Sekonyong-konyong sosoknya berbalik, lalu lenyap ditelan kegelapan ruang dalam. Mungkin ia bermaksud keluar rumah, harapku cemas. Namun, hingga lebih dari sepuluh menit ia tak kunjung keluar. Pupus sudah kesabaranku. Bergegas kudekati kamar Abi untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sampai di kamarnya kulihat Abi tertunduk lesu di ujung ranjang.
Meskipun bisa mendekat tanpa harus mengusiknya, aku lebih suka memandanginya dari kejauhan. Kuamati raut wajahnya lekat-lekat. Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya? Dalam kelesuan pun, ia terlihat semakin tampan. Kulit bersihnya sangat kontras dengan rambut tebalnya yang hitam pekat.
Umpama kami masih bersama, tentu aku terlihat sangat pantas sebagai ibunya. Puluhan uban di kepalaku sudah berebut untuk menampakkan diri karena aku enggan menyemirnya. Aku bersyukur, Abimanyu tumbuh sebagai pria tampan dan hebat.Â
Tunggu! Abimanyu memakai syal kesayanganku. Oh, apa yang terjadi? Sakitkah Abimanyu? Mungkinkah ia hanya berniat menangkal angin pagi yang masih terlalu dingin? Mungkinkah ia sangat merindukan aku hingga memakai syalku?
Ya, syal merah marun di lehernya itu milikku yang adalah pemberiannya.
Abi memberikan syal berwarna marun itu bertepatan dengan ulang tahunku ketiga puluh lima. Syal itulah satu-satunya hadiah yang pernah diberikan Abi untukku. Syal berbahan rajut itu dibelinya setelah dua lukisannya terjual dalam pameran perdananya. Â Â
'Terimalah syal ini sebagai tanda hormat dan sayangku. Terima kasih karena Anda telah mengizinkan saya melukis. Jangan khawatir, saya pun akan menjadi dokter hebat seperti yang Anda harapkan!' Demikian ucapan Abi waktu itu dengan lagak jemawa. Seraya terus mengoceh dan menebar senyum ia mengalungkan syal ke leherku. Terakhir ia mengecup keningku dengan takzim.Â
Â
Ah, Abimanyu selalu piawai membuatku tertawa dalam haru. Â Â
Â