Penyakit para pengusaha muslim hari ini adalah ketika mereka merasa dirinya sudah sangat sukses atau super kaya, padahal bisnis baru saja dijalani, kesuksesan kecil baru saja didapatkan. Belum apa-apa langsung ingin tampil menjadi pembicara di mana-mana, membesarkan gedung atau kantornya, melebarkan bisnisnya, dan lain sebagainya. Ibarat kata, ia sudah merasa besar di awal kesuksesan. Merasa besar atau kes
Kesombongan inilah yang merupakan penyakit para pengusaha yang menjadi penyebab kejatuhan bisnisnya.Mengapa hal ini disebut penyakit? Sebab tanpa kesombongan, seseorang saja bisa jatuh dalam menjalankan bisnisnya. Apalagi bila ia sudah sombong di awal, padahal persaingan di dunia bisnis adalah seperti persaingan du dunia mafia. Banyak pesaing yang tidak senang dengan kesuksesan seseorang karena mengganggu pangsa pasarnya dan ia akan menjatuhkan pesaingnya dengan segala cara. Bila sudah sombong di awal, tentu potensi untuk diserang dan hancur akan lebih jauh besar.
Mengenai sikap sombong yang menjangkit pebisnis di awal memulai karier atau kesuksesannya, Allah telah memberikan pelajaran yang tersirat di dalam surat Al-Kahfi ayat 32-44.
Pada ayat tersebut telah dikisahkan tentang dua orang lelaki pada zaman dahulu. Kedunya merupakan sepasang sahabat, yang satu beriman dan yang satunya lagi ingkar. Sahabat yang beriman Allah berikan ujian dengan kesempitan hidup, yakni sedikit harta, rezeki, ataupun kekayaan yang dimiliki. Di samping itu, Allah memberinya kenikmatan yang lebih besar dibandingkan harta benda, yakni nikmat iman yang membuatnya rida terhadap segala ketentuan Allah padanya.
Berbeda dengan sahabatnya yang beriman, Allah berikan ujian berupa kelapangan rezeki pada temannya yang ingkar. Kelapangan rezeki tersebut membawanya pada kemudahan duniawi dan keberlimpahan materi. Allah hendak menguji, apakah dengan harta yang dititipkan tersebut bisa semakin bersyukur dan bertambah keimanannya atau justru kufur terhadap pemberian dari Allah. Dan rezeki tersebut Allah rupakan dengan dua kebun yang begitu indah. Hal ini termaktub dalam ayat 32-34.
* *
Artinya, "Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun. Dan kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu dan dia mempunyai kekayaan besar." (QS Al-Kahfi: 32-34)
Sahabat yang ingkar dikaruniai dua kebun anggur yang terus berbuah dan tidak pernah berhenti barang sesaat pun. Di sekelilingnya terdapat deretan pohon kurma yang tampak layaknya pagar. Tidak cukup sampai di situ, di antara dua kebun tersebut terdapat ladang sehingga ketika musim panen tiba ia dapat merasakan keberlimpahan anggur, kurma, dan juga hasil ladang. Bisa dibayangkan betapa banyak harta yang Allah limpahkan kepadanya. Ia benar-benar kaya.
Tampilan kebun dan isinya yang begitu hebat tersebut membuat sahabat yang ingkar ini begitu bangga. Ia menganggap bahwa dirinya begitu pandai dalam mengatur kebunnya hingga menghasilkan panen yang maksimal. Maka ketika masuk ke dalam kebunnya, hanya perasaan congkak yang timbul, merasa besar hati dengan segala pencapaiannya. Ia tidak sadar bahwa segala kenikmatan yang diberikan merupakan anugerah dari Allah sehingga ia mendzalimi dirinya sendiri dan sombong pada orang lain dengan berkata,
Artinya, "Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat." (QS Al-Kahfi: 34)
Tidak hanya menyombongkan harta yang ia miliki, sahabatya yang ingkar ini bahkan juga sangat percaya diri bahwa ia memiliki banyak pengikut yang lebih kuat. Kesombongannya terhadap sahabat yang mukmin telah membuatnya lupa diri. Ia merasa berada di atas awan sehingga menganggap orang lain hanyalah daratan yang posisinya di bawah. Lalu, ia kembali berkata,
Artinya, "Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya." (QS Al-Kahfi: 35)
Ketika seseorang berada dalam puncak kesombongannya, ia tidak pernah sadar bahwa apa yang dimilikinya adalah hal yang fana. Ia selalu mengira bahwa miliknya kekal. Sama halnya dengan sahabat yang ingkar ini. Ia mengira bahwa kebunnya adalah hal yang abadi. Ia benar-benar tenggelam dalam harta dan kekayaan yang dimilikinya. Dengan penuh percaya diri, ia berkata,
Artinya, "Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang. Dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari kebun-kebun itu." (QS Al-Kahfi: 36)
Sahabat yang ingkar ini mengira bahwa di akhirat, ia akan mendapatkan kedudukan yang serupa bahkan lebih tinggi dibandingkan yang Allah berikan di dunia. Mendapati sahabatnya yang semakin lalai karena berada di puncak kesombongan, maka si sahabat yang beriman pun berusaha memberikan sebuah nasihat.
Artinya, "Kawannya (yang mukin) berkata kepadanya --sedang dia bercakap-cakap dengannya, "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? (QS Al Kahfi: 37)
      Sang sahabat juga melanjutkan kembali nasihatnya,
Artinya, "Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu 'masyaAllah, laa quwwata illa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan." (QS Al-Kahfi: 39)
Pada akhirnya temannya yang ingkar mendapatkan balasan atas kesombongannya. Kebun yang ia bangga-banggakan dan diklaim atas hasil keahliannya telah Allah binasakan. Jubah kesombongan yang ia kenakan, hanya menuntunnya pada kemurkaan Allah. Tentang kebinasaan kebun tersebut Allah abadikan juga di dalam ayat ke-42 yang berbunyi,
Artinya, "Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah ia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku." (QS Al-Kahfi: 42)
Dari kisah tersebut, Allah memberikan wasiat pertama kepada kita agar jangan sampai memiliki penyakit hati yang bernama sombong. Sombong merupakan keadaan di mana kita menolak adanya kebenaran dan justru merendahkan keberadaan orang lain. Artinya, ketika mendapatkan nasihat, ia tidak akan melihat kebenaran dari nasihat tersebut, melainkan setinggi apa derajat orang yang menyampaikannya.
Kebalikan dari sifat sombong adalah tawadhu atau rendah hati. Sifat ini begitu penting untuk dijadikan sebagai pondasi hidup kita. Sama halnya seperti kisah pemilik dua kebun tadi, Allah juga karuniakan kebun-kebun kepada kita. Kebun di sini bukan hanya berbentuk fisik, tetapi juga bisa berupa kebun jabatan, rumah, dan berbagai kebun-kebun kenikmatan lainnya yang terlimpahkan pada kehidupan kita. Bukankah ketika nikmat tersebut diberikan kepada kita artinya Allah sedang menitipkannya?
Maka alangkah lebih baiknya ketika memasuki kebun-kebun kita, seperti rumah, kantor, atau pabrik yang kita miliki, hendaknya sambil mengucapkan,"MasyaAllah lahaulawalaquata ila billah, tiada daya dan upaya kecuali pertolongan dari Allah." Sebab sejatinya, kunci daripada kesuksesan adalah dia mengembalikan seluruh apa yang ia miliki tersebut kepada Allah. Sebab salah besar apabila kita memilih untuk menyombongkan segala kenikmatan tersebut, karena justru hanya akan mendapatkan celaka. Bahkan Rasulullah bersabda,
Artinya, "Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan, lalu ada seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan?), Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah itu bagus dan menyukai yang bagus, sedang kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR Muslim)
Maka penyelamat dari sifat sombong yang paling tepat adalah dengan menjadi sosok rendah hati atau tawadhu. Terlebih bagi para pebisnis, sikap tawadhu akan menjadi cara mengamankan bisnis yang sangat penting hingga suatu saat ketika ia muncul di mana-mana, tidak akan goyah dengan sifat sombongnya. Ia tidak akan mudah mengklaim bahwa semua harta dan materi yang diberikan oleh Allah merupakan hasil keahliannya semata.
Selain itu, banyak yang keliru mempersepsikan bahwa tawadhu adalah sikap rendah diri. Tawadhu bukan rendah diri, melainkan bentuk kerendahan hati. Bila berbaur di masyarakat, ia tahu bahwa nilai dirinya adalah sembilan, tetapi lebih memilih menempatkan dirinya di angka tujuh. Dia selalu merendahkan hatinya di depan kaum muslimin ataupun saudaranya. Tentu di mata orang lain, posisinya jauh lebih mulia dibandingkan orang yang sebenarnya memiliki nilai tujuh tetapi menganggap dirinya bernilai sembilan.
Contoh lainnya seperti dalam sebuah perusahaan. Ketika ada satu orang yang menganggap dirinya paling berjasa dan mengagung-agungkan keberadaannya, justru perasaan tersebut yang akan membuat posisinya jatuh. Ibaratnya seperti sebuah pondasi yang keberadaannya sangat penting tetapi ketika pondasi tersebut ingin tampak menonjol hingga menunjukkan dirinya sampai terlihat oleh dunia luar, maka apa yang terjadi pada bangunan tersebut? Benar. Ia akan roboh.
Maka di dalam kitab Ma'alim fi al-Thariq karya Syaikh Abdul Aziz terdapat syair begitu indah yang mengatakan, "Bertawadhulah kamu karena tawadhu itu akan membuat kamu seperti bintang yang orang-orang melihatnya di atas genangan air, padahal ia jauh sangat tinggi, yakni di langit." Orang-orang bisa melihat bintang di atas genangan air meskipun tempat singgahnya yang sesungguhnya adalah di atas langit.
Dalam syairnya Syaikh Abdul Aziz juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh seperti asap. Ia menjunjung tinggi dirinya hingga melambung jauh di udara tetapi sebenarnya tidak ada apa-apanya. Dari kedua perumpamaan ini membuktikan bahwa posisi orang yang tawadhu tidak akan membuatnya terlihat rendah. Orang-orang akan memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Tidak heran juga ketika orang yang memiliki sifat tawadhu akan lebih cepat mendapatkan relasi karena ia mudah disukai orang.
Dalam dunia bisnis, orang-orang dengan sifat tawadhu akan lebih mudah bertumbuh karena dirinya tidak pernah segan bertanya atau meminta bantuan orang lain saat dirasa kurang mampu. Meskipun kemampuannya besar, dia akan terus merasa haus akan ilmu. Bahkan posisinya yang tinggi tidak akan membuatnya malu untuk bertanya pada orang-orang yang sebenarnya berada di bawahnya. Keberadaannya laksana sebuah padi yang semakin lebat isinya justru semakin merunduk.
Abdullah bin Al-Mu'taz rahimahullah berkata, "Penuntut ilmu yang bersikap tawadhu' adalah orang yang banyak ilmunya, sebagaimana tempat yang rendah lebih banyak menampung air." (dikeluarkan oleh Al-Khothib Al Baghdadi di dalam Al-Jaami' Li Akhlaaqi Ar-Roowi No. 345)
Namun, di era yang segala sesuatunya diekspose secara besar-besaran seperti hari ini, telah banyak orang-orang yang melupakan sifat tawadhu. Bahkan tidak jarang penilaian terhadap individu lainnya dilakukan berdasarkan status sosial yang dimilikinya. Hal ini sebenarnya justru membuat relasi atau menciptakan jaringan yang sempit. Bayangkan saja ketika orang-orang kaya hanya mau berkumpul dengan orang kaya saja, tentu banyak peluang kebaikan yang akan melewatinya.
Lalu seperti apa seharusnya sebuah sifat tawadhu itu? Menurut Al-Hasan Al-Bashri, tawadhu itu setiap kali seseorang keluar rumah dan bertemu seorang muslim, ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih baik dari dirinya. Lalu ketika ia melihat orang kafir yang baru masuk islam, ia mengatakan betapa beruntungnya orang tersebut. Dosa-dosanya terhapus laksana seorang bayi yang baru lahir, sedangkan saya berlimpah dosa.
Saat melihat orang yang sudah tua, ia berkata betapa beruntungnya dia. Ia begitu banyak pahala dengan ibadah-ibadahnya, sedangkan saya masih berlimangan dengan dunia. Pun ketika ia melihat ada seorang pemuda yang rajin beribadah, ia berkata betapa beruntungnya ia masih muda sudah rajin ibadah. Ia sudah mengumpulkan kebaikan-kebaikan hingga hari tuanya. Sementara sisa usia saya beribadah tinggal sedikit.
Tidak hanya sampai di situ, saat berhadapan dengan orang fajir yang banyak maksiat maka ia mengatakan bahwa bisa jadi orang fajir tersebut lebih baik dari saya. Bisa jadi ia bertaubat hingga Allah mengampuni semua dosanya sedang saya tidak ada satupun yang menjamin bisa khusnul khatimah. Bahkan ketika melihat orang bodoh pun ia berkata betapa beruntungnya dia tidak berilmu, bisa jadi Allah mengampuninya sementara saya dikaruniai banyak ilmu tetapi tidak mengamalkannya.
Kerendahan hati di atas bukan berarti merendahkan dirinya sendiri. Tawadhu hanya mengajarkan kepada pengikutnya agar tidak zalim terhadap dirinya sendiri dan mengingkari kenikmatan yang datang dari Allah. Sifat ini sudah selayaknya dimiliki oleh para pengusaha agar penyakit-penyakit kesombongan tidak melenakan kehidupannya. Selain itu, sikap kerendahan hati ini akan mejadi awal dari kebaikan-kebaikan yang tercipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H