Malam baru saja turun masih di sertai butir-butir halus gerimis hujan. Dari ujung gang tampak Agus dan Saiful berjalan hati-hati karena banyaknya genangan air di jalan yang berlubang. Tampang keduanya sangat letih dan tentu saja mereka kelaparan. Mereka langsung menuju kedai kecil di sudut gang untuk makan malam.
"Baru pulang Gus", Wiwit pemillik kedai menyambut keduanya.
"Capek sekali hari ini, tapi semua kayu bakarku habis terjual", jawab Agus yang sehari-hari bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar. Jaman sekarang, semakin sulit mencari kayu bakar apalagi musim hujan begini dan semakin sulit lagi menjualnya karena banyak orang menggunakan minyak tanah dan gas.
"Makan apa nih?", Wiwit bertanya
"Aku tempe dan sayur aja", jawab Agus
"Kamu Ful?", wiwit bertanya pada Saiful
"Aku mie rebus aja, hari ini dagangan bungaku kurang laku, mungkin karena hujan seharian ya... orang jadi pada males nyekar". Saiful berjualan bunga di sekitar makam, bunga yang dijualnya tidak pernah di beri harga pasti hanya berharap kemurahan hati dari orang-orang yang nyekar di makam. Terkadang Saiful mendapat berkah yang lebih dari biasanya tapi tidak jarang juga harus pulang dengan uang sangat minim.
"Tadi ada orang yang cari Ujang kesini", Wiwit bercerita sambil mempersiapkan makanan untuk Agus dan Saiful. "Mungkin polisi, karena kita di suruh lapor di polsek terdekat kalau ketemu Ujang. Sudah 3 hari dia tidak mampir ke warung ini".
"Aku dengar di pasar ada perampokan... apa Ujang terlibat ya?" Agus menyeruput teh tawarnya
"Mudah-mudahan nggak lah, dia emang preman tapi baik koq", Wiwit menimpali
"Gang kita nih yang paling aman di kampung Resman ini, ya karena ada Ujang si jawara kampung kita".
Sementara itu digerimis malam yang dingin, Puspa dan Diah masih berkeliling dari warung ke warung di emperan jalan raya. Puspa dan Diah adalah penyanyi orkes dangdut keliling.
"Jang, ngapain kamu disini?" Puspa menepuk pundah Ujang. Dilihatnya Ujang sedang duduk termenung di halte.
"Aku bingung Pus, aku gak berani pulang", jawab Ujang
"Kenapa?" Diah duduk di sampingnya
"Panjang ceritanya...", Ujang masih menunduk, tidak menatap Puspa dan Diah sama sekali. Puspa dan Diah saling bertatapan, dan Puspa pun duduk di sebelah Ujang.
"Kamu mau cerita sama kita?" tanya Puspa
"Gini...,"Â Ujang mulai bercerita panjang lebar.
Cerita Ujang berawal dengan kebingungannya mencari uang untuk biaya anakknya yang sakit di kampung. Ujang, Ali dan Suryadi adalah sekelompok preman yang biasa mangkal di pasar. Ujang menceritakan resah hatinya memikirkan anaknya yang sakit kepada kedua temannya, Ali dan Suryadi. Ali dan Suryadi tidak memiliki kemampuan untuk membantu Ujang, karena mereka juga harus menghidupi keluarganya. Entah dari mana datangnya niat buruk itu, suatu saat Ujang menyampaikan niatnya untuk merampok sebuah koperasi kecil di dalam pasar. Ali dan Suryadi saling berpandangan, ragu. Tapi di dorong oleh rasa solidaritas untuk membantu Ujang, akhirnya Ali dan Suryadi bersedia membantu, dengan syarat tidak menyakiti atau melukai siapa pun.
Rencanapun di susun dengan baik. Ujang akan masuk dan berpura-pura kan mendaftar sebagai anggota koperasi, Ali dan Suryadi akan berjaga-jaga di luar. Hari untuk beraksi pun di tentukan.
Pada hari yang telah di tentukan, ketiga preman pasar tersebut memulai aksinya. Pukul 12.15 siang saat para petugas koperasi sebagian besar sedang istirahat untuk makan siang, Ujang memasuki kantor kecil itu. Sepi, tak ada satu orang pun di dalam. Ujang bingung, tidak seperti biasanya kantor koperasi ini sepi. Ada kursi yang terjatuh dan Ujang membetulkan letaknya. Tiba-tiba diluar terdengar suara orang berteriak "Rampoookk... rampoookkk". Ujang melihat keluar, tidak dilihatnya lagi Ali dan Suryadi, banyak orang berkerumun di luar dan petugas keamanan pasar mulai berdatangan. Ujang bingung, dan berlari keluar melalui pintu belakang. Saat berlari ke pintu belakang, Ujang melihat 2 orang karyawan koperasi terbaring di lantai bersimbah darah.
"Kamu ngerampok Jang?"Â Diah bertanya hati-hati
Ujang hanya menggeleng lemah. "Bukan aku, aku belum sempat malaksanakan niatku. Rupanya memang sudah ada perampok yang masuk duluan", Ujang mengusap wajahnya, menarik napas dadanya yang sesak oleh penyesalan.
"Orang-orang melihat kamu?", Puspa bertanya
"Ya... semua orang di pasar melihat aku yang ada didalam koperasi itu".
Puspa dan Diah diam... bisa membayangkan penyesalan dan ketakutan yang di rasakan Ujang. Ujang sedang menjadi buronan polisi sekarang.
Jam 2 dini hari, Agus dan Saiful di kagetkan dengan suara pintu gudang tempat tinggalnya di buka dengan terburu-buru. Ketiga gadis teman sekampungnya Wiwit, Puspa dan Diah memburu masuk seakan sedang di kejar penjahat.
"Ada apa nih, ngagetin aja", Agus bersungut-sungut menyalakan lampu teplok di dinding.
"Gawat nih Gus, gawat", Puspa langsung menceritakan pertemuannya dengan Ujang di halte tadi, Saiful ikut mendengarkan dari tempat tidurnya.
Suasana hening setelah Puspa menyelesaikan ceritanya. "Gimana nih... koq diem aja, kasian Ujang", Wiwit memecah kebisuan.
"Gimana ya...", Agus menggaruk-garuk kepalanya yang berketombe
"Ke polisi aja, kita minta petunjuk, yang penting Ujang bisa buktikan dia tidak bersalah gak perlu takut, betul nggak?", Saiful menyarankan. "Dari pada jadi buronan begini?".
"Betul itu Ful, kamu biar item tapi pinter juga...", Diah membenarkan.
"Jadi siapa yang mau lapor ke polisi?", Saiful bertanya.
Semua hanya diam dan saling memandang.
"Kamu aja, kan mau yang punya ide", Puspa menunjuk Saiful
Saiful terkejut, "Aku? takut ah sama polisi", Saiful berkelit
"Kamu...", Agus mendorong kepala Saiful.
"Kalian kan tau, sama kucing aja aku takut apalagi sama polisi???", Saiful tidak mau mengalah
Semuanya kembali diam...
"Kita bertiga yuk...", Diah akhirnya berbicara, memegang tangan Puspa dan Wiwit. "Kita kan manis-manis nih, jadi polisi gak akan curiga kita berkomplot sama Ujang, asal ada temen aku mau ke kantor polisi".
Puspa dan Wiwit saling berpandangan dan mengangguk setuju.
Kesesokan harinya, Wiwit harus menutup kedai kecilnya, Puspa dan Diah minta ijin kepada pemilik orkes dangdut keliling untuk tidak bekerja hari ini. Mereka bertiga dengan keberanian yang di paksakan menuju polsek dekat pasar.
"Selamat pagi, pak...", Puspa menyapa polisi di polsek. Diah dan Wiwit bersembunyi di belakan Puspa.
"Saya mau lapor pak", Puspa melanjutkan
"Silahkan duduk bu, saya panggilkan bagian penerimaan laporan". Ketiga gadis manis itu duduk di bangku kayu panjang. Didepanya ada meja dengan sebuah mesin ketik besar.
Seorang polisi muncul dari balik pintu, duduk di hadapan ketiga gadis itu.
"Selamat pagi bu, saya bripda Budir, apa yang bisa saya bantu.
Puspa bercerita panjang lebar mengenai pertemuannya dengan Ujang.
"....capeee deeehh... ngetik... TO BE CONTINUED"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H