"Hee he hee .. wah, Pak, lha kok Sampeyan ndeg ke persis depan lobby toh. Matur nuwun, Pak, sehat selalu!"
"Nggih, Pak, sami-sami!"
Waduh, orang kok pada nunduk-nunduk hormat ini? Tiga orang di depan sopan sekali memberi salam. Saya melihat ke belakang saya. Gak ada orang.
"Monggo, Pak. Monggo."
Di tengah-tengah kehalusan dan keramahan Ambarrukmo yang luar biasa itu, saya sekelebat melihat Pak George di tengah-tengah tamu hotel yang lalu lalang. Beliau berdiri di tengah lobby seperti tugu jogja berdiri cerah di tengah sumbu Merapi-Keraton.
"Pak George!"
"Oh, Dwi! Wah masih seperti yang dulu. Tidak berubah sama sekali. Sudah berapa tahun ya tidak ketemu?"
"Berapa ya. Sudah lama sekali, Pak, sejak kita menjelajah Alas Ketonggo tahun .. 2015."
Memang saya tidak berubah, Pak George, karena baju kotak-kotak yang saya pakai ini adalah baju yang saya pakai sewaktu kita menelusuri Umbul Jambe di Alas Ketonggo. Dan Pak George juga tidak berubah. Panjenengan masih istikomah menjadi penjelajah sejati, bertirakat di tempat-tempat keramat Tanah Jawa.
"Nuwun sewu, Pak George. Mobilnya sudah siap. Mengke kaliyan Mas Fandi, njih."
"Oh, injih. Matur nuwun sanget. Ayo, Dwi, kita berangkat sekarang. Eh tadi nama sopirnya siapa ya? Saya ini sudah agak pikun."
"Siapa ya, Faris .. atau Affandi .."