Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali Bebas (Bagian 1)

5 Oktober 2020   17:17 Diperbarui: 6 Oktober 2020   10:57 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

P r o l o g

Pernah aku berandai-andai memimpikan diri jadi seekor elang. Ketika kupikir elang memiliki sisi jahat lalu kupilih wujud baru, yaitu kepompong yang kelak mewujud kupu-kupu. Dalam anganku, kupu-kupu senantiasa mendapati tatapan kagum, teristimewa dari anak-anak yang menyukai objek warna-warni.

Aku tahu hidup kupu-kupu paling lama hanya sekitar empat minggu. Namun, ada keyakinan bahwa aku akan mati dalam kecantikanku. Mati terhormat usai mewarnai dunia. Walau sekejap hidupku akan penuh makna, tiada sia-sia. Aku dapat membantu penyerbukan aneka bunga. Aku akan menebar ceria dalam hati anak-anak yang berlari kian-kemari mengejarku. Kusematkan bahagia bagi siapa pun yang menangkap keindahanku.

Mereka yang tetiba melihatku mati pun semestinya akan jatuh iba seraya meratap "Aduhai makhluk cantik, mengapa begitu singkat masa hidupmu?" Sebagian yang lain mungkin sibuk dengan kameranya untuk mengabadikan kecantikanku.

Terbayang pula sekelompok orang yang berupaya mengawetkan sosokku untuk dikoleksi dalam lemari kaca. Boleh jadi mereka ingin mengabarkan bahwa dunia yang karut-marut ini juga dihiasi oleh makhluk Tuhan yang sedemikian indah bernama kupu-kupu.

***

Percakapan di Ruang Bundar

"Nanti kubayar lebih mahal dari tarifmu!"

"Tapi Gan, saya tidak mau lagi berurusan dengan polisi!" sahut pria lima puluhan itu  sembari menunduk. Di hadapannya tegak lelaki perlente berjuluk juragan, bernama Prawiro. Tuan Prawiro, begitu kudengar orang banyak memanggilnya. Aku lebih suka menyebutnya Tuan Arogan, atau cukup namanya saja.

Braaakkk!

Suara gebrakan tangan Tuan Arogan begitu kuat hingga menggetarkan seluruh tubuhku. Gaungnya belum lagi lenyap dan rasa terkejutku pun belum surut ketika gebrakan kedua menyusul.

Braaaakkk!

"Sudah!" teriakan Tuan Arogan membahana, "Kau tak usah banyak cakap! Pikirkan saja nasib istrimu di belakang sana!" Telunjuknya menuding ke arah pintu yang menembus dapur dan area servis. Jelas menyatakan sebuah ancaman!

Pria sederhana di hadapannya itu hanya tertunduk semakin dalam.

"Dengar!" suara Tuan Arogan menurun tanpa kehilangan nada ancaman. "Tanggal 15 nanti kau angkut balok-balok itu sampai ujung desa. Pastikan fuso kau cukup minyak untuk pergi-pulang!"

Mendengar instruksi si juragan pada bawahannya itu sontak aku meradang  Rasanya aku ingin beranjak dari tempatku dan meninju muka penjahat berkedok pejabat itu. Bukan hanya untuk membela pria lemah yang ternyata supir truk fuso itu, tetapi aku benar-benar muak dengan seluruh detail rencananya.

Sialnya, kaki-kakiku tetap saja terpaku seolah tertanam sangat dalam di lantai marmer ruang bundar ini! Pria sederhana itu pun melangkah keluar dengan lunglai tanpa mengetahui niat baikku.

Tak berapa lama kemudian, kudengar Tuan Arogan berbicara lewat ponsel dengan seseorang yang dipanggilnya 'mandor'. Aku pun segera menguping.

"Kemarin sudah kubeli dua sinso baru. Cepat kau cari tukang cincang!" katanya.

Aku yakin orang di ujung telepon itu pastilah si mandor lapangan, pengatur eksekusi penebangan. Bila kalian kurang paham, biar kuberi tahu! Sinso merupakan kata populer untuk chainsaw atau gergaji tangan elektrik. Sementara tukang cincang adalah julukan untuk operator sinso. Nah, kuharap kalian mulai mengerti arah pembicaraanku!

Sepertinya jawaban si mandor sangat memuaskan karena kudengar tawa renyah Tuan Arogan bergaung ke dinding-dinding ruang bundar. Dengan satu kata sepakat, dia pun menyudahi percakapan.

Tak lebih dari satu detik, kudengar dia sudah membuka percakapan baru. Kali ini dengan gaya bicara berbeda, bak seorang komandan peleton.

"Dengar! Tanggal 15 nanti, amankan operasi di koordinat yang kemarin telah kita sepakati!" perintahnya sangat jelas.

Aku bisa menduga siapa lawan bicaranya. Dia adalah makhluk berseragam polisi yang dimintai bantuan oleh Tuan Arogan, lebih tepatnya disogok untuk mengamankan kejahatannya.

Usai memberi instruksi dan menutup ponsel, Tuan Arogan keluar dari ruang bundar.

Sementara aku masih terpaku dalam kegusaran. Kurenungkan seluruh percakapan yang baru saja kudengar. Saat purnama nanti, kroni si juragan akan merambah ke pelosok yang lebih jauh dari tanah di mana aku pernah tinggal. Hutan perawan itu akan digunduli dengan tambahan dua sinso baru.

Kubayangkan pada purnama mendatang si mandor lapangan berbadan kekar penuh tato sangar itu akan berteriak-teriak memerintah para tukang cincang. Selanjutnya, tukang jagal bermodal tenaga kuda yang dibutakan harta bergegas mengebiri mahkota hutan perawan. Satu per satu, tanpa rasa belas kasihan.

Bila tertangkap basah, tanpa rasa bersalah si mandor hanya akan berkilah 'Kami tak kenal siapa toke-nya. Kami hanya dibayar untuk memotong dan menaikkan ke atas truk yang menunggu di tepi hutan'.

Sementara ketika semua itu terjadi, aku hanya bisa terpaku di tempat di mana kejahatan tersebut direncanakan. Aku mengetahuinya, tetapi tak mampu berbuat apa pun. Sungguh aku benci dengan situasi ini!

***

Aku Ingin Menggugat Tuhan

Hampir setahun aku menjadi anggota keluarga Prawiro. Tunggu! Rasanya teramat menjijikkan bila benar aku ini bagian dari keluarga seorang penjarah. Bukan! Tolong, jangan sebut aku demikian. Jangan kaitkan namaku dengan nama Prawiro.

Walaupun aku selalu ada dalam setiap acara di ruang bundar di rumah besar Prawiro, aku tak sudi menjadi bagian dari keluarganya. Aku hanya sedang terpenjara di rumah besar ini. Konon, rumah atas nama wanita simpanan Prawiro ini terletak di pinggiran kota di lembah perbukitan nan elok. Lokasi tersebut tak jauh dari lintasan sungai yang berhulu di tanah kelahiranku.

Sekali lagi kubilang, aku hanya bagian dari rumah yang telah menjadi penjaraku. Sesungguhnya sangat sulit bagiku bersikap merendahkan diri seperti ini. Pada masa lalu di tempat asalku, aku pernah menjadi yang paling dikagumi. Aku menjadi satu di antara banyak sosok yang selalu disambangi para peneliti untuk menggali informasi. Aku selalu jadi bagian penting proyek kajian lingkungan.

Sayang, juragan berkumis tebal itu tak punya rasa hormat padaku layaknya para peneliti yang peduli nasib bumi. Lewat orang-orang suruhannya si juragan merampas kehidupanku dan membawaku masuk ke rumah ini. Dengan paksa, tentu saja!

Lenyapnya diriku dan banyak kawanku sempat menempati headline koran nasional dan tak henti menjadi buah bibir di ranah lokal. Ajaib! Kekuasaan berikut tumpukan rupiah milik Prawiro mampu meredam berita itu secepat kemunculannya.

Kini nyaris tak ada lagi yang tahu keberadaanku di rumah ini. Kaum papa dan sederhana di sekitar desa yang mencium jejakku tak rela nyawa keluarganya menjadi taruhan. Jadi, mereka tak berani membuka suara. Sebagian yang lain memilih rupiah membutakan nuraninya. 

Seandainya bisa, sejak awal aku pasti sudah melawan! [Bersambung]   

Yuk, baca lanjutannya: Kembali Bebas (Bagian 2 - Tamat)    

Depok, 5 Oktober 2020

Salam Fiksiana, Dwi Klarasari

Catatan:

  • Juragan: sebutan orang upahan terhadap majikan; tuan.
  • Chainsaw: alat pemotong kayu dengan rantai melingkar yang digerakkan oleh motor (elektrik) dan terdiri dari banyak gigi logam tajam yang saling terhubung.
  • Peleton: satuan pasukan yg terdiri atas 20-40 orang.
  • Toke: ucapan verbal untuk tauke yaitu sebutan majikan (pemilik perusahaan, dsb.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun