Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sejak Zaman Revolusi hingga Reformasi, Indonesia Masih Membutuhkan Tumbal (Karto Suwiryo, Gusdur, IPTN, Susilo Ananta Toer, Ade Armando, Terawan)

16 April 2022   12:51 Diperbarui: 17 April 2022   10:45 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua tokoh kontroversi.

Jangan muncul  lagi tokoh antagonis baru seperti Paul Zhang,  dan Saefudin Ibrahim. Mereka yang sudah terlanjur jadi antagonis generasi baru. Jika ingin dimaafkan, harus berubah total jadi nasionalis sejati, seperti Yahya Waloni pasca keluar dari penjara. Jangan sampai keluar dari penjara malah jadi kumat, lalu menyerang dari luar negeri. Segera lepaskan  pelanggar SOP Covid-19 yang kini masih di dalam penjara. Kita harus saling memaafkan.

Kita pahami, bahwa panggung pertunjukan untuk pertarungan, memang harus ada. Untuk menampung warga yang hobinya diskusi sengit. Sediakan saja sebuah panggung legal untuk arena dialog rutin. Untuk sebuah hiburan kekeluargaan saja. Bisa juga sebagai bahan konten youtube penggali devisa negara. Tentu dalam batas-batas aturan Dasar Pancasila. Semua  harus taat pada tata tertib, jangan sampai kebablasan. Sebab arena Tinju, Gulat, Debat, Karate, Silat, dst. Perlu di sediakan untuk menyalurkan energi berlebih di tubuh, bagi kelompok tertentu. Perhatikan saja subscribe di youtube, peminat pertarungan luar biasa besarnya.

Ustad Yahya Waloni yang berubah total pasca keluar dari penjara, (usai pertarungan) harus jadi contoh. Seperti tampak saat wawancara di podcast dengan Deddy Courbuzier. Publikasi perubahan demikian itu, harus masuk catatan sebagai ketauladanan. M. Kace juga,  jika segera merubah  diri,  harus dijadikan tauladan, bagi masyarakat Indonesia. Bukankah kaum teroris yang hoby menebar Bom juga ada yang  berbalik arah. Seperti Nasir Abas guru dari Imam Samudra serta guru dari para teroris lainnya di Asia. Ia sebelumnya banyak menciptakan camp latihan bagi para pemuda. Kini berbalik membantu BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

Terlepas dari dinamika di atas itu. Kenyataannya, pembangunan Indonesia sejak jaman Soekarno hingga Jokowi, terus berjalan. Dari pembangunan Monas, Istiqlal, Pancoran, IPTN, Tol Jagorawi, Hingga Pembangunan Pelabuhan Patimban. Ini bukti nyata. NKRI dengan dasar Pancasila terus membangun. Apalagi jika Ibukota Baru pindah ke Kalimantan dan berhasil mengangkat citra Indonesia. Terlepas biayanya dari mana.

Dengan kesadaran nasional. Diharapkan lepasnya pulau Sipadan & Ligitan, kemelut pemilu yang memakan puluhan bahkan ratusan jiwa korban, lepasnya Timor-timur, meredanya ricuh Aceh Merdeka, hingga korban prajurit TNI di tangan OPM Papua. Semua itu adalah dinamika Republik Ini. Tumbal-tumbal itu, sudah waktunya dihentikan.

C. Berguru Kepada Doktor yang Jadi Pemulung.

Sukses itu relatif, tergantung kepada ketercapaian mengejar target sesuai rancangannya.
Gagalnya kebulatan tekad jaman orde baru, hingga gagalnya gagasan 3 periode Jokowi. Adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika Indonesia dibawah dasar Pancasila. Rakyat tidak butuh hal itu, karena yang dibutuhkan rakyat kecil itu, kedamaian mencari nafkah.

Terperosoknya Giring Ghanesya, telah melambungkan prestasi Pk Anis di DKI. Laksana iklan film Kiamat 2012 yang diboikot MUI malah meledak karena dampak sebuah fatwa. Jika itu sebagai strategi memunculkan berita  agar viral, gak ada salahnya. Tapi menggiring opini itu, di duga merupakan bagian dari senjata untuk menjatuhkan Bung Karno dan Gusdur tempo dulu.

Kini kita bangga semua kalangan telah Sportif mengakui berhasilnya Swa Sembada Pangan jaman Pak Harto, atau pembangunan pisik jaman pak Jokowi. Namun semua pihak masih harus legowo mengakui Gubernur Rasa Presiden Anis Baswedan. Melengkapi populernya nama Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Dedi Mulyadi, atau Ridwan Kamil. Seharusnya pengakuan itu dijadikan prestasi untuk NKRI ke depan.

Puing-puing sejarah masa lalu itu sebaiknya ditebus semua kalangan lewat karya nyata semua pihak sesuai forsinya. Walau kecil tapi membekas, seperti tercermin dari kepeloporan seorang Doktor Luar Negeri yang jadi pemulung,  pada kisah di bawah ini. 

"Masalah pelanggaran imigrasi kok ditahan sampai 5 tahun setengah ?" Pertanyaan reporter JatengposTV, hampir tidak bisa di jawab oleh Susilo, adik Ananta Toer dalam sebuah wawancara. "Itu bukan urusan saya" Jawabnya, kepada Bejah Syahidan seorang reporter yang terus mengorek kisah lewat pertanyaan yang sangat detil. Semua pertanyaannya, telah menguak banyak hal. Mengingatkan kita pada  Riziek Shihab, masuk penjara karena kerumunan di acara pernikahan. Memang mirip ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun