Bunyi sendok tertimpa garpu menjadi penutup pernyataan wanita itu. Terdengar lirih bibirnya mencecap kuah pelan-pelan. Aku terdiam, terpana pada sedotan teh hangat. Aku gagal mencari ide di dalam kepalaku. Pikiranku seperti hilang dan makin kosong di detik-detik selanjutnya.
" Bagaimana ? Ada yang masih mau kamu bicarakan tidak? Makannya sudah kan?" Wanita itu terus mengisi kekosongan pembicaraan.
"Aku sebenarnya bingung harus bicara apa lagi. Sebab apa lagi yang perlu dibicarakan? Jika memang itu yang kamu mau maka aku harus mundur. Terima kasih telah memberi kesempatan buatku!" Ucapku terbata-bata, berupaya mengontrol nafas yang tak karuan.
Wajah wanita itu perlahan berubah tegang. Satu butir bakso terakhir dilahapnya pelan-pelan . Di dalam mangkuk itu tersisa kuah yang kosong, dan hampa. Percis pikiranku ini.
" Kalau kamu mau pulang duluan silakan saja. Aku bisa pulang sendiri." Tutur wanita itu dengan mata tajam.
Aku rasakan seperti ada yang menancap di dada, tubuhku terasa lunglai. Sungguh aku tak tahan, rasanya aku  hendak lari secepat mungkin meninggalkan tempat ini.
***
"Hahaha!"
Gelas kopi tertawa keras setelah mendengar cerita pria itu.
"Sudahlah, aku sudah paham wahai pria murung! Kau terluka oleh kebodohanmu sendiri. Kau kalah oleh emosimu!" Gelas kopi mengejek.
" Apakah aku sebodoh itu? Tapi mengapa aku masih saja bersedih? Peristiwa ini sudah tiga bulan berlalu. Bisakah kau menghilangkan kesedihanku ini?" Tutur pria itu dengan nada sendu.