Satu kelompok anak kecil dilabrak oleh seorang Hansip. Kelima anak itu dituding telah melanggar hukum karena mengemis dan mengamen di perempatan jalan. Hansip berkata bahwa anak-anak kecil tersebut dapat dikenakan pidana kurungan 30 hari dan denda sebesar 50 Juta rupiah. Â
Kejadian tersebut menjadi menggelitik ketika pertanyaan salah seorang anak mengusik kemapanan pikiran sang Hansip. "Dipidana itu apa? Dipidana kurungan artinya apa?" Â tanya salah seorang anak.
Sebetulnya, kalimat larangan mengemis sudah terpampang jelas di papan kayu. Ironisnya, sebagian besar anak -anak itu tidak dapat membaca.Â
Hanya satu dari mereka yang lumayan bisa membaca karena sempat sekolah. Ia dengan susah payah mengeja, "Ba-ran-g si-a-pa me-nge-mis dan me-ng-a-men... di-pi-da-na... ku-ru-ng-an."Â Teman-temannya pun cuma bisa menguping bunyi ejaannya.
Kisah di atas memang berasal dari cerpen Ahmad Tohari berjudul "Mereka Mengeja Larangan Mengemis". Walau bukan benar-benar kenyataan, namun percikan fenomena sosial begitu tercermin dalam cerita pendek ini.
Gaya realis cerpen "Mereka Mengeja Larangan Membaca " karya Ahmad Tohari ini memang sulit dipungkiri adanya.Â
Tokoh anak-anak yang dilabrak oleh Hansip tersebut berhasil membangun permasalahan yang dekat dengan masyarakat kelas bawah.Â
Pembaca yang pernah bersinggungan dengan fenomena seperti pengamen, anak jalanan, dan pengemis akan merasakan kenyataan tersebut.
Ahmad Tohari tidak menggunakan satu pun kata "miskin" dalam cerpen yang menjadi judul buku "Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2019" itu. Â Akan tetapi, narasi ceritanya telah membingkai karakter lima anak tersebut dalam latar belakang kemiskinan.
Setiap pagi mereka berkumpul di pangkalan truk yang dikelilingi warung-warung, paling banyak warung nasi. Empat anak laki-laki memang selalu tidur di situ, di lantai emper warung yang sudah tutup atau di mana saja sesuka mereka.  Di malam hari mereka sudah terbiasa dengan banyaknya nyamuk. Tetapi mereka sering tidak bisa tidur ketika perut lapar. Gupris tidak ikut tidur jadi gelandangan di pangkalan. Dia lain. Dia punya rumah kecil di belakang pangkalan. Ada emak, tapi tidak ada ayah. ( Narasi Cerpen)
Ahmad Tohari cukup menyebut "Setiap pagi mereka berkumpul di pangkalan truk", Â "gelandangan", "lapar" dan "tidak ada ayah" untuk menggambarkan kompleksitas permasalahan tokoh anak dalam cerpen ini.Â
Lengkaplah sudah gambaran umum karakter anak dalam cerpen ini, yakni tak berpendidikan, keluarga tak utuh, dan prasejahtera atawa miskin.
Kajian Sosiologi Sastra terhadap Cerpen
Cerpen sebagai karya sastra memang bersifat fiktif, tidak menjanjikan kenyataan sosial yang 100% bebas dari sentuhan imaji pengarang.Â
Walau demikian, untuk menyebut kisah dalam cerpen tidak berkaitan dengan fenomena sosial, itu tetap tidak 100% melegakan. Oleh sebab itu, kajian Sosiologi Sastra kerap digunakan untuk memandang karya sastra sebagai "cerminan" realitas sosial.
Pendekatan Sosiologi Sastra itu dapat kita pinjam untuk memaknai cerpen sebagai bentuk refleksi kehidupan sosial. Sebab, karya sastra lahir dari pengarang yang hidup di tengah masyarakat sehingga karyanya mengandung aspek-aspek kehidupan masyarakat.
Sebagaimana kajian Sosilologi Sastra dari Ho Ngec Hio yang terdokumentasi dalam Jurnal Kredo Vol. 5 No. 1 tahun 2021.Â
Dalam laporan penelitiannya itu ia menyimpulkan, bahwa cerpen "Mereka Mengeja Larangan Mengemis karya" Ahmad Tohari mengandung sejumlah kritik sosial. Antara lain yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini yaitu perihal perlindungan hak-hak anak.
Perihal perlindungan hak-hak anak, terdapat 10 hal berdasarkan Konvensi Hak Anak dari PBB. Hak anak yang dilindungi yakni hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, mendapatkan perlindungan, mendapatkan nama (identitas), mendapatkan status kebangsaan, mendapatkan makakan, mendapatkan akses kesehatan, mendapatkan rekreasi, mendapatkan kesamaan, dan memiliki peran dalam pembangunan.
Pertanyaan besar kemudian muncul, Â siapa yang paling bertanggung jawab jika salah satu atau beberapa hak dari kesepuluh hak anak tersebut tidak diperoleh anak? Apakah orang tua, pemerintah, negara, atau kita semua sebagai masyarakat?
Kita boleh saja berandai-andai, jika fenomena Hansip dan kelima anak dalam cerpen tersebut terjadi di kehidupan nyata, maka "bunyi hukum" akan memantul.Â
Dari larangan mengemis hingga kewajiban negara terhadap kemiskinan, dan juga terhadap perlindungan hak-hak anak.
Permasalahan Asas Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Perihal asas peradilan pidana anak di Indonesia masih menjadi perbincangan di kalangan penegak dan pegiat hukum.Â
Peliknya permasalahan  hukum bagi anak-anak pelaku pidana kerap menimbulkan penanganan tambahan. Oleh karena itu, kita dapat menemukan judul berita belakangan ini, yang berbunyi "Kak Seto Turun Tangan Lindungi Anak-anak Ferdy Sambo".
Apakah  masyarakat bawah  yang tersangkut kasus peradilan pidana anak  dapat berharap kepada Kak Seto?Â
Atau akankah nantinya muncul istilah tambahan yaitu asas peradilan anak-anak prasejahtera? Lantas muncul judul berita "Kak Seto Turun Tangan Lindungi Anak Gelandangan  yang Tertangkap Polisi karena Mengemis?" Saya tidak tahu.
Pertanyaan-pertanyaan soal hukum dan anak-anak di atas tentu membutuhkan banyak waktu untuk terjawab. Khususnya bagi kita, masyarakat yang awam perihal hukum pidana anak. Kita  tentu perlu membaca banyak riset.Â
Untuk itulah, saya kira, Â cerpen Ahmad Tohari ini menyajikan alternatif. Dengan mambaca cerpen "Mereka Mengeja Larangan Mengemis," kita dapat mempersingkat waktu.Â
Setidaknya kita dapat mendengar bunyi "pantulan hukum" dari larangan mengemis terhadap anak-anak prasejahtera.Â
Hukum ataupun larangan mengemis terhadap anak-anak itu akan memantul kembali kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap perlindungan hak-hak anak. Terlebih anak-anak dalam taraf hidup prasejahtera.
Perihal bagaimana menerapkan peradilan pidana anak, saya rasa gelagat tokoh Hansip dalam cerpen Ahmad Tohari ini sudah cukup menyontohkan sikap humanis yang juga dapat menggelitik.Â
Itu tergambarkan tatkala ia memberi jawaban kepada pertanyaan anak, yang saya kutip di awal tulisan ini. Berikut jawaban tokoh Hansip.
" ...dipidana pasti tidak sama dengan diberi dana. Dipidana mungkin sama dengan dihukum. Ya. Dipidana kurungan sama dengan dihukum kurung, dibui, dipenjara. Tahu? Itulah, maka kalian jangan ngemis dan ngamen terus. Seharusnya kalian bersekolah. Jadi kalian bisa seperti saya yang sekuriti dan tahu dipidana itu artinya apa."Â ( Dialog tokoh cerpen)
Kutipan edukatif dari nasihat tokoh Hansip itu begitu menarik. Seperti ada harapan untuk keadaan yang semestinya tidak terjadi di dunia anak-anak.Â
Sikap tokoh Hansip itu juga menunjukan bahwa hati nurani akan muncul dominan ketimbang memberlakukan hukum terhadap anak-anak yang belum mengerti apa-apa.Â
Terbukti, si Hansip lebih memilih berceramah, ketimbang mengangkut dan menyerahkan anak-anak gelandangan itu kepada pihak berwajib.
Marendra Agung J.W, 5 Februari, 2023.
Sumber bacaan dapat ditemukan di:
Ahmad Tohari, Mreka Mengeja Larangan Mengemis, Kompas.id, 15 September 2019. (https://www.kompas.id/baca/utama/2019/09/15/mereka-mengeja-larangan-mengemis )
Ho Ngoc Hieu, Kritik Sosial dalam Cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis Karya Ahmad Tohari (Kajian Sosiologi Sastra), Kredo, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Vol. 5 No. 1 Oktober 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H