Keanehan apa lagi ini? Pikir pria itu. Sambil menyadari bahwa suasana bukit begitu gelap dan hatinya pun sedang gelap, maka ia putuskan untuk menyalakan kembali rokoknya dan menyambut obrolan dengan sepasang sepatu aneh itu.
" Kau sudah dengar ceritaku kepada gelas kopi tadi?"
" Tentu sudah. Sekarang apa kau mau nasihatku? "
" Aku bingung. Perasaanku padanya belum juga tuntas. Apa yang harus kulakukan? Dapatkah kau bantu hilangkan perasaan cinta ini?"
" Kau adalah yang paling bertanggung jawab atas perasaanmu sendiri. Lihatlah, telapak kakimu akan selalu kepanasan jika kau tidak melepaskan kami bukan? Kau hendak menjaga kakimu dengan sepatu, namun ini justru melukai kakimu karena ukurannya sudah tidak sesuai."
" Kalian ini sebenarnya sepatu atau filsuf ? "Â
Pria itu mulai tertarik menyimak dalam-dalam tuturan dari sepasang sepatu miliknya. Gumpalan asap rokok dari bibirnya mengepul ke udara.Â
" Kau cukup dewasa untuk memaknai ini. Lagi pula ini sebenarnya bukan tentang sepatu! Tapi ukuran. Kau terlalu memaksakan. Coba kau ingat-ingat, ikatan tali sepatumu tadi terlalu erat, kurang longgar sehingga membuat kakimu kepanasan dan luka. Sebagai sepatu pun aku juga enggan terlalu lama di kakimu."
Sementara sepasang sepatu terus berceramah, tiba-tiba di langit muncul kilat. Terdengar gelegar petir sambar-menyambar. Air hujan pun jatuh bertubi-tubi. Pria itu berlari menghindari hujan, hendak menuruni bukit. Namun  tiba-tiba  petir menyambarnya. Ia pingsan tak sadarkan diri.
***
Suara kicau burung melengking dari kejauhan. Pelan-pelan matahari membelah kegelapan. Pria itu perlahan membuka mata. Ia tercengang melihat gelas kopi  masih ada dan berisi.  Ternyata dia masih mengenakan sepatu. Belum sempat mencerna keanehan macam apa yang dialaminya, tiba-tiba telepon genggam di sakunya bergetar.Â