Â
Kalau aku memaksanya maka akan keluar argumen-argumennya yang membuatku tercengang. 'Coba saja ada sapu bergagang panjang! Dengannya aku pasti terlihat sebagai lelaki gentle yang sedang membantu merawat kebun, bukan seperti cowok pingitan yang dipaksa menyapu.'Â
Â
Pada akhirnya Abi tak lagi bisa menolak permintaanku ketika suatu hari kubeli sapu lidi seperti yang dipakai tukang kebun. Sapu lidi bertangkai panjang seperti impiannya. Abi menerimanya dengan ekspresi kekalahan yang mendalam, namun penuh sportivitas.Â
Â
Dengan senyum tulus ia berjanji akan membantuku menyapu. Setidaknya dua hari sekali lantai halamanku yang terbuat dari rumput gajah itu akan tampak bersih dan berwarna hijau segar. Â
Seiring terbitnya sang mentari, kabut pagi tampak mulai menipis. Rumahku pun perlahan-lahan mulai terlihat lebih jelas. Namun kencangnya angin menggugurkan semakin banyak daun kering. Andai saja Abi segera keluar untuk membersihkannya. Aku memendam asa.
Aku tahu Abimanyu sudah kembali ke rumah. Maksudku, aku tahu bahwa perjuangan pengacaraku sudah tuntas. Ia berhasil menemukan dan membawa Abi pulang ke rumahku. Aku pun sempat melihat Mbok Mi sibuk membereskan ini-itu untuk menyambut kepulangan Abi.
Namun, sudah hari ketiga sejak kepulangannya Abi belum juga keluar dari kamar. Aku sendiri tidak berani mendekat. Aku terlalu pengecut untuk melihat reaksinya menghadapi situasi ini. Sebenarnya apa yang sedang dilakukannya di kamar? Marahkah Abi? Ataukah ia menyesal? Barangkali tidak seperti harapanku.
Dari bawah kamboja aku mengamati jendela kamar Abi. Tiba-tiba kulihat jendela tersebut terbuka lebar. Pastilah Abi yang membukanya.
Benar juga! Tak lama kemudian kulihat sosok Abi menegas terbingkai kosen jendela. Lama ia melempar pandang dan menerawang ke seluruh bagian halaman. Oh! Terkejutkah ia mendapati lantai halaman yang nyaris rata tertutup dedaunan kering? Tidakkah ia berniat menyapunya? Tahukah ia betapa halaman ini merindukan sentuhannya?