" Hahaha! Kau mau lari dari luka panah asmara yang kau tancapkan sendiri ke dadamu? Tidak bisa! Kau harus nikmati lukanya dan kau sendirilah yang harus mencabut lagi panah itu sekarang!" Gelas kopi makin cerewet memberi nasihat.
" Aku tak tahu apa yang menancap di dalam dadaku . Tapi yang jelas aku belum melupakannya. Apa karena aku benar-benar sayang padanya?" Pria itu masih bertanya-tanya.
" Hahaha! Seperti itulah rasanya yang kau imajinasikan sebagai cinta. Manis dan pahit. Mirip kopi racik yang sudah kau buat ini. Bahagia dan kecewa kau aduk sendiri di dalam gelas. Sekarang kau harus nikmati dan rasakan pahitnya!" Jawab gelas kopi begitu berisik.
" Jawabanmu tidak nyambung hei gelas kusam!" Â Sahut pria itu dengan geram.
" Kau sedang menyesal wahai pria murung! Kau salah langkah! Lihatlah ! setelah air kopi ini habis kau hanya punya gelas kosong!" Gelas kopi makin kencang bergoyang.
"Kau tidak memberi solusi!" Ia terus menyanggah.
" Hahah! kau menjadi gelas kosong wahai pria murung! Gelas kosong, kosongkan gelas! dengarkan itu!"
Teriakan terakhir gelas kopi sangat nyaring. Saking nyaringnya, gelas kopi itu pun pecah. Seperti meledakan dirinya. Tak lama kemudian angin kencang datang. Daun-daun di bukit bergerak tertiup sapuannya. Bulan pelan-pelan tertutup awan.
Anehnya lagi, pria itu tiba-tiba merasakan panas menjalar dari kedua telapak kakinya. Rasa panas itu bersumber dari sepatu yang dikenakan olehnya. Dia sontak melepas sepatunya lalu melemparkannya sekuat tenaga. Namun sepasang sepatu itu langsung melayang, menari-nari di udara lantas kembali mendekatinya.
" Halo selamat malam." Terdengar bisikan yang pelan, namun terkesan berwibawa.
"Sudahkah kau temukan jawaban dari kesedihanmu?" Sepasang sepatu itu ternyata yang berbicara. Suaranya kompak, bunyi sepatu kanan dan sepatu sebelah kiri berpadu begitu tebal seperti bunyi dawai gitar bass.