Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Fiksi Penggemar RTC) Muak.

10 September 2015   23:04 Diperbarui: 10 September 2015   23:49 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No. 36

(Fiksi Penggemar RTC) 

Nanar mataku memandang siaran televisi. Darah mendidih seperti tersulut api membara. Aku tak bisa mentolelir keputusan itu. Bagiku gulita tak akan menelan matahari, karena keesokkannya pasti akan lahir terang. Begitupun tatkala mendapatkan kenyataan bahwa Dayat, penyanyi yang aku favoritkan memenangkan ajang pencarian bakat tereliminasi tanpa pernah menyentuh babak final, maka aku menekan rasa dengan harap Dayat tetap akan bersinar di luar sana.

===

Suatu malam aku bertemu Dayat di sebuah Mall. Mall ini sudah sepi pengunjung. Segalanya mulai terlihat gelap dan seram. Aku pernah masuk beberapa bulan yang lalu, tapi saat itu ramai sekali dan hari masih terang. Tapi kini, suasana yang kudapat merindingkan bulu romaku. Namun hatiku terhibur akan kehadiran Dayat.

“Boleh kenalan sama Bang Dayat?” tanyaku sambil mendekatinya yang berdiri sendirian di  eskalator.

“Oh, iya. Siapa ya?” tanyanya ramah.

“Aku Isti Bang. Fans Abang. Dulu sering kirim sms buat dukung Abang”. Jawabku malu-malu.

“Oh, terima kasih sudah membantu aku bertahan hingga babak lima besar”. Jawabnya tersenyum.
Duh. Senyum itu yang membuat aku jatuh hati.

===

Aku menunggu hingga pukul 23.00 WIB. Tak ada Dayat di situ. Padahal ia berjanji akan datang lagi ke Mall untuk bertemu aku. Memoriku langsung berkeruh warna. Malam ini aku harus bertemu dia. Tapi mengapa ia tak di sini? Oh, tidak. Dia pasti ada di sini. Mataku terasa panas. Dadaku bergejolak. Aku harus bertemu Dayat. Rinduku sudah tak tertahankan lagi.

Aku berjalan terseok dengan pandangan kosong. Kebencian, hinaan, dan keputusasaan merasuki pikiranku. Aku merasa disepelekan, diabaikan dan tidak berguna. Dan lagi-lagi bulu kudukku berdiri saat kulihat bayangan Dayat muncul di eskalator tepat ketika aku hendak menuruninya.

Aku tersandung, tubuhku linglung dan terjerembab. Dengan sigap Dayat meraih tubuhku. Aku berdiri dengan susah payah, walaupun ia membantu dan memapahku namun aku masih belum melupakan rasa keterpurukkan dari kesia-siaan yang ia ciptakan.

“Lama sekali aku menunggumu”. Aku bersuara serak

“Maafkan aku Isti. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku”. Jawabnya

“Kali ini kumaafkan”. Kataku mencoba tersenyum.

===

Aku terengah-engah menyeruak diantara kerumunan orang-orang. Kulihat Dayat sedang mengumbar senyum sambil sesekali melayani cewek-cewek yang ingin selfie dengannya. Bodoh sekali aku, aku tak mengerti artinya kepedihan yang tersirat di wajah Dayat. Aku tak mengerti kenapa air mataku mengalir. Aku tak mengerti kenapa orang-orang memandangnya secara membabi buta. Yang aku mengerti, Dayat harus selalu bersamaku. Ada untukku. Dan hanya berdua denganku.

Kutarik tangannya keluar dari lingkaran orang-orang yang mengelilingi. Aku membawanya ke Mall tempat kami biasa bertemu. Aku merasa nyaman bila bersamanya di Mall ini. Mataku memandang ke sekeliling Mall yang sudah sepi. Kurebahkan kepalaku di pundak Dayat. Sebuah bayangan berkelebat. Sepintas ia mirip Dayat.

Aku berdiri memandanginya. Lalu mengalihkan pada Dayat secara bergantian.

“Kalian sangat mirip”. Suaraku bergetar lirih.

“Kami bersaudara”. Kata bayangan di ujung sana.

“Namanya Dayan”. Dayat memperkenalkan saudaranya.

Aku tersenyum lega. Tapi tetap mengumpat dalam hati. Merutuki kebodohanku selama ini. Mereka adalah saudara kembar. Dan saling menggantikan posisi saat salah satu dari mereka berhalangan. Keduanya memiliki kesamaan. Baik wajah, bentuk tubuh, style rambut dan semua yang melekat pada diri mereka sulit untuk dibedakan.

Oh, tidak. Pekikku membantin. Jangan-jangan aku sudah pernah berdua dengan keduanya. Aku menghitung-hitung pertemuanku dengan Dayat. Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali. Bahkan kami selalu mengakhiri pertemuan dengan percintaan yang membara.

Bruk. Tubuhku tersungkur lagi. Rasa sakit dan kebodohan kembali menghunus ulu hatiku. Ia menusuk-nusuk seperti tikaman duri yang menghujam dalam. Aku tak sanggup membayangkan bila keduanya sudah pernah menyentuh tubuhku. Tidakkah itu artinya aku hanya sebagai permainan mereka belaka?

===

Aku tak bisa hidup dengan keadaan ini. Aku tak ingin kelak dua-duanya tak kudapatkan. Aku telah menyerahkan seluruh tubuhku. Tapi tak tahu dengan siapa. Apakah Dayat ataukah Dayan? Sejauh ini Dayatlah yang mengakuinya. Tapi aku tak percaya, karena suatu waktu saat aku bersama Dayat, ternyata Dayat sedang live di televisi.

Menurut Dayat, Dayan yang menggantikan performnya. Tapi aku ingat, salah satu dari mereka ada yang tidak romantis. Dan aku mulai menerka-nerka, serta mengingat-ingat, siapa dari mereka yang tidak romantis? Saat pertama bertemu di Mall, aku yakin itu adalah Dayan. Ia tidak punya pekerjaan. Sementara Dayat sedang mengisi sebuah acara. Ah, sekarang aku bisa merasakan perbedaan dari keduanya.

===

Dadaku terasa nyeri, kakiku pun lemas, tapi kupaksakan melangkah. Walaupun terseok-seok akhirnya sampai juga ke ujung eskalator Mall.

“Mengakulah, apakah engkau Dayan?” tanyaku ketika sosok itu sudah menunggu

“Iya,” jawabnya lunak

“Aku ingin engkau yang bertanggung jawab”. Kataku menahan tangis yang hampir tertumpah

“Tak mungkin kamu hamil Isti”. Bisik Dayan tidak percaya

“Aku hamil!!” teriakku memecahkan kesunyian Mall

“Isti, kau tidak mungkin hamil olehku. Aku tak pernah menyelamimu. Juga tak bisa menerjemahkan keinginanmu. Kau jiwa yang sulit dan rumit untuk kupahami”. Bentak Dayan yang membuatku tercenung.

Benar, tak seorang pun yang bisa memahamiku. Dan aku tak butuh dipahami oleh siapapun. Aku hanya ingin Dayan mengakui anak yang kukandung adalah buah perbuatannya. Sekarang, akankah bisa kuminta kembali mahkota yang telah melayang dari tubuhku? Yang telah menyengsarakan dengan segala keegoisanku?

“Uhuk! Kau.....kau terlalu banyak bicara Dayan”. Suaraku mulau parau. “Mengahabiskan waktuku dengan ocehanmu adalah sesuatu yang sia-sia”. Aku memandangnya dengan nanar.

Aku menarik kerah bajunya kuat-kuat. Aku ingin memeluknya erat-erat. Tapi dendam dan kebencianku menggiring niatku untuk melenyapkan Dayan dengan mendorongnya agar terjatuh di tangga eskalator.

Tiba-tiba sebelum semuanya terlambat, seseorang memanggil namaku dari kejauhan.

“Isti! Hentikan”. Aku memandang arah bentakkan. Tampak Dayat tersenyum manis, lalu ia berkata lembut sambil menggapaikan tangannya.

“Kamu tak mungkin hamil”. Dayat mengulangi lagi kata-katanya.

“Kenapa?” tanyaku mendesah

“Namamu saja Istiono”. Jawab Dayat penuh kemenangan.

Dan aku pun melepaskan kerah baju Dayan, seraya berlari kesana kemari di koridor-koridor Mall yang sudah tutup. Sesekali aku tertawa terkikih-kikih bahkan terkadang tertawa melengking. Lalu menangis, memandang dengan tatapan yang tak pernah kumengerti. Perasaanku sudah kehilangan segala sesuatunya.

Aku berlari hingga terus menjauh. Tak peduli makhluk-makhluk apa yang aku jumpai berkeliaran di sekelilingku, yang aku mengerti, Dayat ataupun itu Dayan selalu ada disampingku bersama ranting berayun diterpa kemarau rajam kesedihan bermuram durja.

NB : Terinspirasi dari Film Arisan & Karya Ini Orisinil dan Belum Pernah Dipublikasikan

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun