Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pitutur Gelas Kopi dan Sepasang Sepatu

30 Juni 2024   15:57 Diperbarui: 30 Juni 2024   17:36 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen Pitutur Gelas Kopi dan Sepasang Sepatu. ( Sumber: Pixabay.com )

Pria itu masih duduk termenung, mengeja hal-hal apa saja yang membuatnya bersedih.  Penyebab utamanya ternyata cuma satu, orang yang ia harapkan menjadi kekasihnya telah pergi.

Seorang diri di atas bukit pada malam hari, membuatnya terlihat aneh memang. Belum lagi udara di bukit ini cukup dingin bagi dia yang tak mengenakan jaket. Tiada penerangan selain cahaya bulan dan setitik bara api dari rokoknya.

" Lihatlah aku dapat berbicara denganmu wahai pria murung!"

Aroma kopi merebak setelah ucapan itu terdengar. Sumber suara itu rupanya berasal dari gelas kecil di sampingnya. Mimpi aneh macam apa ini? Gelas kopi dapat berbicara? Tapi bukankah di luar sana dunia memang begitu aneh? Pikirnya.

"Hei pria murung! Coba ceritakan apa masalahmu. Nanti aku bantu menjawabnya." Gelas kopi bersuara kembali. Suaranya serak namun tegas seperti suara pria tua.


" Aku sudah merapal mantra-mantra. Kuharap akan muncul bidadari atau mungkin naga sang penunggu bukit ini. Tapi mengapa gelas kopi yang berbicara!" Pria itu mengeluh.

Malam makin tegas tatkala bulan sejajar di atas kepalanya. Di langit ada bintik-bintik bintang. Udara terasa menjadi lebih dingin. Ketimbang tidak ada yang mendengarkan unek-uneknya, lebih baik meladeni gelas kopi ini saja, pikirnya.

" Hmm aku tak habis pikir. Bagaimana mungkin aku harus melupakan orang yang sedang kucintai?" Pria itu melempar tanya.

" Hahaha! Kau sedang patah hati wahai pria murung? Sekarang kau galau menerka perasaanmu?" Gelas kopi menanggapi.  Suara tawanya terdengar cempreng di telinga.

" Sebentar! Bagaimana kalau kau dengarkan dulu ceritaku. Setelah itu baru boleh berkomentar." Pria itu menggeser gelas kopi lebih dekat.

" Oke. Setuju! Hahaha!" Gelas kopi bergoyang-goyang.

Malam makin larut. Suara pria sayup-sayup terdengar di ujung bukit itu. Dia mulai bercerita.

***

"Lebih baik kita sudahi saja. Kita berteman seperti biasa saja. Kasihan kamunya." Suara lembut wanita di hadapanku itu mengubah suasana.

Siang itu tiba-tiba terasa  lebih dingin dari semestinya. Sekujur tubuhku rasanya ingin menggigil. Walau kipas angin di dinding itu hanya ada satu, itu pun kecil.

Satu mangkuk bakso yang baru saja kutuntaskan seperti tak bermakna apa-apa. Hambar di lidah dan dingin di perut. Semua seolah-olah hampa.

" Eee... maksudnya bagaimana?" Tanyaku heran.

Warung makan bakso itu memang lagi sepi-sepinya. Siang begitu terik dan ini jam kerja pula. Suara lagu terdengar dari radio warung," Kamu tak bisa bayangkan rasanya jadi diriku yang masih cinta."

Wanita di hadapanku ini tampak kalem sekali. Terkadang terbit senyuman dari pipinya. Ia begitu tenang dan terkontrol. Seperti sudah menyiapkan pembicaraan ini jauh-jauh hari. Ia begitu yakin untuk menyudahi kedekatan hubungan kami.

" Tapi apa yang salah? Apakah aku masih overthingking? Atau apakah kamu sudah bosan denganku?" Aku lempar intropeksi kesalahanku.

" Intinya aku sudah cukup mencoba jalani ini tapi tetap gak bisa. Mungkin kita bukan jodoh. Aku belum bisa yakin denganmu. Aku tidak punya rasa apa-apa lagi padamu." Wanita itu menegaskan kembali keputusannya.

Bunyi sendok tertimpa garpu menjadi penutup pernyataan wanita itu. Terdengar lirih bibirnya mencecap kuah pelan-pelan. Aku terdiam, terpana pada sedotan teh hangat. Aku gagal mencari ide di dalam kepalaku. Pikiranku seperti hilang dan makin kosong di detik-detik selanjutnya.

" Bagaimana ? Ada yang masih mau kamu bicarakan tidak? Makannya sudah kan?" Wanita itu terus mengisi kekosongan pembicaraan.

"Aku sebenarnya bingung harus bicara apa lagi. Sebab apa lagi yang perlu dibicarakan? Jika memang itu yang kamu mau maka aku harus mundur. Terima kasih telah memberi kesempatan buatku!" Ucapku terbata-bata, berupaya mengontrol nafas yang tak karuan.

Wajah wanita itu perlahan berubah tegang. Satu butir bakso terakhir dilahapnya pelan-pelan . Di dalam mangkuk itu tersisa kuah yang kosong, dan hampa. Percis pikiranku ini.

" Kalau kamu mau pulang duluan silakan saja. Aku bisa pulang sendiri." Tutur wanita itu dengan mata tajam.

Aku rasakan seperti ada yang menancap di dada, tubuhku terasa lunglai. Sungguh aku tak tahan, rasanya aku  hendak lari secepat mungkin meninggalkan tempat ini.

***

"Hahaha!"

Gelas kopi tertawa keras setelah mendengar cerita pria itu.

"Sudahlah, aku sudah paham wahai pria murung! Kau terluka oleh kebodohanmu sendiri. Kau kalah oleh emosimu!" Gelas kopi mengejek.

" Apakah aku sebodoh itu? Tapi mengapa aku masih saja bersedih? Peristiwa ini sudah tiga bulan berlalu. Bisakah kau menghilangkan kesedihanku ini?" Tutur pria itu dengan nada sendu.

" Hahaha! Kau mau lari dari luka panah asmara yang kau tancapkan sendiri ke dadamu? Tidak bisa! Kau harus nikmati lukanya dan kau sendirilah yang harus mencabut lagi panah itu sekarang!" Gelas kopi makin cerewet memberi nasihat.

" Aku tak tahu apa yang menancap di dalam dadaku . Tapi yang jelas aku belum melupakannya. Apa karena aku benar-benar sayang padanya?" Pria itu masih bertanya-tanya.

" Hahaha! Seperti itulah rasanya yang kau imajinasikan sebagai cinta. Manis dan pahit. Mirip kopi racik yang sudah kau buat ini. Bahagia dan kecewa kau aduk sendiri di dalam gelas. Sekarang kau harus nikmati dan rasakan pahitnya!" Jawab gelas kopi begitu berisik.

" Jawabanmu tidak nyambung hei gelas kusam!"  Sahut pria itu dengan geram.

" Kau sedang menyesal wahai pria murung! Kau salah langkah! Lihatlah ! setelah air kopi ini habis kau hanya punya gelas kosong!" Gelas kopi makin kencang bergoyang.

"Kau tidak memberi solusi!" Ia terus menyanggah.

" Hahah! kau menjadi gelas kosong wahai pria murung! Gelas kosong, kosongkan gelas! dengarkan itu!"

Teriakan terakhir gelas kopi sangat nyaring. Saking nyaringnya, gelas kopi itu pun pecah. Seperti meledakan dirinya. Tak lama kemudian angin kencang datang. Daun-daun di bukit bergerak tertiup sapuannya. Bulan pelan-pelan tertutup awan.

Anehnya lagi, pria itu tiba-tiba merasakan panas menjalar dari kedua telapak kakinya. Rasa panas itu bersumber dari sepatu yang dikenakan olehnya. Dia sontak melepas sepatunya lalu melemparkannya sekuat tenaga. Namun sepasang sepatu itu langsung melayang, menari-nari di udara lantas kembali mendekatinya.

" Halo selamat malam." Terdengar bisikan yang pelan, namun terkesan berwibawa.

"Sudahkah kau temukan jawaban dari kesedihanmu?" Sepasang sepatu itu ternyata yang berbicara. Suaranya kompak, bunyi sepatu kanan dan sepatu sebelah kiri berpadu begitu tebal seperti bunyi dawai gitar bass.

Keanehan apa lagi ini? Pikir pria itu. Sambil menyadari bahwa suasana bukit begitu gelap dan hatinya pun sedang gelap, maka ia putuskan untuk menyalakan kembali rokoknya dan menyambut obrolan dengan sepasang sepatu aneh itu.

" Kau sudah dengar ceritaku kepada gelas kopi tadi?"

" Tentu sudah. Sekarang apa kau mau nasihatku? "

" Aku bingung. Perasaanku padanya belum juga tuntas. Apa yang harus kulakukan? Dapatkah kau bantu hilangkan perasaan cinta ini?"

" Kau adalah yang paling bertanggung jawab atas perasaanmu sendiri. Lihatlah, telapak kakimu akan selalu kepanasan jika kau tidak melepaskan kami bukan? Kau hendak menjaga kakimu dengan sepatu, namun ini justru melukai kakimu karena ukurannya sudah tidak sesuai."

" Kalian ini sebenarnya sepatu atau filsuf ? " 

Pria itu mulai tertarik menyimak dalam-dalam tuturan dari sepasang sepatu miliknya. Gumpalan asap rokok dari bibirnya mengepul ke udara. 

" Kau cukup dewasa untuk memaknai ini. Lagi pula ini sebenarnya bukan tentang sepatu! Tapi ukuran. Kau terlalu memaksakan. Coba kau ingat-ingat, ikatan tali sepatumu tadi terlalu erat, kurang longgar sehingga membuat kakimu kepanasan dan luka. Sebagai sepatu pun aku juga enggan terlalu lama di kakimu."

Sementara sepasang sepatu terus berceramah, tiba-tiba di langit muncul kilat. Terdengar gelegar petir sambar-menyambar. Air hujan pun jatuh bertubi-tubi. Pria itu berlari menghindari hujan, hendak menuruni bukit. Namun  tiba-tiba  petir menyambarnya. Ia pingsan tak sadarkan diri.

***

Suara kicau burung melengking dari kejauhan. Pelan-pelan matahari membelah kegelapan. Pria itu perlahan membuka mata. Ia tercengang melihat gelas kopi  masih ada dan berisi.  Ternyata dia masih mengenakan sepatu. Belum sempat mencerna keanehan macam apa yang dialaminya, tiba-tiba telepon genggam di sakunya bergetar. 

" Halo  apa kabar? Makan bakso lagi yuk?" Suara wanita terdengar menembus dari telepon genggamnya, lantas memantik kesadarannya yang baru pulih setengah. Pagi itu tubuhnya terasa segar sekali. 

Marendra Agung J.W. Lahir di Bekasi tahun 1993. 

Alumnus Fakultas Bahasa dan Seni, UNJ 2016. Alumnus Sekolah Pasca Sarjana Uhamka Jakarta, 2021. Seorang pengajar dan Penulis paruh waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun