Dia diam, memandangku tajam. Mengalihkan pada Udin dan menjawab, "Boleh."
Hatiku berdentam. Aku mendaki bersamanya. Satu sisi, aku menyukai kehadirannya. Sisi lain membuatku tak bisa bergerak bebas. Canggung itu pasti.
***
Kupikir aku gila saat mengiyakan ajakan Udin bergabung dengannya dalam pendakian Ungaran. Aku tak suka dia dekat dengan selainku. Tapi aku tak bisa mengatakan ketidaksukaanku. Kukabari gadisku pendakian kali ini dengannya. Dia dan gadisku memang berteman akrab. Kutolak ajakan menyusuri pantai di wilayah timur negeri ini, untuk mendaki bersamanya. Benar seperti dugaanku. Sepanjang waktu pendakian, kami canggung di tengah keramaian tim, dan tak seorang pun menyadari. Berkali pandangan kami menyiratkan isi hati yang sulit diterjemahkan. Antara kesal, marah, tak peduli, tapi ingin diperhatikan. "Tak akan kuulangi pendakian bersamanya, kalau seperti ini jadinya," serapahku.
***
"Kemana kau seminggu ini?"
"Safari Pendakian ke Andong dan Prau," jawabnya dengan alis terangkat, heran mungkin mendengar nada suaraku yang tiba-tiba meninggi. "Kau naik Merapi, dan kebetulan aku off," jawabnya. Sesaat kami terdiam.
"Proyek mu itu tak usah khawatir. Tetap dalam prioritasku, kalau itu membuatmu marah," ujarnya lirih memecah kesunyian.
"Berkali mendapati ruanganmu kosong dan tak ada kejelasan di mana posisimu, haruskah aku merasa tenang, sementara proyek itu dikejar deadline?" Sinis Suaraku diiringi tatapan tajam.
"Maaf. Kukira kau sudah mempercayaiku untuk itu. Dan proyekmu sejauh ini tak ada kendala berarti.  Udin  menjalankan berdasarkan instruksi dariku selama aku pergi." Lebih lirih lagi dia menjelaskan.
"Hmm." Kuhembuskan nafas kesal, tak tega melihat raut wajah memelas di depanku. Andai bisa, kurengkuh dia dalam pelukku. Duh pikiran gila yang segera kubunuh tanpa iba.