Dari rentang waktu sekitar 2 tahun itu, istri saya mulai terbiasa menghadapi tugas- tugas yang diberikan guru. Awalnya banyak mengeluh karena pekerjaan menjadi bertambah dengan ikut sertanya ia menjadi guru bagi anak-anaknya di rumah.Â
PJJ tampaknya lebih fleksibel, meskipun harus banyak kehilangan kuota dan bertambahnya budget untuk membeli HP dan keperluan pembelajaran online.
Tidak dipungkiri pasti ada manipulasi pembelajaran ketika berlangsung pembelajaran PJJ, apalagi jika sudah sampai pada tes untuk menguji kemampuan siswa yang bisa saja jawaban- jawaban saat ujian bisa saja dibantu oleh orang-orang terdekatnya. Kualitas pembelajaran PJJ menjadi sebuah pertanyaan serius.
Sisi positifnya kalau saya amati pada siswa, mereka jauh lebih kreatif jika diberi tantangan. Apalagi jika diberi tugas menggambar menggunakan aplikasi, luar biasa bagus karena mereka mudah menyerap pengetahuan baru.Â
Guru di masa PJJ tidak harus memberi penjelasan secara detail, cukup kisi-kisinya saja, banyak jawaban bisa dicari di internet.Â
Guru lebih pada memberi pancingan pembelajaran dan siswa membuat tugas mandiri dengan memanfaatkan video dan aplikasi yang banyak tersedia di internet.Â
Untuk memastikan diskusi lebih menarik, siswa dibagi dalam diskusi kelompok dengan masuk ke breakout room, selanjutnya ketika diskusi lebih besar bisa kembali ke main room.
Semakin hari guru menemukan pembelajaran kreatif yang cukup mampu membuat siswa tidak bosan dengan pembelajaran online, malah kegiatan webinar semakin sering diselenggarakan, karena tidak ada kendala jarak.Â
Penyelenggara cukup mengundang pembicara dan berbicara lewat zoom plus live streaming YouTube yang masih bisa diikuti meskipun webinarnya sudah selesai.
Lewat rekaman zoom, guru masih bisa mengulang dan menjelaskan kepada siswanya hal-hal yang sulit dipahami siswa.
Ketika pandemi sudah melandai dan muncul lagi pemberlakuan PTM, ternyata muncul pro kontra. Orangtua yang protektif terhadap kesehatan masih khawatir mengizinkan anak untuk sekolah.Â