Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masalah Perlindungan Hak Anak dalam Cerpen "Mereka Mengeja Larangan Mengemis"

5 Februari 2023   13:18 Diperbarui: 11 Februari 2023   13:15 1942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahmad Tohari cukup menyebut "Setiap pagi mereka berkumpul di pangkalan truk",  "gelandangan", "lapar" dan "tidak ada ayah" untuk menggambarkan kompleksitas permasalahan tokoh anak dalam cerpen ini. 

Lengkaplah sudah gambaran umum karakter anak dalam cerpen ini, yakni tak berpendidikan, keluarga tak utuh, dan prasejahtera atawa miskin.

Kajian Sosiologi Sastra terhadap Cerpen

Cerpen sebagai karya sastra memang bersifat fiktif, tidak menjanjikan kenyataan sosial yang 100% bebas dari sentuhan imaji pengarang. 

Walau demikian, untuk menyebut kisah dalam cerpen tidak berkaitan dengan fenomena sosial, itu tetap tidak 100% melegakan. Oleh sebab itu, kajian Sosiologi Sastra kerap digunakan untuk memandang karya sastra sebagai "cerminan" realitas sosial.

Pendekatan Sosiologi Sastra itu dapat kita pinjam untuk memaknai cerpen sebagai bentuk refleksi kehidupan sosial. Sebab, karya sastra lahir dari pengarang yang hidup di tengah masyarakat sehingga karyanya mengandung aspek-aspek kehidupan masyarakat.

Sebagaimana kajian Sosilologi Sastra dari Ho Ngec Hio yang terdokumentasi dalam Jurnal Kredo Vol. 5 No. 1 tahun 2021. 

Dalam laporan penelitiannya itu ia menyimpulkan, bahwa cerpen "Mereka Mengeja Larangan Mengemis karya" Ahmad Tohari mengandung sejumlah kritik sosial. Antara lain yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini yaitu perihal perlindungan hak-hak anak.

Perihal perlindungan hak-hak anak, terdapat 10 hal berdasarkan Konvensi Hak Anak dari PBB. Hak anak yang dilindungi yakni hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, mendapatkan perlindungan, mendapatkan nama (identitas), mendapatkan status kebangsaan, mendapatkan makakan, mendapatkan akses kesehatan, mendapatkan rekreasi, mendapatkan kesamaan, dan memiliki peran dalam pembangunan.

Pertanyaan besar kemudian muncul,  siapa yang paling bertanggung jawab jika salah satu atau beberapa hak dari kesepuluh hak anak tersebut tidak diperoleh anak? Apakah orang tua, pemerintah, negara, atau kita semua sebagai masyarakat?

Kita boleh saja berandai-andai, jika fenomena Hansip dan kelima anak dalam cerpen tersebut terjadi di kehidupan nyata, maka "bunyi hukum" akan memantul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun