Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tidak akan Masuk Surga, Orang yang Sombong

13 Februari 2023   19:18 Diperbarui: 13 Februari 2023   19:24 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka alangkah lebih baiknya ketika memasuki kebun-kebun kita, seperti rumah, kantor, atau pabrik yang kita miliki, hendaknya sambil mengucapkan,"MasyaAllah lahaulawalaquata ila billah, tiada daya dan upaya kecuali pertolongan dari Allah." Sebab sejatinya, kunci daripada kesuksesan adalah dia mengembalikan seluruh apa yang ia miliki tersebut kepada Allah. Sebab salah besar apabila kita memilih untuk menyombongkan segala kenikmatan tersebut, karena justru hanya akan mendapatkan celaka. Bahkan Rasulullah bersabda,

Artinya, "Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan, lalu ada seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan?), Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah itu bagus dan menyukai yang bagus, sedang kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR Muslim)

Maka penyelamat dari sifat sombong yang paling tepat adalah dengan menjadi sosok rendah hati atau tawadhu. Terlebih bagi para pebisnis, sikap tawadhu akan menjadi cara mengamankan bisnis yang sangat penting hingga suatu saat ketika ia muncul di mana-mana, tidak akan goyah dengan sifat sombongnya. Ia tidak akan mudah mengklaim bahwa semua harta dan materi yang diberikan oleh Allah merupakan hasil keahliannya semata.

Selain itu, banyak yang keliru mempersepsikan bahwa tawadhu adalah sikap rendah diri. Tawadhu bukan rendah diri, melainkan bentuk kerendahan hati. Bila berbaur di masyarakat, ia tahu bahwa nilai dirinya adalah sembilan, tetapi lebih memilih menempatkan dirinya di angka tujuh. Dia selalu merendahkan hatinya di depan kaum muslimin ataupun saudaranya. Tentu di mata orang lain, posisinya jauh lebih mulia dibandingkan orang yang sebenarnya memiliki nilai tujuh tetapi menganggap dirinya bernilai sembilan.

Contoh lainnya seperti dalam sebuah perusahaan. Ketika ada satu orang yang menganggap dirinya paling berjasa dan mengagung-agungkan keberadaannya, justru perasaan tersebut yang akan membuat posisinya jatuh. Ibaratnya seperti sebuah pondasi yang keberadaannya sangat penting tetapi ketika pondasi tersebut ingin tampak menonjol hingga menunjukkan dirinya sampai terlihat oleh dunia luar, maka apa yang terjadi pada bangunan tersebut? Benar. Ia akan roboh.

Maka di dalam kitab Ma'alim fi al-Thariq karya Syaikh Abdul Aziz terdapat syair begitu indah yang mengatakan, "Bertawadhulah kamu karena tawadhu itu akan membuat kamu seperti bintang yang orang-orang melihatnya di atas genangan air, padahal ia jauh sangat tinggi, yakni di langit." Orang-orang bisa melihat bintang di atas genangan air meskipun tempat singgahnya yang sesungguhnya adalah di atas langit.

Dalam syairnya Syaikh Abdul Aziz juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh seperti asap. Ia menjunjung tinggi dirinya hingga melambung jauh di udara tetapi sebenarnya tidak ada apa-apanya. Dari kedua perumpamaan ini membuktikan bahwa posisi orang yang tawadhu tidak akan membuatnya terlihat rendah. Orang-orang akan memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Tidak heran juga ketika orang yang memiliki sifat tawadhu akan lebih cepat mendapatkan relasi karena ia mudah disukai orang.

Dalam dunia bisnis, orang-orang dengan sifat tawadhu akan lebih mudah bertumbuh karena dirinya tidak pernah segan bertanya atau meminta bantuan orang lain saat dirasa kurang mampu. Meskipun kemampuannya besar, dia akan terus merasa haus akan ilmu. Bahkan posisinya yang tinggi tidak akan membuatnya malu untuk bertanya pada orang-orang yang sebenarnya berada di bawahnya. Keberadaannya laksana sebuah padi yang semakin lebat isinya justru semakin merunduk.

Abdullah bin Al-Mu'taz rahimahullah berkata, "Penuntut ilmu yang bersikap tawadhu' adalah orang yang banyak ilmunya, sebagaimana tempat yang rendah lebih banyak menampung air." (dikeluarkan oleh Al-Khothib Al Baghdadi di dalam Al-Jaami' Li Akhlaaqi Ar-Roowi No. 345)

Namun, di era yang segala sesuatunya diekspose secara besar-besaran seperti hari ini, telah banyak orang-orang yang melupakan sifat tawadhu. Bahkan tidak jarang penilaian terhadap individu lainnya dilakukan berdasarkan status sosial yang dimilikinya. Hal ini sebenarnya justru membuat relasi atau menciptakan jaringan yang sempit. Bayangkan saja ketika orang-orang kaya hanya mau berkumpul dengan orang kaya saja, tentu banyak peluang kebaikan yang akan melewatinya.

Lalu seperti apa seharusnya sebuah sifat tawadhu itu? Menurut Al-Hasan Al-Bashri, tawadhu itu setiap kali seseorang keluar rumah dan bertemu seorang muslim, ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih baik dari dirinya. Lalu ketika ia melihat orang kafir yang baru masuk islam, ia mengatakan betapa beruntungnya orang tersebut. Dosa-dosanya terhapus laksana seorang bayi yang baru lahir, sedangkan saya berlimpah dosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun