PendahuluanÂ
Tidak bisa disangkal lagi, agama mempunyai peran dalam kehidupan politik historis maupun kontemporer. Ted dan Mehran dalam tulisannya "Islam and Roman Catholicism as Transnational Political Phenomena: Notes for a Comparative Research Agenda" mengatakan :
We begin by noting the political importance of religion. Today, few analysts of comparative politics would dispute that religion is often a central focus in national and international politics. Although many analysts had earlier suggested that religious politics simply constituted vestiges of pre-modern systems it cannot be gainsaid that religion is of vital importance in contemporary political life. Whether one is concerned with the Palestinian-Israeli conflict, ongoing religio-political conflict in Lebanon, sectarian violence in Iraq, political cleavages in Northern Ireland or Afghanistan, and the contemporary desert politics of the Sudan, or the Christian Right in the United States, the fact that religion is the center of many contemporary national political cleavages and international politics conflicts appears to be beyond controversy.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan mencoba memberikan komparasi antara agama --dalam hal ini Islam dan Katolik -- dengan politik. Agar lebih terarah, Â maka diawal tulisan ini terlebih dahulu akan dibahas tentang Fenomena Gerakan Politik Transnasional, kemudian Hubungan Agama dan Politik, Islam dan Katholik : Persamaan dan Perbedaannya, dan diakhiri dengan melihat peran Islam dan Katolik dalam politik Indonesia.
Â
Fenomena Gerakan Politik Transnasional
Transnasional merupakan kosakata yang belakangan semakin populer dan diperbincangkan dengan sangat serius, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh bagian negara lain. Hampir beberapa tahun ini dunia diguncangkan dengan teror yang mengatasnamakan ISIS. Kelompok yang menghipnotis banyak orang awam, mengibarkan simbol-simbol agama dan meneriakkan kalimat-kalimat suci ketuhanan. Bahkan pada salah satu kesempatan, mantan ketua umum  NU, KH. Hasyim Muzadi[1] menyatakan dengan tegas bahwa ISIS merupakan Gerakan Transnasional Politik Agama yang perlu diwaspadai. Selain itu keadaan Politik di Sudan yang sampai saat ini terus dikuasai oleh Amerika dan Inggris. Lain lagi dengan Irlandia Utara, konflik yang terjadi sejak tahun 1969 itu terus berlangsung hingga saat ini, dan orang mengenalnya dengan konflik The Troubles. Yang terbaru, perihal terjadinya  serangan bersenjata di Paris. Apakah kejadian tersebut merupakan  bagian dari politik Transansional berikutnya? layak untuk kita tunggu perkembangannya. Kejadian-kejadian tersebut menjadi bukti bahwa Politk Transnasional seolah menjadi trend pada era ini.
 Secara literal transnasional berarti lintas nasional atau lintas kebangsaan. Ideologi transnasional bukan semata sebuah istilah tanpa makna yang penting. Ia kini dipahami sebagai sebuah istilah bagi gerakan politik internasional yang berusaha mengubah tatanan dunia berdasarkan ideologi keagamaan fundamentalistik, radikal dan sangat puritan.
Di Indonesia sendiri begitu banyak gerakan-gerakan Islam Transnasional yang terjadi, diantaranya Gerakan Ikhwanul Muslimin yang masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an, HTI, gerakan Salafi Dakwah buatan Wahabi, dan lain sebagainya.
Hubungan agama dan politik
Membicarakan hubungan nilai-nilai agama dengan perilaku politik rasanya sejalan benar dengan penelitian Weber tentang pengaruh nilai-nilai agama terhadap perilaku ekonomi. Dalam bukunya yang terkenal, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber berusaha menjelaskan mengapa kapitalisme modern berkembang di Eropa Barat dan Amerika, dan tidak berkembang di wilayah lainnya. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa suatu kegiatan unik yang bersifat keagamaan, yaitu reformasi Protestan (Calvinisme), telah melahirkan nilai-nilai baru secara mendasar, yang memberikan pengesahan kepada usaha-usaha yang bercorak ekonomi. Agama diakui telah memperjelas nilai-nilai dan norma-norma kehidupan daripada aspek apapun dalam masyarakat. Artinya bahwa agama merupakan salah satu di antara sumber nilai yang penting, yang menunjang budaya politik masyarakat.
 Secara historis penciptaan suatu identitas bersama sebagian didasarkan pada identitas agama. Sampai abad kesembilan belas, orang belum membuat pembedaan yang tegas antara yang spiritual dan sekuler, antara yang suci dan yang fana (profane). Pada umumnya, nilai-nilai sakral memberikan rasa solidaritas sosial yang kuat. Dengan adanya komunitas-komunitas etnis yang relatif homogen dan munculnya negara-bangsa yang sekuler, dasar-dasar yang bercorak sakral belum juga hilang.
 Pola-pola suara (pemilih) kelompok keagamaan di Amerika Serikat yang telah diteliti lebih dari lima dekade juga memperlihatkan adanya hubungan antara agama yang di anut seseorang dengan kehidupan politik. Ada kecenderungan di kalangan Protestan untuk lebih memilih Partai Republik, sedangkan orang-orang Katolik dan Yahudi cenderung memilih Partai Demokrat. Centres melaporkan suatu korelasi  antara Protestantisme dan Partai Republik; dan Lenski menunjukkan kemungkinan suara untuk Partai Republik dari berbagai agama dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, yaitu: Protestan kulit putih, Katolik kulit putih, Protestan Negro, dan Yahudi. Pada umumnya studi-studi yang ada menunjukkan bahwa orang-orang Protestan memiliki kecenderungan untuk memilih Partai Republik.Â
Pola-pola suara kelompok keagamaan sebagian berkaitan dengan faktor-faktor sosio-ekonomi, dan terdapat adanya tanda-tanda bahwa pola-pola suara ini berubah secara perlahan. Kebanyakan hasil studi mengenai suara (pemilih) dalam kaitannya dengan keanggotaan kelompok keagamaan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok keagamaan minoritas cenderung untuk mendukung partai politik yang liberal. Hubungan ini tidak didasarkan pada keyakinan keagamaan atau tingkah laku keagamaan, melainkan semata-mata karena keberadaannya sebagai kelompok minoritas. Penjelasan ini terutama diperlakukan kepada Katolik, baik di Amerika maupun di Inggris.
Dalam menjelaskan hubungan antara keanggotaan kelompok keagamaan dengan suara (pemilih), Â Janowitz dan Segal menyatakan bahwa kedudukan Katolik yang minoritas di Amerika Serikat telah menyebabkan corak politik mereka bersifat liberal. Faktor-faktor lain adalah karena kebanyakan orang Katolik merupakan kaum imigran.
Di Indonesia sendiri, khususnya pada masa-masa awal era reformasi, banyak pemimpin Muslim terkemuka mendirikan partai politik baru, di antara mereka adalah: Abdurrahman Wahid, pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Amien Rais dan para pemimpin Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), dan Yusril Ihza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Pembentukan partai politik Islam ini sempat menjadi bahan diskusi dan perdebatan di antara para pemimpin dan intelektual Muslim sendiri serta kalangan pengamat politik dan politisi. Banyak dari mereka setuju pembentukan partai Islam, karena menurut Yusril Ihza dalam sistem demokrasi partai agama adalah legal dan konstitusional jika tujuannya tidak bertentangan dengan dasar negara dan demokrasi[9]. Namun Kuntowijoyo tidak setuju dengan pendirian partai Islam, karena antara lain bisa menghentikan mobilitas umat Islam, menciptakan disintegrasi di kalangan umat Islam, dan mempersempit pemahaman umat Islam tentang Islam.Â
Selanjutnya mengenai pentingnya hubungan agama -- Islam khususnya- dengan politik, manusia terlahir ke muka bumi sebagai khalifah. Penulis meyakini bahwa politik merupakan alat yang dapat merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah tersebut. Dan secara umum bahwa Islam telah mengatur garis-garis besar haluan untuk menjalankan politik tersebut. Apabila politik tersebut tanpa didasari dengan garis-garis besar yang telah diatur dalam Islam, maka cenderung politik akan selalu mengedepankan kepentingan pribadi pelaksana politik tersebut. Ketika kepentingan pribadi sudah di kedepankan, maka jelas bahwa tujuan politik sebagai alat untuk menggapai kemaslahatan bersama tidak akan tercapai.
Â
 Islam-Katholik : Kemiripan
 Menurut Ted, ada beberapa hal yang menjadi faktor kemiripan antara Islam dan Katholik. Pertama, bahwa kedua agama tersebut memiliki kesamaan tradisi kepercayaan monotheistik, yang artinya sama-sama meyakini bahwa Tuhan adalah tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu. Ini merupakan karakteristik politik penting, karena tauhid menyiratkan kemungkinan universalitas. Potensi universal tauhid memiliki implikasi politik yang penting. Islam dan Katolik memiliki sejarah yang aktif dalam kegiatan misionaris.
 Istilah "Katolik berarti universal", dan Gereja Katolik secara historis merupakan  agen moral yang aktif dalam kolonialisme Eropa. Memang, telah menyarankan bahwa pusat gravitasi dari Gereja Katolik telah bergerak ke selatan menuju dunia yang kurang berkembang, dan bahwa mayoritas dunia Katolik Roma tidak lagi menghuni Eropa atau Amerika Utara.
 Dalam Islam, keesaan Tuhan juga tercermin dalam kesatuan dan keutamaan masyarakat. Ekspansi Islam sebagian besar dibenarkan dan dijelaskan oleh kebutuhan dan kepentingan komunal, mirip dengan Katolik. Sejarah Islam menunjukkan bahwa umat Islam telah cukup aktif dalam menyebarkan iman keluar Arab. Perluasan ini dimulai dengan Muhammad dan terus berlanjut sepanjang sejarah Islam.
 Kedua, mungkin kebetulan bahwa istilah fundamentalisme tampaknya paling tepat diterapkan untuk doktrinal Kristen dan Islam. Katolik dan Muslim adalah 'people of the book',  mereka berasal dari wawasan teologis yang sentral dan nilai-nilai dari teks-teks suci. Keberadaan Alkitab dan Qur'an memungkinkan untuk bisa melakukan pembaharuan teologis dan politik. Politik Muslim dan Kristen memiliki sumber daya yang aktif mengkritik tindakan para pemimpin politik sekuler dan agama. Baik Qur'an maupun Alkitab berisi jawaban yang spesifik untuk semua masalah kontemporer, dan interpretasi itu perlu.
 Selanjutnya perpecahan sektarian di Islam awalnya tidak berakar pada perselisihan teologis atas otoritas Qur'an dan tradisi Muhammad (Sunnah dan Hadis). Pembagian antara Sunni dan Syi'ah hanya atas sifat otoritas politik. Perselisihan utama tentang teologis muncul dari waktu ke waktu sebagai berbagai faksi di mana masing-masing sekte diikuti berbagai sumber dan mengembangkan tradisi yang berbeda. Menggarisbawahi maksud asli dan mempertanyakan sumber-sumber non-Quran, beberapa menolak setiap reinterpretasi sebagai bid'ah dan menolak ijithad  sebagai mekanisme yang tidak dapat diterima dalam mencari prinsip-prinsip Islam. Lainnya, terutama Syi'ah ulama, mengambil posisi bahwa itu adalah fungsi dari pembentukan ulama mengandalkan penilaian independen untuk mencari nilai-nilai dan petunjuk Islam.
 Ketiga, sepintas dari politik Islam dan Katolik menunjukkan bahwa penganut kedua tradisi iman telah berperilaku sama ketika berada dalam konteks politik dan teologis yang sebanding. Kedua tradisi telah berada dalam situasi di mana tradisi iman dominan. Artinya, pada suatu negara mayoritas Katolik  atau Islam dan memiliki pesaing agama serius. Contoh mungkin termasuk kontemporer Iran, dengan kuat Syi'ah  mayoritas, serta Polandia kontemporer, atau negara-negara Iberia Spanyol dan Portugal, dan beberapa negara Amerika Latin. Dalam kasus selanjutnya, ada kemungkinan bahwa tradisi keagamaan yang dominan bisa memberikan "sacred canopy" atau seperangkat nilai-nilai bersama di mana kehidupan sosial dan politik dilakukan.
 Akhirnya, terdapat pengaturan di mana umat Islam dan Katolik terlihat minoritas. Contoh dari jenis konteks, mungkin termasuk kehadiran Muslim di Eropa Barat atau Amerika Serikat atau Katolik Roma di Republik Rakyat China, negara-negara tertentu di Afrika, atau Amerika Serikat pada abad ke-19. Dalam hal ini, penganut Islam atau Katolik sebagian besar menanggung stigma imigran, dan sering menjadi korban diskriminasi hukum dan sosial. Hal ini terutama jelas dalam pengobatan Muslim di Eropa dan Amerika Serikat pasca tragedi 11 September. Larangan Perancis terhadap wanita Muslim yang berjilbab di sekolah, dan inisiatif pemerintah Inggris untuk meminggirkan wanita Muslim yang mengenakan jilbab adalah beberapa contoh hukum, sosial dan politik inisiatif yang dianggap diskriminatif. Memang, pada beberapa tahun pertama abad 21, toleransi terhadap Muslim di negara-negara Eropa Barat dan Amerika terlihat menurun.
Â
Islam -- Katolik : Perbedaan
 Tentu saja, terdapat perbedaan penting antara tradisi iman Islam dan Katolik Roma, Mungkin perbedaan politik yang paling penting antara Islam dan Katolik adalah bahwa Katolik lebih dikembangkan secara institusional dan didefinisikan dari Islam. Tahta Suci adalah negara-negara yang berdaulat, dengan sebagian besar hak istimewa dan tanggung jawab petugas. Vatikan telah dinegosiasikan statusnya internal dengan beberapa negara-negara lainnya, termasuk Konkordat dengan Polandia di pertengahan 1990-an. Lebih umum, Gereja memiliki struktur kompleks keuskupan dan paroki, masing-masing dengan seminari, biara-biara, sekolah, dan lembaga lainnya. Semua lembaga ini beroperasi dalam konteks politik nasional di negara-negara yang berbeda, dan Gereja harus bernegosiasi statusnya di masing-masing. Dalam beberapa kasus, seperti Polandia, status Gereja dapat ditentukan melalui hubungan diplomatik antara negara tuan rumah dan Vatikan. Di negara lain, seperti Amerika Serikat, Gereja harus beroperasi dalam struktur hukum nasional yang lebih umum. Sedangkan  Meksiko, hubungan gereja-negara dapat diwarnai oleh perjanjian informal antara gereja-gereja nasional dan pemerintah suatu negara tertentu.
 Sebaliknya, organisasi transnasional yang sebanding dalam Islam tampaknya tidak ada. Mengingat fakta bahwa Islam menolak mediasi antara kemanusiaan dan Allah, umat Islam tidak pernah berkomitmen untuk membangun infrastruktur organisasi yang luas mirip dengan Gereja Katolik. Sunni umumnya menolak jenis klerikalisme yang dominan dalam Syi'i untuk inkonsistensi dengan pandangan dunia Islam.
 Selanjutnya, tradisi iman berbeda dalam hal peran mereka dalam politik global. Selama berabad-abad, Gereja Katolik telah beroperasi dekat pusat politik internasional, dan memiliki sejarah menjadi aktor internasional berpengaruh dalam dirinya sendiri. Selama periode di mana kekuatan Eropa yang dominan dalam hubungan internasional (termasuk imperialisme Eropa), Gereja telah memberikan sumber daya, alasan-alasan, dan legitimasi bagi negara-negara dan kerajaan.
 Dalam politik dunia kontemporer, tentu saja, peran Gereja tetap penting, tetapi pengaruh Gereja telah menurun. Sekularisasi Eropa, dan fakta bahwa umat Katolik tetap menjadi agama minoritas di Amerika Serikat, telah mengurangi peran politik Gereja di mana bujukan moral adalah kepentingan utama. Meskipun Paus Benediktus XVI telah mencoba untuk menekankan karakter Kristen Eropa dan peradaban Barat umumnya, pengaruh politik Gereja terbatas, dan tentu saja, bervariasi di seluruh negara bangsa.
 Pada bagian awal abad ke-20, dunia Islam menyaksikan akhir kolonialisme dan kematian berbagai sistem monarki. Banyak dari rezim yang muncul di Mesir, Irak, Suriah, dan sejumlah negara Muslim lainnya semakin memeluk ideologi Barat yang sekuler dan kebijakan yang diimplementasikan sering menyimpang secara signifikan dari rezim kuno dan praktek-praktek tradisional Islam. Di beberapa negara, tren ini mengakibatkan konfrontasi kekerasan antara pasukan pemerintah dan agama yang umumnya memuncak dalam ukuran represif yang terpinggirkan dan terasing.
 Meningkatnya ketergantungan Barat pada minyak dan komitmen mereka untuk menjamin keamanan sumber daya minyak mengakibatkan pengaruh politik asing dan membuat banyak negara Muslim semakin tergantung pada Barat. Ketergantungan ini hampir sama dengan komitmen barat ke Israel, yang sebagian besar mengabaikan tuntutan dan harapan kaum muslimin, intensif kebencian internal dan friksi dan membahayakan legitimasi negara-negara sekuler.
 Peristiwa 11 September 2001 kembali membawa keluhan Muslim terhadap para pemimpin mereka dan Barat ke garis depan politik global. Selanjutnya, Barat menjadi sadar akan ancaman regional dan global potensi gerakan Islam. Kegagalan Barat di Afghanistan, konflik yang sedang berlangsung dengan Iran atas ambisi nuklirnya, serangan Israel di Libanon pada musim panas 2006, mengabaikan penderitaan rakyat Palestina, invasi ke Irak, dan dukungan untuk konservatif pro-Barat Arab telah meyakinkan banyak Muslim bahwa Barat benar-benar tertarik dalam menangani masalah-masalah dunia Muslim. Bahkan, kebijakan ini adalah indikasi dari penolakan Barat Islam dan relevansi politik di dunia Muslim. Banyak Muslim yakin bahwa Barat, dan khususnya Amerika Serikat, berniat menghancurkan Islam dan terus berusaha penaklukan Muslim.
Â
Peran Islam dalam Politik IndonesiaÂ
 Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan.
 Menurut Deliar Noer[10], sebagai sebuah konsep, bahwa negara Islam dilandasi oleh (1). Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara, (2). Hukum harus dijalankan, (3) Prinsip Syura (Musyawrah) dijalankan, (4). Kebebasan diberikan tempat, dan (5). Toleransi antar agama.
 Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan suatu nation Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama khususnya Islam. Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha.
 Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah[11] sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamkan warga masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama besar.
Â
 Kesimpulan
 Sudah menjadi keharusan bahwa politik dijalankan sesuai dengan agama, ketika hal itu tidak dilakukan, maka hal wajar bila terjadi konflik-konflik yang akan merugikan ummat.Â
Berkaitan dengan perbandingan Islam dan Katolik dalam hal politik, setidaknya ada tiga hal yang mirip dari kedua agama tersebut. Pertama, bahwa kedua agama tersebut memiliki kesamaan tradisi kepercayaan monotheistik Kedua, mungkin kebetulan bahwa istilah fundamentalisme tampaknya paling tepat diterapkan untuk doktrinal Kristen dan Islam. Ketiga, sepintas dari politik Islam dan Katolik menunjukkan bahwa penganut kedua tradisi iman telah berperilaku sama ketika berada dalam konteks politik dan teologis yang sebanding.
 Selain itu mungkin perbedaan politik yang paling penting antara Islam dan Katolik adalah bahwa Katolik lebih dikembangkan secara institusional dan didefinisikan dari Islam. Selanjutnya, tradisi iman berbeda dalam hal peran mereka dalam politik global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H