Titik fokus pada abad ke 3 ini yaitu kajian fiqih, itupun belum masuk kepada term Maqashid Al Qur'an nya. Kemudian pada abad ke 4 dilanjutkan oleh Juwayni (W 478 H), masa ini pun masih sama seperti sebelumnya belum term Maqashid Al Qur'an. Al-Juwayni menggunakan kata al-Maqâshid, al-Maqshûd, alQashdu sebanyak sepuluh kali dalam bukunya yang berarti alAghrâdh atau tujuan. Pembahasan beliau mengenai maqashid pengembangannya tidak jauh berbeda dengan abad ke 3, akan tetapi perkembangan Maqashid Al syari'ah bersumber pada Al Qur'an sehingga dapat dikatakan bahwa di masa ini mulai menggabungkan Al Qur'an didalamnya maqashid Al Qur'an ini. Hingga pembahasan mengenai konsep Maqashid Al Qur'an muncul di abad 5 H. diperkirakan oleh alRaysūnī sekitar abad 9 yang ditandai oleh munculnya kata maqāṣid dalam karya al-Tirmidzī (w. 868) yang berjudul AlṢalāh wa Maqāṣiduhā.[6] Dari rentang waktu kemunculannya, maqāṣid al-Qur’ān terpaut sekitar tiga abad dengan maqāṣid alsyarī‘ah yang telah lebih dulu ada.
Perkembangan terus terjadi, para ulama berusaha meneliti dan memberikan perhatian mengenai pembahasan Maqatau di sebut fase diaspora nukleus dengan tokoh yang menekuni term tersebut yaitu Abu Hamid Al Ghazali. Beliau merupakan salah satu murid dari Juwayni. Abu Hamid Al Ghazali dijuluki dengan pionir mengkaji dan mengembangkan maqâshid al-qurân melalui karyanya Jawâhir al-Qurân. Pokok-pokok yang beliau cetuskan yaitu
- mengenal Allah yang Maha Esa
- Pengenalan jalan yang lurus
- Penjelasan mengenai hari akhir
- Gambaran tentang umat yang beriman
- Gambaran umat yang membangkang
- Mengajarkan untuk berada di jalan lurus menuju Allah ketika kembali ke hadapanNya.[7]
Beliau tidak hanya mencetuskan nya saja akan tetapi menjelaskan pokok tujuan syariat diantarnya yaitu menjaga agama, hidup, akal, keturunan dan harta. jadi penjelasan beliau itu tentang tujuan universal Al Qur'an yang mana berisikan penjelasan tentang mengenal Allah SWT. Latarbelakang terbentuknya pemikiran dan metode dari al-Ghazali yaitu pandangannya berpegang pada yang universal dan komprehensif, menembus spirit al-qur’an dan melampaui ijtihad formal, dan pendalaman bacaan terhadap teks dan melampaui pembacaan literal.[8]
Abad 6 H para cendikiawan muslim mulai mengembangkan Maqashid Al Qur'an. Tokoh masa ini yaitu Fakhruddin al-Râzi (w. 606 H). Pokok-pokok yang di bahas oleh beliau diantaranya ilahiyyât, alNubuwwât, al-Ma’âd, al-Qadhâ dan al-Qadar. (ketuhanan, kenabian, hari akhir serta qadhâ’ dan qadar, penjelasan tersebut ada dalam karya beliau Mafâtih al-Ghaib. Masuk ke era ulama klasik diantara tokohnya yaitu Al Baghawi dalam ma'alim Al Tanzil Al Biqa'i (W. 885 H/1480 M) karyanya Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar. Pembahasan didalmnya yaitu tentang munasabah ayat dicapai dengan mengaitkan Maqashid suwar Al Qur'an (tujuan-tujuan pokok surat-surat dalan Al Qur'an. Al-Shathibi (W.790 H) karyanya al-Muwâfaqât berisikan pembahasan perihal maqasid dari sisi surat-surat makkiyyah yang mencakup tiga pembahasan yaitu al-Wah}dâniyyah, al-Nubuwwah dan al-Ba’th. (ketauhidan/keesaan tuhan, kenabian dan hari kebangkitan) yang mana semua tiga maqâshid tersebut bermuara pada satu makna yaitu menyeru untuk menyembah Allah ta’ala. Fokus pembahasan era klasik ini yaitu tentang teologisnya.
Era kontemporer pembahasan Maqashid Al Qur'an menjadi topik yang menarik. Pelopornya yaitu Muhammad Abduh (W. 1905), beliau menganggap bahwa kajian Maqashid Al Qur'an adalah sesuatu hal yang penting di bahas. Tokoh tokoh di dalamnya seperti Rashid Rida (W. 1935), Sa’id Nursi (W.1960), Ibnu Asyur (W. 1973), Hasan al-Banna (W. 1949), Muhammad Iqbal (W. 1938), Sayyid Qutb (W. 1966), Abu A’la al-Maududi (W.1989), Izzat Darwazah (W. 1987), Muhammad al-Ghazali (W. 1966) dan Yusuf al-Qardawi. Maqashid Al Qur'an diklasifikasikan kepada isu isu kontemporer bukan pada teologisnya. Hingga perkembangan Maqashid Al Qur'an terus berkembang sampai saat ini.