Saat Jenderal Sularso menjadi Dirjen Imigrasi. Susilo Toer terjerembab ke penjara, karena masalah pelanggaran surat keimigrasian. Begitu menurut pengakuan Adik dari Pramoedya Ananta Toer ini. Masih menurutnya,  Jenderal itu, kini sudah dimakamkan di taman pahlawan. Sedang dirinya kini terus bekerja jadi pemulung sampah. Blora tampaknya agak bersih bebas sampah mungkin  karena pekerjaan orang-orang ini.
Paparan kisah dari seorang Alumni Universitas Indonesia yang melanjutkan kuliah di Plekhanov  Russian University of Economics Founded, terkesan kurang meyakinkan. Mulanya membuat penonton begitu iba melihat pekerjaannya. Namun setelah melihat beberapa perpustakaan yang dia bangun membuat bangga penontonnya. Semua kisahnya disampaikan ke reporter Jatengpos TV bernama Bejah Syahidan. Ternyata banyak yang bisa dilakukan dalam sebuah kesempitan itu. Mengingatkan pada Buya Hamka, atau seperti halnya Bung Karno, saat ada di penjara. Mereka adalah orang-orang hebat.
Kembali ke pernyataan Susilo Ananta Toer yang memaparkan bahwa dalam semalam dia mampu mengumpulkan  botol plastik sebanyak 2 kg. Padahal di Blora ada sekitar 50 pemulung. Di indonesia ada setengah juta pemulung. Dalam semalam ada 1 juta kilo gram sampah terkumpul dari  Indonesia, dan 5 juta kg dari seluruh dunia. Penyelamatan  dunia dalam satu malam adalah hasil prestasinya. Dari segi harga jualnya sampah ini Rp 1500/kg untuk botol plastik. Untuk kardus Rp 2000/kg. Dalam  semalem dapat Rp 30Ribu  s/d 40 Ribu. Botol Besar di cuci di jual ke tukang gendong jamu seharga  Rp 500/botol. Begitu kata seorang doktor jebolan rusia itu memaparkan khikmah pekerjaannya tanpa ada rasa rikuh.
Penghasilan diluar dugaan pernah diwawancara 1/2 Jam di hitam putih dibayar Rp 7 juta. Jawapos 1,5 jam dibayar 9 juta.  Di media Bali 10 Juta, dll. Ditambah dari buku-buku yang laku terjual. Walaupun ijazah S3 yang dia miliki tidak diakui oleh Mentri Pendidikan  Puad Hasan saat berkuasa. Dia mengaku kini berhasil mendirikan beberapa perpustakaan seperti di Cepu, Mojokerto, Probolinggo, kunduran(Blora Ngulon),  Gubuk (Purwadadi ngalor), ini semua adalah hasil mulung. Di Luar Negeri juga termasuk saat di Rusia, Dia mengaku pernah berprofesi sebagai pemulung juga.
Dilihat dari tempatnya menuntut ilmu.  Di Perguruan tinggi Plekanov, Rusia. Tampak sangat mengerikan bagi musuh lawan politiknya saat itu. Karena Georgy Valentinovich Plekanov, adalah seorang revolusioner sekaligus pendiri organisasi marxisme pertama di Rusia: Kelompok Emansipasi Buruh; dan dikenal sebagai "Bapak Marxisme Rusia". Padahal Rusia saat ini berbeda dengan Rusia tempo dulu. Perang Ukraina sebagai gambarannya, mendapat banyak dukungan rakyat Indonesia.
Umat Islam Indonesia saat ini tampak lebih cenderung mendukung Putin, Presiden Rusia. Mengapa? Dukungan mayoritas penduduk muslim Rusia terhadap kebijakan Putin membius masyarakat muslim dunia. Karena kekejian Zionis sering diabaikan PBB. Rusia dirasakan umat Muslim lebih baik ketimbang Nato bersama sekutunya Amerika. Namun tampaknya di dunia ini, tidak ada musuh yang abadi.
Sementara ini, seharusnya lulusan perguruan tinggi Plekanov bisa dijadikan guide untuk remaja Indonesia agar menembus pasar dunia lewat negara Rusia. Walau alumnusnya saat ini hanya menjadi pemulung sampah di Blora. Bukankah buku-bukunya masih terbit dan layak di baca? Bukankah ilmu kesederhanaannya begitu bermanfaat. Di jelaskan bahwa Doktor Susilo itu, keluar malam hari disaat hujan lebat. Karena sampah plastik berlimpah saat hujan. Sementara pemulung lainnya berteduh di saat itu. Inilah perbedaan nyata pemulung berilmu dengan pemulung lainnya.
Literasi itu, harus terus di gelorakan untuk pembelajaran generasi masa yang akan datang. Karena tidak ada musuh yang abadi. Joe Biden yang dekat dengan Zionis, Putin yang dekat dengan umat Muslim. Indonesia kini dekat dengan Tiongkok. Tampaknya poros Jakarta Peking bisa terulang. Apakah itu akan abadi? Jawabnya  membaca situasi  itu begitu penting. Seperti firman pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhamnad, S.A.W. "Iqro" yang artinya "bacalah."
Jangan lalai untuk terus menerus membaca kebijakan sambil terus berkarya. Sebab ajal akan tiba tanpa memberi tahu kapan dia datang. Membaca dan berkarya harus sejalan. Perlu di ingat, "tidak ada musuh yang abadi" makanya harus terus membaca dan "tafakur." Apalagi bulan ini merupakan bulan Ramadhan.
Bagi kita saat ini, sebaiknya berkarya saja mulai dari hal-hal kecil. Dinamika perpolitikan hingga lahirnya tumbal-tumbal seperti contoh di atas, jangan jadi hambatan untuk berkarya. Walau gelar doktor harus jadi pemulung sampah. Apa salahnya? (DN).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H