Kemarin kita bersedih, seorang Doktor berstatus dosen di UI bernama Ade Armando tersungkur hingga tanpa busana, padahal beliau mendukung gerakan mahasiswa. Sebelumnya kita bersedih dengan bergelimpangannya mayat laskar FPI. Ini adalah gambaran tentang tumbal rutin di NKRI. Mengapa harus ada kekerasan?
Sesungguhnya tumbal-tumbal  itu, belum seberapa dibanding yang diderita Karto Suwiryo yang diputus pengadilan untuk ditembak mati. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tumbal berdirinya NKRI dengan dasar Pancasila.  Seorang tokoh besar Islam Indonesia yang jadi tumbal itu, seharusnya dianggap pahlawan juga sebagai tokoh antagonis. Sehingga kisahnya harus terus didengungkan. Kok harus di kenang? Banyak keluarga penulis yang dahulu jadi korban keganasan DI/TII & PKI Padahal mereka itu, satu akidah. Namun saling bantai.
Jadi tumbalnya Karto Suwiryo harus terus di publikasikan ke generasi muda. Agar tradisi tumbal itu menghilang (jadi pembelajaran), dengan harapan seiring waktu mulai legowo menerima perbedaan. Jangan jadi oposisi yang mengakibatkan jatuh korban jiwa.Â
Dengan memberikan gambaran  bengisnya Tentara Darul Islam saat melawan pemerintah Indonesia dari tahun 1949 hingga tahun 1962, demi mendirikan Negara Islam Indonesia berdasarkan hukum syariah. Berani membunuh sesama umat seakidah.
Kini sejarah kelam DI/TII itu, para tokohnya  perlu dianggap tokoh antagonis dalam sebuah pertunjukan sejarah berdirinya NKRI. Dan kisah itu jadi tumbal berdirinya negara dasar Pancasila. Jadikanlah mereka sebagai pahlawan (pupuk). Sebab dengan peristiwa itu Dasar Ketuhanan dalam Pancasila tanpa penolakan. Keluarganya yang kini bangga dengan dasar Pancasila, harus diakui berkat perjuangan orangtuanya jadi oposisi di masa lalu. Urutan Pancasila itu, tidak lepas dari peran tokoh antagonis.
Bersatunya keluarga besar berbagai keturunan  yang dahulu bersebrangan dengan pemerintah. Yang menunjukan sifat nasionalis sejati. Harusnya dirangkul. Sehingga generasi muda tidak meremehkan pengorbanan orangtuanya di masa lalu itu. Anggap saja peristiwa masa lalu adalah pertarungan perebutan medali, yang kini telah usai. Tidak usah ada upaya memperbaiki catatan sejarah yang sudah jadi buku.
Jangan lagi ada isyu baru Tri Sila atau Eka Sila. Yang akan melahirkan pertarungan ulang. Medali itu sudah dikuasai kaum nasionalis. Pancasila harus sudah pinal, dan harus harga mati mempertahankannya. Intinya dengan catatan jangan jadi buzzer politik. Walau penghasilan jadi buzzer begitu menggiurkan. Benarkah menggiurkan ?
Berdasarkan hasil sebuah riset yang dilakukan University of Oxford pada 2019Â berjudul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation menyebutkan bahwa seorang buzzer di Indonesia akan digaji Rp1-Rp50 juta per sekali kontrak. Jika ini benar adanya, berarti membuka arena pertarungan baru.Â
Harus berguru ke sejarah masa lalu. Yang selalu memakan tumbal. Indonesia yang sudah merdeka ini, jangan terus makan tumbal-tumbal yang memilukan. Seperti kisah tanjung Priok, terbunuhnya laskar FPI, tersungkurnya Ade Armando, bahkan jaman orde baru sempat heboh Petrus (Penembak Misterius) dan hilangnya aktifis mahasiswa dst. Kini sudah saatnya rakyat menikmati indahnya negara berdasarkan Pancasila. Walau ada dinamika yang turun naik. Hindari gejala lahirnya tumbal-tumbal baru. Lalu apa upayanya? Mungkin dengan cara membangkitkan lagi cerita masa lalu, lewat pembinaan  literasi sejarah.
Biarkan DI/TII dan PKI sebagai tokoh antagonis masa lalu. Â Jangan ada upaya mengubah catatan yang sudah tertulis. Sebab itu seumpama pertarungan tinju dan pertandingan sepak bola. Yang menang itu sudah dapat medali. Yang kalah itu tetap kalah dalam catatannya. Seumpama lawan tarung Muhammad Ali atau Tyson yang sudah di pukul KO harus dianggap teman yang telah memberi peluang kemenangan. Medali itu kini sudah milik keluarga besar penegak dasar negara Pancasila.
Mengapa Indonesia di era Reformasi, masih terus menerus diterpa angin kencang perselisihan (diduga karena ada upaya mengubah catatan dalam buku sejarah). Jadikanlah semua orang berjiwa nasionalis saat ini, sebagai pemenangnya. Jangan ada upaya untuk meminta maaf kepada tokoh antagonis. Sebab peristiwa itu, hanya lakon cerita yang harus dilalui. Pertarungan itu, medali kejuaraannya sudah digantung di lemari kaum Nasionalis. Medali itu sudah jadi milik keluarga Negara Dasar Pancasila.