harus menguasai kompetensi inti coaching. Berikut ini adalah kompetensi inti coaching, di antaranya adalah.Â
1. Kehadiran Penuh/Presence
  Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, atau di dalam coaching disebut sebagai coaching presence sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.Â
2. Mendengarkan Aktif
  Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan menyimak. Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra  bicara. Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee. Kemampuan mendengarkan aktif atau menyimak perlu dilatih untuk fokus pada apa yang dikatakan oleh coachee dan memahami keseluruhan makna yang bahkan tidak terucapkan.
  Ada tiga hal yang biasanya menghambat kita mendengarkan aktif, yaitu: (1) Asumsi, sudah mempunyai anggapan tertentu tentang suatu situasi yang belum tentu benar.(2) Melabel/Judgment, memberi label/penilaian pada seseorang dalam situasi tertentu. (3) Asosiasi: mengaitkan dengan pengalaman pribadi.
3. Mengajukan Pertanyaan Berbobot
Dalam melakukan percakapan coaching ketrampilan kunci lainnya adalah mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan berbobot. Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi.
 Selanjutnya dalam praktik melaksanakan coaching, kita dapat menggunakan alur TIRTA. Alur TIRTA ini merupakan akronim dari langkah-langkah percakapan coaching yang terdiri dari Tujuan,Identifikasi, Rencana Aksi dan Tanggung jawab.
Alur TIRTA ini dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will.(1) Goal /Tujuan: coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini,(2) Reality /Hal-hal yang nyata: proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee,(3) Options /Pilihan: coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.(4) Will /Keinginan untuk maju: komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
Alur percakapan coaching TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang membuat kita memiliki paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching untuk memfasilitasi rekan sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi dan membuat keputusan-keputusan bijaksana secara mandiri. Â Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian. Melalui alur percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan baik kepada rekan sejawat.
 Berdasarkan tujuan dan pentingnya supervisi akademik di atas maka seorang pemimpin tentunya perlu memiliki keterampilan coaching. Dengan memahami paradigma berfikir coaching, prinsip coaching, kompetensi inti coaching, percakapan berbasis coaching melalui alur TIRTA diharapkan seorang pemimpin mampu melakukan supervisi akademik secara lebih efektif agar tepat sasaran dan tujuan dengan semangat yang memberdayakan bukan lagi untuk mengevaluasi.Â
Dengan semangat memberdayakan potensi semua indivudu, mari kita bergerak tergerak dan menggerakkan dengan mempraktikan teknik coaching dengan memperhatikan paradigma berfikir coaching, prinsip coaching, kompetensi inti coaching, percakapan berbasis coaching melalui alur TIRTA dalam supervisi akademik yang dilakukan oleh seorang pemimpin agar proses yang dilakukan dapat mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid...Semoga Allah memberikan kemudahan...Aamin ya Allah ya Robbalalamin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H