Tentunya awal membaca karya sendiri terasa banyak kejanggalan, terutama mengenai penggunaan kata- kata yang tidak efektif, sering diulang- ulang dari paragraf satu ke paragraf selanjutnya.
Ide Datang Ketika Banyak Masalah
Jujur ide menulis akan lebih lancar bila saya sedang dibekap masalah. Karena tidak terbiasa mengungkap kemarahan maka saya mengekspresikan dengan menulis. Kadang ketika membaca ulangannya saya terkaget- kaget dengan tulisan- tulisan yang tertulis di buku itu.Â
Ekspresi rasa kecewa, marah, benci menjadi sebuah jalinan cerita yang kadang mengejutkan. Karena ingin lepas masalah maka saya semangat dalam mengungkapkannya tanpa dibatasi durasi, pilihan kata dan teori- teori yang mengiringi.Â
Pokoknya menulis hingga akhirnya pelan- pelan masalah menjadi ringan karena sudah diekspresikan lewat menulis. Dan hasilnya kadang luar biasa. Ketika dengan malu malu saya tunjukkan ke teman saya mendapat tanggapan:
"gaya tulisanmu  bagus... (dalam bathin saya bantah) bagus dari mana?
"Wong masih acakadut teman. Betul kamu berbakat?
"Berbakat bagaimana wong saya hanya menuliskan kegalauan saya."
"Itu ungkapan jujur. Sebaiknya kau menulis secara total."
Dari perbagai pengalaman menulis rasa minder itu muncul karena bahasa (saya) masih kacau balau kalau dibandingkan dengan gaya bahasa di koran kompas, Detak, Majalah Tempo.
Dulu saya mempunyai standar tinggi untuk bisa menikmati gaya tulisan koran dan majalah nasional. Maka secara ketengan saya membeli koran (terutama Kompas) dari hasil uang saku saya. Sering dimarahi karena uang yang seharusnya untuk jajan malah dibelikan koran.
Dulu penulis sering mengikuti gaya tajuk rencana Kompas. Pilihan kata di tajuk rencana yang singkat padat berisi begitu memukau. Sedangkan ketika mengikuti tulisan kolom saya merasa perlu membaca Umar Kayam di harian Kedaulatan rakyat.