Mohon tunggu...
Nurlina (Tinta Ungu)
Nurlina (Tinta Ungu) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Selain aktif sebagai tenaga pengajar juga aktif menulis pada beberpa platform menulis digital. Telah menerbitkan 3 buah buku antologi cerpen dan 1 buah buku kumpulan cerpen solo.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Part 5. Tergilas Roda Kehidupan Kota Metropolitan

29 Agustus 2023   18:14 Diperbarui: 29 Agustus 2023   18:21 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. pribadi/https://www.merdeka.com/peristiwa/isu-wanita-penghibur-di-tengah-konferensi-asia-afrika.html

Bebarapa sexy dancer tengah asyik dengan goyangan hotnya.  Disudut lain DJ sedang memainkan peran dengan asyiknya.  Sesaat kemudian Nisa tak lagi di sampingku, dia telah berbaur dengan pengunjung lain menikmati hentakan musik yang memekakkan telinga.  Aku hanya berdiri dengan penuh kebingungan sambil memperhatikan Nisa dari jauh.  Berkali-kali silih berganti pria-pria menghampiri Nisa sembari menjulurkan gelas kecil yang dengan sekali tegukan gelas itu tak lagi bersisa sedikitpun hingga tubuhnya ambruk. 

Peristiwa itu sangat membekas dalam ingatan.  Beruntung saat ini seorang pengujung dengen sigap membantuku dan memesan transprtasi online.  Aku harus segera membawa Nisa menjauhi tempat yang memuakkan ini.   Sepanjang perjalanan Nisa mengoceh tak jelas, dari mulutnya tercium aroma tidak sedap.  Barangkali aroma minuman beralkohol, pikirku. 

"Aduuuh mabuk lagi Nis?" Protes Ibu Lani tatkala aku menyeret langkah Nisa memasuki rumah mewahnya.  Langkahnya terburu-buru dan segera membantuku menopang tubuh Nisa dan membawanya ke kamarnya.   

Dengan cekatan Ibu Lani membersihkan tubuh Nisa.  Semua pakaian yang digunakan ditanggalkan lalu tubuhnya dibersihkan dengan tissue basah dan menggantinya dengan baju tidur.  Ibu Lani sepertinya sudah tidak canggung lagi menghadapi kondisi seperti ini.

"Aduh Del, ngapain sih ke tempat  begituan." Protes Ibu Lani padaku.

"Bu, aku orang baru di sini.  Mana mengerti dengan situasi begini.  Aku hanya ikut atas ajakan Nisa, aku tak tahu kalau kejadiannya bakalan kayak begini.  Maafkan aku, Bu." Ujarku merasa sangat bersalah dan hanya mampu tertunduk.

"Nisa masih dalam pengaruh minuman alkohol.  Kamu tahu nggak, klo kejadian ini diketahui Pak Pras entah bagaimana nasibku dan nasib Nisa.  Sudah berkali-kali Pak Pras geram dengan tingkah Nisa, tetapi dia nggak ada kapok-kapoknya.  Bahkan Nisa sekali waktu pernah masuk rumah sakit karena dianiya Pak Pras.  Buntut dari partynya Nisa bareng teman-teman tanpa sepengetahuan Pak Pras.

"Terus apa hubungannya dengan Ibu Lani?"

"Aku dipercaya untuk mengurus segala keperluan Nisa, termasuk mengawasi semua tingkah laku Nisa di luar sana.  Pak Pras sangat tidak menyukai jika Nisa mabuk-mabukan seperti ini."

"Oh iya Bu, Nisa tadi berkata kalau Pak Pras itu adalah suaminya.  Apa itu benar?"

Ibu Lani hanya terdiam, aku tahu dia menyimpan rahasia.  Namun, aku juga merasa sangat tidak berhak untuk mengorek keterangan apapun.  Mungkin suatu hari nanti Ibu Lani akan bercerita padaku tanpa aku memintanya. 

"Nggak apa-apa kalau Ibu nggak mau menjawab pertanyaan aku.  Toh, itu hak Ibu mau menjawabnya atau tidak," Ujarku.

"Suatu hari nanti kamu akan tahu semuanya, tetapi aku harap kamu tidak mendengar dari aku.  Aku sangat menjaga semua tentang keluarga ini, tentang apa yang pantas dan yang tidak pantas untuk aku ceritakan di luar sana, itu menjadi tanggungjawabku, semoga kamu bisa memahaminya.

"Iya Bu, aku sangat memahmi itu dan aku rasa Nisa tidak akan keberatan untuk menceritkannya nanti padaku. Oh iya Bu, tadi Nisa ditelepon seseorang yang mungkin itu Pak Pras.  Katanya besok dia sudah kembali ke rumah."

"Oh iya, baguslah.  Setidaknya jika Pak Pras ada di rumah Nisa tidak akan seliar ini."  Ucap Bu Lani dengan mata berbinar-binar.

Aku mengela napas panjang, rasanya hari ini benakku sudah terlalu penat untuk berfikir tentang banyak hal. 

"Oh iya Bu, rasanya mataku sudah terlalu berat, aku istirahat dulu, nggak apa kan Bu?" Tanyaku pada Bu Lani.

"Nggak apa-apa, istirahatlah!"

Sejenak aku memandangi Nisa yang tampaknya tertidur sangat lelap, kemudian segera beranjak menuju kamar tidur.   Aku segera menghempaskan tubuhku pada tempat tidur, sembari memandangi langit-langit kamar.  Pikiranku berkecamuk, bayang-bayang bapak, mama, dan adik-adik di kampung menari di pelupuk mata.  Hingga mataku semakin sayu dan begitu berat, lambat laut yang terdengar hanyalah dengkuran halus.

Aku terjaga dari tidur tatkala ketukan dari luar pintu kamar terdengar.  Sejenak aku melirik jam yang tergantung di dinding, waktu menunjukkan pukul O3.02 dini hari. 

"Del, buka pintu!" Terdengan suara Nisa dari balik pintu kamar.

Aku segera beranjak dan membuka pintu kamar, sosok Nisa berdiri dengan wajah sumringah dan berdadan sangat cantik.

"Hei Nis, kamu tahu ini jam berapa?" Tanyaku dengan mata setengah terpejam.

"Tau Del.  Buruan sana beres-beres temani aku jemput aku Mas Pras di bandara." Ucapnya.

"Haaaaah....." Mataku terbelalak.

"Udaaaaah, sanaaaa cepetaaaaan!" Ucap Nisa sembari mendorong tubuhku secara berlahan.

Tak ada pilihan lain, aku harus berbenah.  Tidak butuh waktu yang lama aku sudah siap untuk berangkat.

"Nis, udah. Hayuuuk!"

"Eeeeeh, nggak....ngaaak. Polos amat, makeup dikit dong." Protes Nisa padaku sembari menarik tanganku menuju kamanya.

Aku tak mampu berkata apa-apa.  Nisa mendorongku secara berlahan ke arah kamar rias yang masih bersambung dengan kamar tidurnya. 

"Duduk!" Perintahnya.

Aku segera duduk pada kursi yang terletak di depan meja rias.  Tangan Nisa dengan cekatan memoleh wajah polosku.  Sesaat kemudian semua sudah beres.  Aku memandangi wajahku di depan cermin.  Sesekali tersenyum pada bayanganku sendiri, lesung pipi semakin tampak nyata.

"Wiiiih Nis, aku cantik juga klo dandan gini yah." Ucapku bergurau.

"Laaah Del, kamu kan kurang poles aja.  Kamu itu cantik, cuma nggak tau merawat diri kamu."

"Bukannya nggak tau Nis, hanya saja kurang modal dan rasanya aku nggak percaya diri," Ucapku sembari terkekeh-kekeh.

"Kalau kamu sudah siap, aku akan mengajarimu nanti, cara instan untuk jadi sultan kota metropolitan."

"Ah, nggak deh Nis, takut." Ucapku dan hanya disambut dengan tawa oleh Nisa.

"Hayuuuk, bentar lagi pesawat Mas Pras akan landing.  Oh iya, aku pamit dulu pada Bu Lani.  Tunggu aku di ruang depan saja!" Ucap Nisa sembari menggandeng tanganku ke luar kamar.

Kendaraan sudah melaju di atas aspal  mulus ibukota, lalu lintas masih sangat sepi hanya sesekali kendaraan melintas.  Nisa mengemudikan mobil mewahnya dengan berlahan.  Entah mengapa perasaanku tidak karuan dan rasanya sulit untuk dipahami apa yang aku rasakan sekarang.  Sepanjang perjalanan aku lebih banyak terdiam dan bahkan sempat tertidur beberpa menit. Sumber Gambar

Next Part 6 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun