Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mitos Kutukan dan Doa Orang yang Teraniaya

30 Agustus 2022   15:57 Diperbarui: 30 Agustus 2022   17:19 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutukan menurut KBBI adalah cercaan, makian dan semisalnya. Kata lain kutukan dalam literatur Islam adalah laknat.

Ada beberapa dongeng atau mitos yang berkembang di masyarakat kita, seperti mitos kutukan Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu.

Dongeng yang berasal dari tanah Sumatera Barat Ini bahkan menjadi bagian dari propaganda di buku pengajaran bahasa Indonesia era 90-an.

Cerita singkat Malin Kundang sang anak durhaka bermula dari kisah hidup ibu dan anak di pesisir pantai Air Manis.

Kedua orang itu adalah Mande Rubayah dan anaknya Malin Kundang. Mereka hidup dalam keadaan susah.

suatu hari Malin Kundang berkeinginan pergi merantau untuk memperbaiki hidup mereka.

Mande Rubayah pun mengizinkannya. Hari berganti hari bulan berganti bulan Malin Kundang tak kunjung datang pulang.

Tahun berganti tahun, sang anak pun tak ada kabar beritanya. Mande Rubayah yang sangat khawatir dengan anak semata wayangnya dan sangat ia cintai kini seakan lupa pada Mandenya.

Suatu hari datang kabar gembira bahwa Malin Kundang telah menikah dengan seorang putri bangsawan yang sangat kaya.

Sang Mande pun senang mendengarnya dan berharap putranya datang pulang menemuinya.

Harapan itu pun terkabul saat sebuah kapal besar bersandar di pesisir pantai Air Manis.

Terlihat seorang pemuda nan gagah dan seorang putri cantik turun dari geladak kapal.

Mande Rubayah bisa memastikan itulah sang anak Malin Kundang yang kini menjadi seorang kaya raya.

Mande Rubayah setengah berlari menghampiri Malin, kemudian dia memeluknya. Namun apa dinyana Sang anak malah mendorong badannya yang renta sambil berujar kata-kata kasar.

Dengan sakit hati yang tak terperikan dia bergumam dalam hati, "Duhai Malin harta telah menggelapkanmu, maka aku minta keadilan ya Tuhan atas kezalimannya."

Cerita pun berakhir dengan Malin Kundang menjadi batu, diyakini karena doa ibu kandungnya yang dia sakiti.

Hampir serupa cerita tentang seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya adalah cerita Sangkuriang tentang legenda gunung Tangkuban Parahu, putri dayang Sumbi dan Si Tumang.

Alkisah ada seorang putri bernama Dayang Sumbi tinggal di tengah hutan sendirian hanya di temani dengan seekor anjing.

Konon sang putri diisolasi karena telah melanggar titah raja. Kegiatan sehari-hari untuk mengisi waktu hanyalah menenun.

Dia tinggal di saung rangon (istilah Belanda untuk rumah panggung yang agak tinggi).

Suatu hari saat dia asyik menenun, tiba-tiba jarum tenun lepas dan jatuh ke kolong rangon.

Karena malas untuk mengambilnya dia pun tanpa sengaja bersumpah janji, " Barang siapa yang sudi mengambilkan jarum tenunku aku berjanji jika dia seorang wanita akan aku jadikan saudara dan jika seorang lelaki akan aku jadikan suami," katanya.

Sejurus kemudian muncullah sesosok makhluk yang datang sambil membawa jarum tenun.

Alangkah kagetnya dia ternyata yang membawa jarum itu si Tumang anjing peliharaannya.

Konon si Tumang adalah anjing jelmaan seorang pangeran yang dikutuk karena berbuat salah.

Sang putri tak mau menjilat ludahnya kembali, mau tidak mau dia harus tunaikan janjinya.

Beberapa bulan kemudian dia mengandung dan tak lama setelah itu dia melahirkan.

Dayang Sumbi melahirkan seorang anak lelaki tampan diberi nama Sangkuriang.

Singkat cerita Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang cekatan. Kesehariannya dia berburu bersama si Tumang.

Suatu hari sang ibu sangat menginginkan hati menjangan. Sangkuriang sebagai anak yang baik bersemangat sekali untuk mencarikan makanan kesukaan ibunya tersebut.

Berangkat seperti biasa bersama si Tumang, hari mulai terik tapi tak seekor binatang pun nampak berkeliaran.

Sore pun menghampiri, dengan perasaan bingung Sangkuriang tak mau pulang tanpa hasil seperti yang ibunya inginkan.

Saat itu dia melihat si Tumang dan tanpa pikir panjang lagi lantas dia panah si Tumang kemudian diambil hatinya.

Setibanya di rumah dia serahkan hati itu, ibunya kegirangan Sangkuriang mendapat hasil buruan yang dia inginkan.

Tapi si Tumang tak nampak dari tadi sang ibu pun bertanya ke mana gerangan si Tumang.

Sangkuriang pun terus terang bahwa hati hewan yang dia serahkan kepada ibunya adalah hati si Tumang.

Betapa kagetnya Dayang Sumbing tanpa sadar dia mengambil gayung dan memukulkannya ke kepala Sangkuriang.

Darah mengalir dari sela-sela rambut Sangkuriang, dengan nada marah Dayang Sumbi mengusir sang anak.

Sangkuriang pun berlari keluar dan tak menyangka ibunya akan semarah itu, padahal dia berniat baik mencarikan makanan untuk ibunya.

Tahun berganti tahun kehidupan Dayang Sumbi nyaris tak berubah. Hidup sebatang kara tanpa ditemani anak atau anjing kesayangannya si Tumang.

Pada suatu hari ada seorang pemburu muda tampan dan gagah. Dayang Sumbi pun terpesona dengan ketampanannya tersebut.

Sang pemuda pun menampakkan rasa ketertarikannya. Setelah berlalu pembicaraan sepasang insan itu terlihat lebih akrab.

Tatkala Dayang Sumbi menyibak rambut Sangkuriang untuk mencari kutu, terlihatlah kulit bekas luka (pitak) di kepalanya.

Dayang Sumbi pun bertanya sebabnya. Sangkuriang menjelaskan bahwa ibunya dulu memukul kepalanya gara-gara dia membunuh anjing kesayangannya.

Sedari tadi Dayang Sumbi sudah punya firasat bahwa pemuda yang di hadapannya tak lain adalah anaknya Sangkuriang.

Kini dia semakin yakin dengan pengakuan Sangkuriang tadi. Namun dia tak bisa menolak ajakan Sangkuriang untuk menikahinya tanpa alasan yang jelas.

Akhirnya Dayang Sumbi terpaksa menyetujui niat Sangkuriang menikahinya dengan syarat Sangkuriang harus membuatkan telaga dan sebuah perahu untuk kelak mereka berdua bulan madu. Tapi waktu pembuatannya hanya semalam saja.

Tanpa diduga Sangkuriang menyetujuinya, saat itu juga dia menyeru wadya baladnya dari bangsa makhluk halus dan mulai membendung sungai Citarum kemudian menyiapkan perahunya.

Dayang Sumbi mengamati dari kejauhan perkerjaan Sangkuriang. Sampai tengah malam pekerjaan hampir rampung.

Dayang Sumbi khawatir Sangkuriang benar-benar akan berhasil melaksanakan janjinya yakni hanya semalam mampu membuat telaga dan perahu.

Dengan segenap kekuatan gaib dan bantuan para Dewa, Dayang Sumbi memohon pertolongan agar pagi cepat datang.

Dengan mengibas-ibaskan selendangnya fajar di ufuk timur pun mulai menyingsing dan ayam hutan sudah mulai berkokok pertanda pagi segera datang.

Dayang Sumbi pun berteriak bahwa Sangkuriang gagal menepati janjinya dan berarti juga gagal untuk menikahinya.

Dengan perasaan kesal dan marah akhirnya Sangkuriang menendang perahu yang setengah jadi itu.

Terbanglah perahu itu dan jatuh dalam posisi tengkurap (nangkub dalam bahasa Sunda) membentuk gundukan tanah yang kemudian hari dinamai gunung Tangkuban Parahu.

Dua kisah di atas yakni kisah Malin Kundang dan Sangkuriang, keduanya berisi tentang mitos cerita rakyat walau pun mitos sarat dengan pesan moral.

Pesan moral,

  • Jangan pernah durhaka kepada orang tua.
  • Jangan pernah menyombongkan diri.
  • Kutukan orang tua bisa menjadi nyata.

Namun jika kita merunut awal dari uraian cerita tadi kita akan menemukan benang merah kenapa "kutukan" itu bisa terjadi.

Tidak ada satu pun ungkapan dari orang tua untuk menjadikan anaknya celaka. Seperti ungkapan "Jadilah batu!" Untuk Malin Kundang atau "Terbitlah pagi!" untuk Sangkuriang.

Tetapi kedua ibunda mereka sama-sama meminta pertolongan dzat yang mereka sangka bisa membantunya.

Yakni Tuhan Yang Maha Kuasa atau Dewa yang bisa menolongnya.

Jadi sebenarnya kutukan itu mitos belaka, sudahlah ceritanya hanya kisah fiktif belaka, isinya juga kebanyakan mitos atau khayalannya.

Karena yang memperkenankan permintaan atau doa seseorang hanyalah Tuhan Maha Kuasa.

Jadi yang berhak mengutuk atau melaknat hanyalah Tuhan semata.

Karena Mande Rubayah kategori orang yang teraniaya maka Allah kabulkan doanya.

Maka benarlah siapa pun kita berhati-hatilah dengan doa orang yang teraniaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun