Ketika muncul pemberlakuan PTM 100 persen, saya jadi ingat sudah dua tahun terhitung sejak awal Maret 2020 pembelajaran akhirnya dialihkan menjadi PJJ. Terlalu berisiko jika tetap dilaksanakan pembelajaran di sekolah dikhawatirkan nantinya banyak orang yang terkena virus covid-19. PJJ menjadi syarat mutlak dalam dunia pendidikan.
Sekolah-sekolah sepi, bangku-bangku kelas kosong, bahkan kalau sekolah negeri atau sekolah yang tidak ada cleaning servisnya pastinya berdebu.Â
Gedung sekolah menjadi ruang sunyi yang hanya sesekali disinggahi, cuma dihuni oleh beberapa cleaning servis dan pejabat struktural.Â
Guru dan siswa melakukan pembelajaran lewat google meet atau zoom, penugasan dan pengiriman melalui google form atau WA.
Suasana PJJ itu bagi sebagian orangtua yang kebetulan juga guru terasa lebih berat tanggung jawabnya. Sebab ia mesti rutin mengajar lewat zoom, menerima tugas-tugas dari WA atau google form, sekaligus mengontrol pembelajaran anaknya.Â
Satu rumah menjadi sibuk, ada tugas ganda yang harus dilakukan mengajar siswanya lewat zoom, juga membimbing anaknya sendiri yang butuh perhatian dan kontrol terhadap pembelajaran jarak jauh.
Pembelajaran PJJ menuntut guru mau tidak mau harus menguasai bagaimana mengoperasikan komputer untuk PJJ, memahami membuka materi dengan share screen, memberi materi lewat power point, sesekali membuat kuis dengan aplikasi kuis atau aplikasi lain supaya siswa tidak bosan.
Saya sendiri sendiri memanfaatkan drawing pad dan stylus untuk memberi contoh bagaimana membuat sketsa, mewarnai melukis lewat aplikasi paint supaya siswa mudah memahami bagaimana trik-trik menggambar dan melukis.
Awal mulanya sungguh susah karena belum terbiasa menggunakan drawing pad, kadang gambar masih patah-patah, spontanitas tangan belum secanggih ketika memberi contoh menggambar lewat papan tulis di ruang kelas nyata. Tetapi seiring berjalannya waktu, maka kebiasaan menggambar lewat drawing pad mengalami peningkatan banyak kemajuan termasuk inovasi menggambar ditemukan.
Akhirnya PJJ bisa dinikmati dan siswa mampu mengikuti pelajaran, bahkan waktu jauh lebih efektif, disiplin mengajar terjaga karena mau tidak mau harus menjadwalkan mengajar PJJ tepat waktu.Â
Selama 9 jam (1 jam pelajaran 30 menit) mengajar lewat zoom, berinteraksi dengan siswa hanya lewat layar laptop. Â
Kendalanya ialah siswa sering beralasan jaringan lemot, maka mereka minta izin untuk off cam.Â
Sebagai guru, saya harus siap teori materi ajar berupa power point, sedangkan prakteknya, saya lebih banyak berinteraksi atau melakukan demo melukis, menggambar dengan aplikasi paint dengan peralatan drawing pad.
Banyak guru yang sebetulnya sudah bosan dengan PJJ, mereka kangen untuk mengajar langsung, melihat mimik muka siswanya, melihat segala tingkah laku siswanya yang unik- unik.Â
Berbeda ketika mereka mengajar anak lewat zoom, yang kadang harus menemui siswanya yang bisa saja tertidur, main game, atau sesekali mendengar selebihnya sibuk dengan gadgetnya.
Perubahan cara pembelajaran akibat pandemi itu tentu tidak masalah bagi guru muda yang mudah mempelajari hal-hal baru.  Namun sangat menyiksa pada guru di generasi baby boomer. Rasanya otak sudah susah mengikuti perkembangkan teknologi, banyak dari mereka menyerah dan resign dari pekerjaannya karena sudah susah mengikuti cepatnya perkembangan teknologi.
PTM itu bisa saja mengembalikan spirit mengajar, bergairah kembali karena seperti menemukan dunia yang telah lama hilang, meskipun berisiko munculnya kluster baru pandemi. Bagi sebagian guru tetap saja sebuah kerinduan mengajar dengan berjumpa muridnya di kelas.
Tetapi di antara banyaknya guru yang kangen dengan pembelajaran tatap muka, ada sebagian guru yang terlanjur menikmati pembelajaran jarak jauh. Sebab, mereka tidak lagi terkendala dengan transportasi, bisa mengajar di mana saja, bahkan ketika ia sedang berada di luar kota sekalipun. Asal siap dengan segala materinya dan mampu mengeksplorasi pengetahuan digitalnya sehingga pembelajaran malah jauh lebih asyik ketika PJJ.
Dari yang kangen PTM dan yang terlanjur nyaman dengan PJJ, muncullah pro dan kontra. Â
Istri saya yang ibu rumah tangga sudah terlanjur nyaman dengan PJJ.Â
Dari rentang waktu sekitar 2 tahun itu, istri saya mulai terbiasa menghadapi tugas- tugas yang diberikan guru. Awalnya banyak mengeluh karena pekerjaan menjadi bertambah dengan ikut sertanya ia menjadi guru bagi anak-anaknya di rumah.Â
PJJ tampaknya lebih fleksibel, meskipun harus banyak kehilangan kuota dan bertambahnya budget untuk membeli HP dan keperluan pembelajaran online.
Tidak dipungkiri pasti ada manipulasi pembelajaran ketika berlangsung pembelajaran PJJ, apalagi jika sudah sampai pada tes untuk menguji kemampuan siswa yang bisa saja jawaban- jawaban saat ujian bisa saja dibantu oleh orang-orang terdekatnya. Kualitas pembelajaran PJJ menjadi sebuah pertanyaan serius.
Sisi positifnya kalau saya amati pada siswa, mereka jauh lebih kreatif jika diberi tantangan. Apalagi jika diberi tugas menggambar menggunakan aplikasi, luar biasa bagus karena mereka mudah menyerap pengetahuan baru.Â
Guru di masa PJJ tidak harus memberi penjelasan secara detail, cukup kisi-kisinya saja, banyak jawaban bisa dicari di internet.Â
Guru lebih pada memberi pancingan pembelajaran dan siswa membuat tugas mandiri dengan memanfaatkan video dan aplikasi yang banyak tersedia di internet.Â
Untuk memastikan diskusi lebih menarik, siswa dibagi dalam diskusi kelompok dengan masuk ke breakout room, selanjutnya ketika diskusi lebih besar bisa kembali ke main room.
Semakin hari guru menemukan pembelajaran kreatif yang cukup mampu membuat siswa tidak bosan dengan pembelajaran online, malah kegiatan webinar semakin sering diselenggarakan, karena tidak ada kendala jarak.Â
Penyelenggara cukup mengundang pembicara dan berbicara lewat zoom plus live streaming YouTube yang masih bisa diikuti meskipun webinarnya sudah selesai.
Lewat rekaman zoom, guru masih bisa mengulang dan menjelaskan kepada siswanya hal-hal yang sulit dipahami siswa.
Ketika pandemi sudah melandai dan muncul lagi pemberlakuan PTM, ternyata muncul pro kontra. Orangtua yang protektif terhadap kesehatan masih khawatir mengizinkan anak untuk sekolah.Â
Mereka menilai PJJ masih merupakan opsi terbaik untuk pembelajaran di tengah ancaman ancaman virus varian baru, yaitu omicron.Â
Banyak yang menyayangkan pemerintah terlalu cepat membuat kebijakan PTM full 100 persen. Harusnya bertahap sampai ada keyakinan bahwa PTM bukan merupakan masalah serius.
Malah beberapa orangtua, menilai jika sekolah mewajibkan PTM, maka mereka tidak mengizinkan anaknya masuk kalau perlu menggunakan opsi home schooling, agar anaknya bisa belajar tanpa harus melakukan tatap muka langsung dengan banyak murid lainnya di kelas, sebab dikhawatirkan munculnya kluster baru.
Sebuah kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak, memang sering memunculkan pro dan kontra. Wajar ada pro dan kontra pemberlakuan PTM 100 persen.Â
Setelah sekian lama mengalami ancaman covid, sikap protektif, insecure masih menghinggapi banyak orangtua, mereka masih khawatir, apalagi mereka yang pernah terkena dampak pandemi dan pernah terpapar virus.Â
Ada semacam trauma yang susah dihilangkan sehingga memunculkan insecure, phobia. Kalau anak sakit atau keluarganya sakit toh yang repot keluarganya, bukan guru bukan sekolah. Maka ketika muncul pemberlakuan PTM full, siapa yang bisa menjamin bahwa sekolah bisa menjamin siswanya untuk tidak berkerumun, melakukan kontak fisik dengan temannya.
Jadi banyak orangtua malah bimbang dan bingung dalam mempersiapkan mental untuk menghadapi PTM.Â
Jadi jika sampai saat ini masih pro dan kontra PTM full, beberapa alasan yang saya tulis ini bisa menjadi jawaban kenapa orangtua masih banyak yang belum mau melepaskan anak untuk mengikuti pembelajaran PTM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H