“Namanya Dayan”. Dayat memperkenalkan saudaranya.
Aku tersenyum lega. Tapi tetap mengumpat dalam hati. Merutuki kebodohanku selama ini. Mereka adalah saudara kembar. Dan saling menggantikan posisi saat salah satu dari mereka berhalangan. Keduanya memiliki kesamaan. Baik wajah, bentuk tubuh, style rambut dan semua yang melekat pada diri mereka sulit untuk dibedakan.
Oh, tidak. Pekikku membantin. Jangan-jangan aku sudah pernah berdua dengan keduanya. Aku menghitung-hitung pertemuanku dengan Dayat. Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali. Bahkan kami selalu mengakhiri pertemuan dengan percintaan yang membara.
Bruk. Tubuhku tersungkur lagi. Rasa sakit dan kebodohan kembali menghunus ulu hatiku. Ia menusuk-nusuk seperti tikaman duri yang menghujam dalam. Aku tak sanggup membayangkan bila keduanya sudah pernah menyentuh tubuhku. Tidakkah itu artinya aku hanya sebagai permainan mereka belaka?
===
Aku tak bisa hidup dengan keadaan ini. Aku tak ingin kelak dua-duanya tak kudapatkan. Aku telah menyerahkan seluruh tubuhku. Tapi tak tahu dengan siapa. Apakah Dayat ataukah Dayan? Sejauh ini Dayatlah yang mengakuinya. Tapi aku tak percaya, karena suatu waktu saat aku bersama Dayat, ternyata Dayat sedang live di televisi.
Menurut Dayat, Dayan yang menggantikan performnya. Tapi aku ingat, salah satu dari mereka ada yang tidak romantis. Dan aku mulai menerka-nerka, serta mengingat-ingat, siapa dari mereka yang tidak romantis? Saat pertama bertemu di Mall, aku yakin itu adalah Dayan. Ia tidak punya pekerjaan. Sementara Dayat sedang mengisi sebuah acara. Ah, sekarang aku bisa merasakan perbedaan dari keduanya.
===
Dadaku terasa nyeri, kakiku pun lemas, tapi kupaksakan melangkah. Walaupun terseok-seok akhirnya sampai juga ke ujung eskalator Mall.
“Mengakulah, apakah engkau Dayan?” tanyaku ketika sosok itu sudah menunggu
“Iya,” jawabnya lunak