Secara historis penciptaan suatu identitas bersama sebagian didasarkan pada identitas agama. Sampai abad kesembilan belas, orang belum membuat pembedaan yang tegas antara yang spiritual dan sekuler, antara yang suci dan yang fana (profane). Pada umumnya, nilai-nilai sakral memberikan rasa solidaritas sosial yang kuat. Dengan adanya komunitas-komunitas etnis yang relatif homogen dan munculnya negara-bangsa yang sekuler, dasar-dasar yang bercorak sakral belum juga hilang.
 Pola-pola suara (pemilih) kelompok keagamaan di Amerika Serikat yang telah diteliti lebih dari lima dekade juga memperlihatkan adanya hubungan antara agama yang di anut seseorang dengan kehidupan politik. Ada kecenderungan di kalangan Protestan untuk lebih memilih Partai Republik, sedangkan orang-orang Katolik dan Yahudi cenderung memilih Partai Demokrat. Centres melaporkan suatu korelasi  antara Protestantisme dan Partai Republik; dan Lenski menunjukkan kemungkinan suara untuk Partai Republik dari berbagai agama dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, yaitu: Protestan kulit putih, Katolik kulit putih, Protestan Negro, dan Yahudi. Pada umumnya studi-studi yang ada menunjukkan bahwa orang-orang Protestan memiliki kecenderungan untuk memilih Partai Republik.Â
Pola-pola suara kelompok keagamaan sebagian berkaitan dengan faktor-faktor sosio-ekonomi, dan terdapat adanya tanda-tanda bahwa pola-pola suara ini berubah secara perlahan. Kebanyakan hasil studi mengenai suara (pemilih) dalam kaitannya dengan keanggotaan kelompok keagamaan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok keagamaan minoritas cenderung untuk mendukung partai politik yang liberal. Hubungan ini tidak didasarkan pada keyakinan keagamaan atau tingkah laku keagamaan, melainkan semata-mata karena keberadaannya sebagai kelompok minoritas. Penjelasan ini terutama diperlakukan kepada Katolik, baik di Amerika maupun di Inggris.
Dalam menjelaskan hubungan antara keanggotaan kelompok keagamaan dengan suara (pemilih), Â Janowitz dan Segal menyatakan bahwa kedudukan Katolik yang minoritas di Amerika Serikat telah menyebabkan corak politik mereka bersifat liberal. Faktor-faktor lain adalah karena kebanyakan orang Katolik merupakan kaum imigran.
Di Indonesia sendiri, khususnya pada masa-masa awal era reformasi, banyak pemimpin Muslim terkemuka mendirikan partai politik baru, di antara mereka adalah: Abdurrahman Wahid, pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Amien Rais dan para pemimpin Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), dan Yusril Ihza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Pembentukan partai politik Islam ini sempat menjadi bahan diskusi dan perdebatan di antara para pemimpin dan intelektual Muslim sendiri serta kalangan pengamat politik dan politisi. Banyak dari mereka setuju pembentukan partai Islam, karena menurut Yusril Ihza dalam sistem demokrasi partai agama adalah legal dan konstitusional jika tujuannya tidak bertentangan dengan dasar negara dan demokrasi[9]. Namun Kuntowijoyo tidak setuju dengan pendirian partai Islam, karena antara lain bisa menghentikan mobilitas umat Islam, menciptakan disintegrasi di kalangan umat Islam, dan mempersempit pemahaman umat Islam tentang Islam.Â
Selanjutnya mengenai pentingnya hubungan agama -- Islam khususnya- dengan politik, manusia terlahir ke muka bumi sebagai khalifah. Penulis meyakini bahwa politik merupakan alat yang dapat merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah tersebut. Dan secara umum bahwa Islam telah mengatur garis-garis besar haluan untuk menjalankan politik tersebut. Apabila politik tersebut tanpa didasari dengan garis-garis besar yang telah diatur dalam Islam, maka cenderung politik akan selalu mengedepankan kepentingan pribadi pelaksana politik tersebut. Ketika kepentingan pribadi sudah di kedepankan, maka jelas bahwa tujuan politik sebagai alat untuk menggapai kemaslahatan bersama tidak akan tercapai.
Â
 Islam-Katholik : Kemiripan
 Menurut Ted, ada beberapa hal yang menjadi faktor kemiripan antara Islam dan Katholik. Pertama, bahwa kedua agama tersebut memiliki kesamaan tradisi kepercayaan monotheistik, yang artinya sama-sama meyakini bahwa Tuhan adalah tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu. Ini merupakan karakteristik politik penting, karena tauhid menyiratkan kemungkinan universalitas. Potensi universal tauhid memiliki implikasi politik yang penting. Islam dan Katolik memiliki sejarah yang aktif dalam kegiatan misionaris.
 Istilah "Katolik berarti universal", dan Gereja Katolik secara historis merupakan  agen moral yang aktif dalam kolonialisme Eropa. Memang, telah menyarankan bahwa pusat gravitasi dari Gereja Katolik telah bergerak ke selatan menuju dunia yang kurang berkembang, dan bahwa mayoritas dunia Katolik Roma tidak lagi menghuni Eropa atau Amerika Utara.
 Dalam Islam, keesaan Tuhan juga tercermin dalam kesatuan dan keutamaan masyarakat. Ekspansi Islam sebagian besar dibenarkan dan dijelaskan oleh kebutuhan dan kepentingan komunal, mirip dengan Katolik. Sejarah Islam menunjukkan bahwa umat Islam telah cukup aktif dalam menyebarkan iman keluar Arab. Perluasan ini dimulai dengan Muhammad dan terus berlanjut sepanjang sejarah Islam.