Saat melihat orang yang sudah tua, ia berkata betapa beruntungnya dia. Ia begitu banyak pahala dengan ibadah-ibadahnya, sedangkan saya masih berlimangan dengan dunia. Pun ketika ia melihat ada seorang pemuda yang rajin beribadah, ia berkata betapa beruntungnya ia masih muda sudah rajin ibadah. Ia sudah mengumpulkan kebaikan-kebaikan hingga hari tuanya. Sementara sisa usia saya beribadah tinggal sedikit.
Tidak hanya sampai di situ, saat berhadapan dengan orang fajir yang banyak maksiat maka ia mengatakan bahwa bisa jadi orang fajir tersebut lebih baik dari saya. Bisa jadi ia bertaubat hingga Allah mengampuni semua dosanya sedang saya tidak ada satupun yang menjamin bisa khusnul khatimah. Bahkan ketika melihat orang bodoh pun ia berkata betapa beruntungnya dia tidak berilmu, bisa jadi Allah mengampuninya sementara saya dikaruniai banyak ilmu tetapi tidak mengamalkannya.
Kerendahan hati di atas bukan berarti merendahkan dirinya sendiri. Tawadhu hanya mengajarkan kepada pengikutnya agar tidak zalim terhadap dirinya sendiri dan mengingkari kenikmatan yang datang dari Allah. Sifat ini sudah selayaknya dimiliki oleh para pengusaha agar penyakit-penyakit kesombongan tidak melenakan kehidupannya. Selain itu, sikap kerendahan hati ini akan mejadi awal dari kebaikan-kebaikan yang tercipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H