Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sejak Zaman Revolusi hingga Reformasi, Indonesia Masih Membutuhkan Tumbal (Karto Suwiryo, Gusdur, IPTN, Susilo Ananta Toer, Ade Armando, Terawan)

16 April 2022   12:51 Diperbarui: 17 April 2022   10:45 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua tokoh kontroversi.

Istilah tumbal itu, adanya dalam dunia pesugihan. Berupa korban persembahan kepada makhluk astral. Tapi maaf dalam tulisan ini, punya makna pengorbanan individu, yang akhirnya teraniaya. Biasanya orang yang berani mengkritik penguasa sering mengalami hal semacam ini,  dianggap sebagai penghambat kemajuan akibat pendirian yang bersebrangan. Karena kejamnya dunia politik,  tidak jarang orang baik, menjadi teraniaya dalam hidupnya. 

A.Gusdur Jadi Tumbal Karena Ketegasan & Prinsip Tak Mau Bagi-bagi Jatah Menteri

Orang yang jadi korban itu, dalam tulisan ini disebut tumbal. Walau statusnya seperti demikian, tidak otomatis  dianggap sebagai orang suci. Namun posisinya bisa terhormat atau sebaliknya, bahkan bisa dianggap seseorang yang melacurkan diri. Lalu siapakah yang punya potensi besar jadi tumbal itu?  Apakah Gusdur presiden RI termasuk seorang yang teraniaya karena hal demikian? Menurut Pk  Mahfud, kalau Gusdur tidak mau dilengserkan sangat mudah, karena tim lobinya adalah beliau. Tapi Gusdur sangat tegas "tidak mau bagi-bagi jatah Menteri"

Biasanya yang jadi tumbal itu, orang-orang kecil saja. Orang yang tidak punya kekuasaan.  Realitanya tidaklah demikian, justru Presiden RI yang dikenal dengan panggilan Gusdur  itu dijatuhkan seolah tertipu oleh tukang pijit bernama Suwondo dan dugaan penyalah gunaan Bantuan dari Brunai. Ternyata pandangan itu keliru besar. Pengadilan tidak menemukan kejanggalan tentang hal itu (Gusdur itu bersih). Tontonlah penuturan Mahfud M.D di video ini. Ternyata kesalahan pengadilan bisa terjadi dalam sebuah perpolitikan kelas atas, dalam penapsiran sebuah susunan kalimat putusan. Untungnya ada rekaman seperti ini, untuk meluruskan persepsi masyarakat. Ini merupakan sejarah penting.

Benar dan salah hanya Allah yang tahu. Pengadilan yang maha bijak, hanya ada di alam sana. Paling tidak, mereka yang jadi tumbal itu, telah mendapat tempat di hati sekelompok pendukungnya.Kebenaran hanya milikNya. Biarkan waktu yang membuktikan. Citra manusia sebagai tumbal akan tersibak di akhir. Akan terlihat nyata kepada siapa mereka sesungguhnya menghamba. Suatu kebanggaan  jika karya yang monumental itu, seiring waktu, dapat  dinikmati masyarakat banyak. Status tumbal itu, bisa jadi pupuk untuk tumbuh suburnya suatu kebajikan.


B. Dibalik Berkibarnya Bendera Prestasi

Manusia itu, sebaiknya berkibar karena karya. Seperti  dokter Terawan dan B.J Habibie.  Terawan mulai berkibar berkat temuan ilmu kedokterannya yang dianggap langka di dunia. Karena karya-karyanya itulah maka disaat Terawan jadi tumbal politik sekelompok orang (Kontroversi Vaksin Nusantara), akhirnya kena sanksi dari IDI. Karena karya-karyanya banyak diakui dunia, kini DPR, Pk SBY dan Pk Mahfud M.D, bersuara lantang membelanya.  Begitu juga  B.J. Habibie yang dahulu dianggap bersalah melepaskan Provinsi Timor-timur lewat jejak pendapat.  Hingga pertanggung jawabannya ditolak MPR dan akhirnya gagal jadi Calon Presiden pada masa itu. Secara kebetulan  IPTN yang dibanggakannya  juga jadi tumbal dimasa berkuasanya SBY. Konon demi pencairan dana bantuan dari Luar Negeri. Karena Indonesia masih membutuhkan dana pinjaman, harus merelakan pembekuan IPTN sebagai syarat. 

Terawan dan Habibie banyak diakui dunia lewat karyanya. Kadang pengakuan prestasi itu, perlu waktu panjang. Seperti saat lepasnya Timor-timur  yang dianggap kegagalan total B.J. Habibie. Tapi saat ini, dianggap berprestasi karena telah melepaskan benalu. Bahkan ada yang menyetarakan bagai lepasnya duri dalam daging. Walau kita bersedih ketika kini Timor Leste  dinyatakan dunia sebagai negara termiskin.

Begitu juga kita bersedih dengan peristiwa IPTN. Kini jayanya pabrik Pesawat Terbang itu, sangat dirindui bangsa. Tapi itu sudah dianggap tumbal. Walau tumbal itupun kadang banyak manfaatnya. Tidak menutup kemungkinan IPTN akan bangkit  bersama P.T PAL dimasa yang akan datang. Selagi iklim berkarya itu terus terbina. Bahkan mungkin kebangkitan lagi mobil ESEMKA dan mobil listrik Dakhlan Iskan, menggantikan program mobil nasional "Timor" yang sudah tenggelam.

Seperti kisah seorang Doktor S3 lulusan dari Rusia bernama Susilo Anantatoer yang jadi pemulung sampah di Blora. Kisahnya banyak di ungkap di statsiun TV, chanel youtube dan beberapa media lainnya.  Akan diuraikan pula di bawah ini, sebagai gambaran ibarat tumbal, yang tetap tumbuh dan berkarya.

Kemarin kita bersedih, seorang Doktor berstatus dosen di UI bernama Ade Armando tersungkur hingga tanpa busana, padahal beliau mendukung gerakan mahasiswa. Sebelumnya kita bersedih dengan bergelimpangannya mayat laskar FPI. Ini adalah gambaran tentang tumbal rutin di NKRI. Mengapa harus ada kekerasan?

Sesungguhnya tumbal-tumbal  itu, belum seberapa dibanding yang diderita Karto Suwiryo yang diputus pengadilan untuk ditembak mati. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tumbal berdirinya NKRI dengan dasar Pancasila.  Seorang tokoh besar Islam Indonesia yang jadi tumbal itu, seharusnya dianggap pahlawan juga sebagai tokoh antagonis. Sehingga kisahnya harus terus didengungkan. Kok harus di kenang? Banyak keluarga penulis yang dahulu jadi korban keganasan DI/TII & PKI Padahal mereka itu, satu akidah. Namun saling bantai.

Jadi tumbalnya Karto Suwiryo harus terus di publikasikan ke generasi muda. Agar tradisi tumbal itu menghilang (jadi pembelajaran), dengan harapan seiring waktu mulai legowo menerima perbedaan. Jangan jadi oposisi yang mengakibatkan jatuh korban jiwa. 

Dengan memberikan gambaran  bengisnya Tentara Darul Islam saat melawan pemerintah Indonesia dari tahun 1949 hingga tahun 1962, demi mendirikan Negara Islam Indonesia berdasarkan hukum syariah. Berani membunuh sesama umat seakidah.

Kini sejarah kelam DI/TII itu, para tokohnya  perlu dianggap tokoh antagonis dalam sebuah pertunjukan sejarah berdirinya NKRI. Dan kisah itu jadi tumbal berdirinya negara dasar Pancasila. Jadikanlah mereka sebagai pahlawan (pupuk). Sebab dengan peristiwa itu Dasar Ketuhanan dalam Pancasila tanpa penolakan. Keluarganya yang kini bangga dengan dasar Pancasila, harus diakui berkat perjuangan orangtuanya jadi oposisi di masa lalu. Urutan Pancasila itu, tidak lepas dari peran tokoh antagonis.

Bersatunya keluarga besar berbagai keturunan  yang dahulu bersebrangan dengan pemerintah. Yang menunjukan sifat nasionalis sejati. Harusnya dirangkul. Sehingga generasi muda tidak meremehkan pengorbanan orangtuanya di masa lalu itu. Anggap saja peristiwa masa lalu adalah pertarungan perebutan medali, yang kini telah usai. Tidak usah ada upaya memperbaiki catatan sejarah yang sudah jadi buku.

Jangan lagi ada isyu baru Tri Sila atau Eka Sila. Yang akan melahirkan pertarungan ulang. Medali itu sudah dikuasai kaum nasionalis. Pancasila harus sudah pinal, dan harus harga mati mempertahankannya. Intinya dengan catatan jangan jadi buzzer politik. Walau penghasilan jadi buzzer begitu menggiurkan. Benarkah menggiurkan ?

Berdasarkan hasil sebuah riset yang dilakukan University of Oxford pada 2019 berjudul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation menyebutkan bahwa seorang buzzer di Indonesia akan digaji Rp1-Rp50 juta per sekali kontrak. Jika ini benar adanya, berarti membuka arena pertarungan baru. 

Harus berguru ke sejarah masa lalu. Yang selalu memakan tumbal. Indonesia yang sudah merdeka ini, jangan terus makan tumbal-tumbal yang memilukan. Seperti kisah tanjung Priok, terbunuhnya laskar FPI, tersungkurnya Ade Armando, bahkan jaman orde baru sempat heboh Petrus (Penembak Misterius) dan hilangnya aktifis mahasiswa dst. Kini sudah saatnya rakyat menikmati indahnya negara berdasarkan Pancasila.  Walau ada dinamika yang turun naik. Hindari  gejala lahirnya tumbal-tumbal baru. Lalu apa upayanya? Mungkin dengan cara membangkitkan lagi cerita masa lalu, lewat pembinaan  literasi sejarah.

Biarkan DI/TII dan PKI sebagai tokoh antagonis masa lalu.  Jangan ada upaya mengubah catatan yang sudah tertulis. Sebab itu seumpama pertarungan tinju dan pertandingan sepak bola. Yang menang itu sudah dapat medali. Yang kalah itu tetap kalah dalam catatannya. Seumpama lawan tarung Muhammad Ali atau Tyson yang sudah di pukul KO harus dianggap teman yang telah memberi peluang kemenangan. Medali itu kini sudah milik keluarga besar penegak dasar negara Pancasila.

Mengapa  Indonesia di era Reformasi, masih terus menerus diterpa angin kencang perselisihan (diduga karena ada upaya mengubah catatan dalam buku sejarah). Jadikanlah semua orang berjiwa nasionalis saat ini, sebagai pemenangnya. Jangan ada upaya untuk meminta maaf kepada tokoh antagonis. Sebab peristiwa itu, hanya lakon cerita yang harus dilalui. Pertarungan itu, medali kejuaraannya sudah digantung di lemari kaum Nasionalis. Medali itu sudah jadi milik keluarga Negara Dasar Pancasila.

Jangan muncul  lagi tokoh antagonis baru seperti Paul Zhang,  dan Saefudin Ibrahim. Mereka yang sudah terlanjur jadi antagonis generasi baru. Jika ingin dimaafkan, harus berubah total jadi nasionalis sejati, seperti Yahya Waloni pasca keluar dari penjara. Jangan sampai keluar dari penjara malah jadi kumat, lalu menyerang dari luar negeri. Segera lepaskan  pelanggar SOP Covid-19 yang kini masih di dalam penjara. Kita harus saling memaafkan.

Kita pahami, bahwa panggung pertunjukan untuk pertarungan, memang harus ada. Untuk menampung warga yang hobinya diskusi sengit. Sediakan saja sebuah panggung legal untuk arena dialog rutin. Untuk sebuah hiburan kekeluargaan saja. Bisa juga sebagai bahan konten youtube penggali devisa negara. Tentu dalam batas-batas aturan Dasar Pancasila. Semua  harus taat pada tata tertib, jangan sampai kebablasan. Sebab arena Tinju, Gulat, Debat, Karate, Silat, dst. Perlu di sediakan untuk menyalurkan energi berlebih di tubuh, bagi kelompok tertentu. Perhatikan saja subscribe di youtube, peminat pertarungan luar biasa besarnya.

Ustad Yahya Waloni yang berubah total pasca keluar dari penjara, (usai pertarungan) harus jadi contoh. Seperti tampak saat wawancara di podcast dengan Deddy Courbuzier. Publikasi perubahan demikian itu, harus masuk catatan sebagai ketauladanan. M. Kace juga,  jika segera merubah  diri,  harus dijadikan tauladan, bagi masyarakat Indonesia. Bukankah kaum teroris yang hoby menebar Bom juga ada yang  berbalik arah. Seperti Nasir Abas guru dari Imam Samudra serta guru dari para teroris lainnya di Asia. Ia sebelumnya banyak menciptakan camp latihan bagi para pemuda. Kini berbalik membantu BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

Terlepas dari dinamika di atas itu. Kenyataannya, pembangunan Indonesia sejak jaman Soekarno hingga Jokowi, terus berjalan. Dari pembangunan Monas, Istiqlal, Pancoran, IPTN, Tol Jagorawi, Hingga Pembangunan Pelabuhan Patimban. Ini bukti nyata. NKRI dengan dasar Pancasila terus membangun. Apalagi jika Ibukota Baru pindah ke Kalimantan dan berhasil mengangkat citra Indonesia. Terlepas biayanya dari mana.

Dengan kesadaran nasional. Diharapkan lepasnya pulau Sipadan & Ligitan, kemelut pemilu yang memakan puluhan bahkan ratusan jiwa korban, lepasnya Timor-timur, meredanya ricuh Aceh Merdeka, hingga korban prajurit TNI di tangan OPM Papua. Semua itu adalah dinamika Republik Ini. Tumbal-tumbal itu, sudah waktunya dihentikan.

C. Berguru Kepada Doktor yang Jadi Pemulung.

Sukses itu relatif, tergantung kepada ketercapaian mengejar target sesuai rancangannya.
Gagalnya kebulatan tekad jaman orde baru, hingga gagalnya gagasan 3 periode Jokowi. Adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika Indonesia dibawah dasar Pancasila. Rakyat tidak butuh hal itu, karena yang dibutuhkan rakyat kecil itu, kedamaian mencari nafkah.

Terperosoknya Giring Ghanesya, telah melambungkan prestasi Pk Anis di DKI. Laksana iklan film Kiamat 2012 yang diboikot MUI malah meledak karena dampak sebuah fatwa. Jika itu sebagai strategi memunculkan berita  agar viral, gak ada salahnya. Tapi menggiring opini itu, di duga merupakan bagian dari senjata untuk menjatuhkan Bung Karno dan Gusdur tempo dulu.

Kini kita bangga semua kalangan telah Sportif mengakui berhasilnya Swa Sembada Pangan jaman Pak Harto, atau pembangunan pisik jaman pak Jokowi. Namun semua pihak masih harus legowo mengakui Gubernur Rasa Presiden Anis Baswedan. Melengkapi populernya nama Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Dedi Mulyadi, atau Ridwan Kamil. Seharusnya pengakuan itu dijadikan prestasi untuk NKRI ke depan.

Puing-puing sejarah masa lalu itu sebaiknya ditebus semua kalangan lewat karya nyata semua pihak sesuai forsinya. Walau kecil tapi membekas, seperti tercermin dari kepeloporan seorang Doktor Luar Negeri yang jadi pemulung,  pada kisah di bawah ini. 

"Masalah pelanggaran imigrasi kok ditahan sampai 5 tahun setengah ?" Pertanyaan reporter JatengposTV, hampir tidak bisa di jawab oleh Susilo, adik Ananta Toer dalam sebuah wawancara. "Itu bukan urusan saya" Jawabnya, kepada Bejah Syahidan seorang reporter yang terus mengorek kisah lewat pertanyaan yang sangat detil. Semua pertanyaannya, telah menguak banyak hal. Mengingatkan kita pada  Riziek Shihab, masuk penjara karena kerumunan di acara pernikahan. Memang mirip ?

Saat Jenderal Sularso menjadi Dirjen Imigrasi. Susilo Toer terjerembab ke penjara, karena masalah pelanggaran surat keimigrasian. Begitu menurut pengakuan Adik dari Pramoedya Ananta Toer ini. Masih menurutnya,  Jenderal itu, kini sudah dimakamkan di taman pahlawan. Sedang dirinya kini terus bekerja jadi pemulung sampah. Blora tampaknya agak bersih bebas sampah mungkin  karena pekerjaan orang-orang ini.

Paparan kisah dari seorang Alumni Universitas Indonesia yang melanjutkan kuliah di Plekhanov  Russian University of Economics Founded, terkesan kurang meyakinkan. Mulanya membuat penonton begitu iba melihat pekerjaannya. Namun setelah melihat beberapa perpustakaan yang dia bangun membuat bangga penontonnya. Semua kisahnya disampaikan ke reporter Jatengpos TV bernama Bejah Syahidan. Ternyata banyak yang bisa dilakukan dalam sebuah kesempitan itu. Mengingatkan pada Buya Hamka, atau seperti halnya Bung Karno, saat ada di penjara. Mereka adalah orang-orang hebat.

Kembali ke pernyataan Susilo Ananta Toer yang memaparkan bahwa dalam semalam dia mampu mengumpulkan  botol plastik sebanyak 2 kg. Padahal di Blora ada sekitar 50 pemulung. Di indonesia ada setengah juta pemulung. Dalam semalam ada 1 juta kilo gram sampah terkumpul dari  Indonesia, dan 5 juta kg dari seluruh dunia. Penyelamatan  dunia dalam satu malam adalah  hasil prestasinya. Dari segi harga jualnya  sampah ini Rp 1500/kg untuk botol plastik. Untuk kardus Rp 2000/kg. Dalam  semalem dapat Rp 30Ribu  s/d 40 Ribu. Botol Besar di cuci di jual ke tukang gendong jamu seharga  Rp 500/botol. Begitu kata seorang doktor jebolan rusia itu memaparkan khikmah pekerjaannya tanpa ada rasa rikuh.

Penghasilan diluar dugaan pernah diwawancara 1/2 Jam di hitam putih dibayar Rp 7 juta. Jawapos 1,5 jam dibayar 9 juta.  Di media Bali 10 Juta, dll. Ditambah dari buku-buku yang laku terjual. Walaupun ijazah S3 yang dia miliki tidak diakui oleh Mentri Pendidikan  Puad Hasan saat berkuasa. Dia mengaku kini berhasil mendirikan beberapa perpustakaan seperti di Cepu, Mojokerto, Probolinggo, kunduran(Blora Ngulon),  Gubuk (Purwadadi ngalor), ini semua adalah hasil mulung. Di Luar Negeri juga termasuk saat di Rusia, Dia mengaku pernah berprofesi sebagai pemulung juga.

Dilihat dari tempatnya menuntut ilmu.  Di Perguruan tinggi Plekanov, Rusia. Tampak sangat mengerikan bagi musuh lawan politiknya saat itu. Karena Georgy Valentinovich Plekanov, adalah seorang revolusioner sekaligus pendiri organisasi marxisme pertama di Rusia: Kelompok Emansipasi Buruh; dan dikenal sebagai "Bapak Marxisme Rusia". Padahal Rusia saat ini berbeda dengan Rusia tempo dulu. Perang Ukraina sebagai gambarannya, mendapat banyak dukungan rakyat Indonesia.

Umat Islam Indonesia saat ini tampak lebih cenderung mendukung Putin, Presiden Rusia. Mengapa? Dukungan mayoritas penduduk muslim Rusia terhadap kebijakan Putin membius masyarakat muslim dunia. Karena kekejian Zionis sering diabaikan PBB. Rusia dirasakan umat Muslim lebih baik ketimbang Nato bersama sekutunya Amerika. Namun tampaknya di dunia ini, tidak ada musuh yang abadi.

Sementara ini, seharusnya lulusan perguruan tinggi Plekanov bisa dijadikan guide untuk remaja Indonesia agar menembus pasar dunia lewat negara Rusia. Walau alumnusnya saat ini hanya menjadi pemulung sampah di Blora. Bukankah buku-bukunya masih terbit dan layak di baca? Bukankah ilmu kesederhanaannya begitu bermanfaat. Di jelaskan bahwa Doktor Susilo itu, keluar malam hari disaat hujan lebat. Karena sampah plastik berlimpah saat hujan. Sementara pemulung lainnya berteduh di saat itu. Inilah perbedaan nyata pemulung berilmu dengan pemulung lainnya.

Literasi itu, harus terus di gelorakan untuk pembelajaran generasi masa yang akan datang. Karena tidak ada musuh yang abadi. Joe Biden yang dekat dengan Zionis, Putin yang dekat dengan umat Muslim. Indonesia kini dekat dengan Tiongkok. Tampaknya poros Jakarta Peking bisa terulang. Apakah itu akan abadi? Jawabnya  membaca situasi  itu begitu penting. Seperti firman pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhamnad, S.A.W. "Iqro" yang artinya "bacalah."

Jangan lalai untuk terus menerus membaca kebijakan sambil terus berkarya. Sebab ajal akan tiba tanpa memberi tahu kapan dia datang. Membaca dan berkarya harus sejalan. Perlu di ingat, "tidak ada musuh yang abadi" makanya harus terus membaca dan "tafakur." Apalagi bulan ini merupakan bulan Ramadhan.

Bagi kita saat ini, sebaiknya berkarya saja mulai dari hal-hal kecil. Dinamika perpolitikan hingga lahirnya tumbal-tumbal seperti contoh di atas, jangan jadi hambatan untuk berkarya. Walau gelar doktor harus jadi pemulung sampah. Apa salahnya? (DN).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun