Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Freelancer - Penerjemah

Suka menjaga Lawu Email: dwi.elyono@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ki Ageng Giring, Sang Kuncara ~ Sebuah Perjalanan ke Selatan bersama Profesor George Quinn

13 Maret 2024   10:49 Diperbarui: 13 Maret 2024   10:59 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada Selasa Legi, 5 Maret 2024, Pak George Quinn, seorang Profesor dari Australian National University, menulis via email:

"... pada hari Senin tgl 11 saya akan carter mobil untuk ke luar kota satu hari, tujuannya berziarah ke makam Ki Ageng Giring di Sodo Gunung Kidul. Senang kalau Dwi bisa ikut, tapi saya berangkatnya agak pagi -- barangkali sekitar jam 8-an -- pulangnya sore setelah singgah di kantor majalah Djaka Lodang, dan sebuah toko buku kecil di Pleret."

"Siap, Pak George. Ki Ageng Giring? Seketika saya teringat Ki Ageng Kajoran. Teringat Sunan Bayat. Teringat Ganjar Pranowo."

Sebuah Grab putih meluncur pelan dari ujung Jl. Pisang, di Kledokan, Sleman.

"Pak Dwi, nggih?"

"Nggih, leres, Pak. Ten Hotel Ambarrukmo nggih, Pak."

"Wonten keperluan menapa, Pak, ten Hotel Ambarrukmo?"

"Oh, bade ketemuan kaliyan rencang. Beliau ada acara simposium tentang upacara tradisional Keraton Yogyakarta Sabtu dan Minggu kemarin. Wah, sebelah kiri itu rumah kok gede-gede banget, nggih .."

"Nggih, Pak, niku Jogja Regency, perumahane tiyang-tiyang sogeh. Lha niku setunggale 7 miliar lho."

"Hee he hee .. wong kok sogeh-sogeh ngono yo. Kula dados penasaran, nginep di Hotel Ambarrukmo semalam berapa ya. Bintang 5 lho."

"Paling seket ewu."

"Hee he hee .. wah, Pak, lha kok Sampeyan ndeg ke persis depan lobby toh. Matur nuwun, Pak, sehat selalu!"

"Nggih, Pak, sami-sami!"

Waduh, orang kok pada nunduk-nunduk hormat ini? Tiga orang di depan sopan sekali memberi salam. Saya melihat ke belakang saya. Gak ada orang.

"Monggo, Pak. Monggo."

Di tengah-tengah kehalusan dan keramahan Ambarrukmo yang luar biasa itu, saya sekelebat melihat Pak George di tengah-tengah tamu hotel yang lalu lalang. Beliau berdiri di tengah lobby seperti tugu jogja berdiri cerah di tengah sumbu Merapi-Keraton.

"Pak George!"

"Oh, Dwi! Wah masih seperti yang dulu. Tidak berubah sama sekali. Sudah berapa tahun ya tidak ketemu?"
"Berapa ya. Sudah lama sekali, Pak, sejak kita menjelajah Alas Ketonggo tahun .. 2015."

Memang saya tidak berubah, Pak George, karena baju kotak-kotak yang saya pakai ini adalah baju yang saya pakai sewaktu kita menelusuri Umbul Jambe di Alas Ketonggo. Dan Pak George juga tidak berubah. Panjenengan masih istikomah menjadi penjelajah sejati, bertirakat di tempat-tempat keramat Tanah Jawa.

"Nuwun sewu, Pak George. Mobilnya sudah siap. Mengke kaliyan Mas Fandi, njih."

"Oh, injih. Matur nuwun sanget. Ayo, Dwi, kita berangkat sekarang. Eh tadi nama sopirnya siapa ya? Saya ini sudah agak pikun."

"Siapa ya, Faris .. atau Affandi .."

"Naah itu, Mas Fandi!"

Orang-orang di depan lobby lagi-lagi memberi hormat, "Monggo, silakan, Pak George. Monggo, Bapak."

"Mas Fandi, hari ini yang akan kita kunjungi adalah Makam Ki Ageng Giring di Sodo, Paliyan, Gunungkidul; sebuah toko buku kecil di Pleret; dan kantor Majalah Djaka Lodang di Patehan Tengah, dekat Alun-Alun Kidul. Bagaimana saran, Mas Fandi, enaknya kita ke mana dulu?"

"Lebih baik yang jauh dulu, Pak. Kita ke Ki Ageng Giring dulu. Kemudian ke Pleret. Dan terakhir Djaka Lodang."

Perbukitan Gunungkidul terlihat indah, berombak hijau, diselingi awan tipis. Kadingaren hawanya sejuk. Kotagede, Pleret, Kerto semakin jauh di belakang. Mobil Mas Fandi melaju meliuk ke tenggara menyapa Sunan Bayat dan Ki Ageng Kajoran di timur. Konon makam Ki Ageng Giring sempat 'menghilang' ratusan tahun tertutup hutan sebelum akhirnya ditemukan setelah dilakukan laku batin dan penelusuran terhadap data-data sejarah yang terkait dengan Sunan Bayat. Dua di antara data sejarah tersebut adalah fakta bahwa ayah Ki Ageng Giring, Ki Ageng Giring II, dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Bayat, di Klaten, dan bahwa Ki Ageng Giring adalah salah seorang menantu Sunan Bayat.

"Di dalam buku Pak George "Wali Berandal Tanah Jawa", Pak George menceritakan betapa Pak George pernah mengalami dan merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan dengan nalar. Pak George waktu itu berada sendirian di tengah-tengah persawahan di antara Petilasan Joyoboyo, Kediri, dan perkampungan terdekat, di tengah keheningan malam menjelang pagi. Tiba-tiba ribuan kunang-kunang mengerubungi Pak George, berpendar di atas dan sekeliling Pak George. Ribuan pendaran di tengah-tengah heningnya malam ..."

"Oh iya, saya tidak tahu apa itu. Saya tidak bisa menjelaskan. Tapi memang terkadang kita tidak bisa menjelaskan apa yang kita alami dalam kehidupan ini."

Dari kota Wonosari, kami berbelok ke barat daya, ke wilayah Paliyan.

"Kelihatannya sudah hampir sampai ini."

"Lho Pak Dwi sudah pernah ke Ki Ageng?", tanya Mas Andi.

"Belum, Mas. Cuma feeling."

Tidak jauh dari Balai Desa Sodo, kami berbelok ke kanan. Lantas ke kanan lagi, memasuki kompleks makam Ki Ageng Giring. Sebuah masjid milik Keraton Yogyakarta menyambut kami di sebelah kiri. Pada sebuah papan di depan masjid tertulis:

KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

KAGUNGAN DALEM
MASJID AL-HUDA SODO

Sidorejo, Sodo, Paliyan, Gunungkidul

Di sebelah utara masjid, kami disambut sebuah pohon beringin dan sebuah prasasti yang bertuliskan:

PESAREAN

KI AGENG GIRING III

SODO, PALIYAN, GUNUNG KIDUL

YOGYAKARTA

Di samping prasasti, ada sebuah jalan setapak, yang terlihat meliuk diampingi beberapa pohon beringin teduh. Kami telusuri jalan tersebut. Di ujung jalan, sebuah pagar tembok bata merah dengan gapura bergaya Mojopahit menyambut kami. Dibaliknya, sebuah bangunan Joglo bertiang kayu berdiri hening. Di belakangnya, sebuah bangunan beratap limas mengerucut ke langit, terlihat damai.

"Monggo, monggo. Monggo nitih mriki. Tepangaken, kula Sareksa Sartoyo, yang menjaga di sini."

Kami perlahan melepas sepatu, dan kemudian menyalami Pak Sarekso, sang juru kunci. Dengan ringan beliau berjalan di depan kami ke arah bangunan Joglo. Setelah melewati gerbang bertuliskan aksara Hanacaraka, kami melambatkan jalan, karena mulai terasa sesuatu yang sulit dijelaskan. Namun yang jelas, semacam ketentraman dan kehangatan mulai menyambut. Pak Sarekso berhenti di depan sebuah pintu kecil berambang rendah dan kemudian membuka perlahan daun pintunya. Terlihat sebuah nisan berbalut kain putih di dalam bilik. Dua payung keraton menaungi nisan di ujung kanan kirinya.

"Monggo, punika makamipun Ki Ageng Giring."

"Injih, matur nuwun, Pak."

Pak George membungkukkan badan dan merambat setengah jongkok memasuki bilik makam. Saya mengikuti. Setelahnya, kami diam. Hening. Entah berapa lama. Harum mawar menyerbak lembut. Gemersik daun kelapa dan aren, dan juga jati, terdengar halus.

"Tentram sekali di sini. Sangat tentram."

"Ya, Pak George. Desa kami di Ngawi tidak bisa tentram seperti ini, karena dekat jalan tol. Bus, truk tiada habis. Bising. Asap juga. Mengapa harus ada jalan tol di tempat yang tadinya hening itu .."

"Di dalam antologi cerita cekak basa Jawi "She Wanted to be a Beauty Queen", ada sebuah cerkak yang sangat misterius. Dikisahkan di dalamnya .. ada sepasang suami istri yang memperoleh sebuah degan. Mereka menaruh degan tersebut di depan pintu rumah. Kemudian hujan turun deras sekali. Setelah hujan reda, mereka dapati .. degan mereka telah hilang! Dan anehnya, seolah-olah sang istri tidak terkejut dengan hilangnya degan tersebut. Cerita berakhir dengan hilangnya degan tersebut. Begitu saja. Pembaca tidak tahu, ke mana hilangnya degan tersebut. Terbawa air hujan? Ataukah dicuri orang? Tidak jelas. Sangat misterius."

"Degan sangat melekat dalam kehidupan Ki Ageng Giring. Konon dia bersama Ki Ageng Pemanahan diberi amanah oleh Sunan Kalijogo, guru mereka berdua, untuk mencari wahyu di pegunungan selatan di Jawa. Maka mereka mengembara di Gunung Kidul dan menjalani kehidupan dan laku tirakat di tlatah tempat kita berada sekarang ini. Ki Ageng Giring menjalani laku di desa Sodo, Paliyan. Ki Ageng Pemanahan di Kembang Lampir, Panggang.

Sesuai perintah Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring menanam sepotong sepet atau kulit kelapa yang sudah kering. Betapa sebuah hal yang sama sekali tidak bisa dinalar: menanam sepet. Namun, ternyata muncul tunas dari sepet tersebut, yang kemudian tumbuh subur hingga menjadi pohon kelapa yang sehat dan tinggi. Namun pohon tersebut lama sekali tidak berbuah hingga pada akhirnya muncullah satu buah -- hanya satu buah."

"Waah berarti kisah dalam cerkak tadi sudah tidak misterius lagi. Ternyata kisah tersebut mengacu pada kisah degan Ki Ageng Giring!"

"Saat buah kelapa tadi siap dipetik, Ki Ageng Giring bermimpi ditemui Sunan Kalijaga, yang memberinya petunjuk, "Giring, petiklah degan yang hanya satu itu. Barangsiapa meminum airnya hingga habis, anak turunnya akan memimpin tanah Jawa." Maka Ki Ageng Giring memetik degan tersebut. Namun, dia meminumnya hanya setenggak, tidak sampai habis, dan kemudian melanjutkan bekerja di ladang aren. "Akan aku habiskan nanti setelah benar-benar haus," pikirnya."

"Saya teringat ini, Dwi, "Ojo turu nek ora ngantuk tenan. Ojo mangan nek ora luwih tenan. Ojo ngombe nek ora ngelak tenan."

"Iya, Prof. Hanya orang-orang waskita yang bisa menjalaninya."

"Ojo nyuara nek ora butuh nyuara tenan -- nek memang butuh nyuara, nyuarane ojo nemen-nemen."

"Sak niki, malah saingan, banter-banteran, Pak George.

"Lho? Lak budeg no."

"Ndilala, Ki Ageng Pemanahan, sahabat seperguruan Ki Ageng Gereng, mampir di gubug Ki Ageng Giring setelah berjalan kaki jauh sekali dari tempat tirakatnya di Kembang Lampir. Saking ngelaknya, begitu dia melihat degan yang sudah terperes, dia tenggak hingga habis airnya. Klempoken banyu degan, beliau terduduk terengah melihat ke ladang aren, di mana terlihat Ki Ageng Giring yang kumus-kumus kepanasan bergegas kembali ke gubug. Dia senang melihat Ki Ageng Pemanahan ujug-ujug duduk di gubugnya, tapi terkejut begitu melihat air degan sudah habis. "Maaf, Mas Giring, ini tadi degannya saya minum habis. Lha saya ngelak banget e," kata Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Giring semakin lemas begitu mendengar perkataan Ki Ageng Pemanahan. Namun, dia berusaha tenang, menahan rasa yang ingin meledak."

"Degan itu lambang penyembuhan, lambang sumber kekuatan, lambang dari tiada menjadi ada."

"Ki Ageng Giring adalah penerima wahyu Mataram. Namun, yang menjalankan laku sebagai raja Mataram adalah keturunan Ki Ageng Pemanahan hingga keturunan ketujuh, mulai dari saat Mataram masih beribukota di Kotagede, Kerto, Pleret, hingga Kartasura, hingga ... Setelahnya, pemerintahan Mataram ~ di Yogyakarta ~ dipegang oleh keturunan Ki Ageng Giring, melalui keluarga besar Sunan Bayat dan Ki Ageng Kajoran yang tinggal di wilayah Bayat dan Wedi, di Klaten."

"Kapan itu Dwi pernah bilang teringat Ganjar Pranowo saat saya menyampaikan bahwa kita akan mengunjungi makam Ki Ageng Giring."

"Saya membayangkan Mas Ganjar itu bermimpi didatangi Sunan Bayat. Sunan Bayat memberinya petunjuk, "Petiklah degan yang hanya satu itu. Minumlah hingga habis airnya." Ganjar kemudian memetiknya dan dia taruh di lincak di depan gubuknya. Namun, kemudian tidak ada lesus tidak ada lindu, tiba-tiba datang banjir bandang yang begitu dahsyat, hingga dalam sekejap degan yang belum dia minum hilang kintir entah ke mana."

"Hmm .. itu mirip kisah degan yang ditaruh oleh sepasang suami istri di depan pintu rumah itu."

"Ganjar membangun sebuah rumah di Sleman, Yogyakarta, dan memilih tinggal di situ daripada tinggal di pusat kekuasaan di Jakarta, sebagaimana Ki Ageng Giring yang lebih memilih tinggal di Sodo, daripada di pusat kekuasaan Kotagede, Kerto, atau Pleret. Tapi mungkin 7 generasi keturunan pada Ki Ageng Giring sebanding dengan 5 masa pada Ki Gede Ganjar Pranowo."

"Lima masa? Pleret? Kalau begitu, sesuai rencana kita, setelah ini, kita ke Pleret."

"Ke Pleret, Pak George .. tempat Amangkurat pernah berkuasa itu."

"Betul. Kita ke sana, mencari Kuncara."

Mas Fandi mengantar kami kembali ke pusat kekuasaan, ke Pleret, meninggalkan desa Sodo yang tentram dan sederhana tempat Ki Ageng Giring pernah bertirakat dan berkehidupan menderes aren. Keraton Amangkurat di Pleret sudah tidak ada lagi. Keraton Sultan Agung di Kerto juga sudah menghilang. Semuanya sirna ditelan bumi.

Kami meneruskan perjalanan ke selatan, mencari Kuncara.

Pak George, turun perlahan dari mobil, di depan sebuah toko buku sederhana. Ada sebuah plang kecil sederhana di depannya, bertuliskan KUNCARA. Tiba-tiba seorang ibu bergegas keluar, menyambut sang pengembara sejati,

"Waah ngipi apa saya? Ini .. ini .. Prof Quinn ya?"

"Lhoo .. kok Ibu tahu saya?" tanya Pak George.

Ternyata sang pemilik toko, Ibu Sri Wijayati, adalah seorang sastrawati Jawa, penulis geguritan, dan pensiunan guru SD. Dalam sekejap Pleret yang muram berubah ceria. Seorang sastrawati Jawa bertemu seorang ahli Jawa. Sang kuncara bertemu sang pengembara sejati.

Buku adalah sumber pengetahuan. Kuncara bermakna 'terpandang karena sikap dan perilaku luhur'. Kerto melambangkan keberanian melawan penindasan.

Salam hangat saking Alas Ketonggo,

13 Maret 2024, Rabu Wage: Mendapat Kemuliaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun