“Jakarta?”
“ Bojonya.. minta pisah. terus pindah ke jakarta nikah lagi.”
‘”Oh jadi ....”
“ Istrinya kawin sama wong sugih.orang kaya mas, wong jarwo cuma pedagang bunga. Jarwo pernah ke jakarta nyusul istri dan anaknya, tapi balik dari sana ndelalah malah edan”
Ia tersedak mendengar ucapan ibu nasi.
“ Tapi anaknya itu benar kuliah di bandung bu?”
“njeh. tapi itu dulu.. wes dua tahunan yang lalu. Sekarang ya nda tau ”
Ia sudahi makannya. Diletakan piring plastik juga bakwan yang tinggal separuh di atasnya. Setelah membayar, Ia menunggu kereta yang sudah tidak lama lagi tiba. Bangku tunggu itu sudah penuh. Tidak ada lagi bapak topi kodok di sana, hanya sekumpulan orang yang tidak Ia kenal yang sedang menanti kereta atau mungkin menanti orang yang mereka cintai tiba.
Kereta yang ditunggunya pun tiba. Ia sambut dengan rasa lega dan gembira, duduk bersandar di kursi kereta menghela nafas kemudian melayangkan pikirannya. Tak lama kemudian suara raungan kereta terdengar, pun kereta melaju secara perlahan.
Ia masih larut dalam lamunan kali ini tentang bapak bertopi kodok. Sebuah keagungan cinta seorang ayah yang begitu malang, kenangnya. Lamunan itu membawanya pada kejadian lampau dalam hidupnya, yang selalu Ia tolak untuk mengingatnya kembali. Namun entah kenapa saat ini Ia kehilangan kuasa untuk menahan ingatan tentang kenangan itu. Pun dalam diam Ia mambatin..
Janur kuning, tenda biru dan sajian berbagai macam makanan adalah sampah yang berserakan di halaman rumahku. Ya! tidak lebih dari sampah, karena aku merasa kalau ibu masih hidup dan masih menyertai aku dan ayah. Entah dimana, mungkin di sudut kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu atau di setiap sudut rumah. Aku masih merasaknnya dengan jelas. Tapi ayah tidak. Dia sangat lapang dada dan ikhlas menerima kematian ibu. Hingga dia sangat berdaya untuk menikah lagi dengan wanita yang sama sekali tidak pernah kukenal. Wanita yang tidak sedikit pun mirip dengan ibu. Wanita yang ayah kenal ketika dinas keluar kota. Wanita yang sudah bukan gadis.