Jauh di balik aduhainya gedung - gedung mol, jauh di seberang lihainya mobil-mobil melintasi tol, jauh dari keemasan puncak monas pada megahnya ibu kota, air kali bekasi tumpah ruah. Sepasang suami istri terjebak di loteng rumah mereka.
“ Abang...sampai kapan kita tinggal di sini?sampai kapan kita seperti ini? aku pusing bang.... “
Di dalam loteng buatan sang suami, mereka saling tatap. Di kanan-kiri berserakan tumpukan pakaian, ada yang tertindih televisi, ada juga yang terhimpit priring-piring. Betapa pengap loteng itu.
“ .......... “ Tanpa kata, sang suami memeluk istrinya.
“ Bang...tahun depan kita harus pindah! Atau paling engga abang tingkat rumah ini! pak randi saja sudah meningkat rumahnya, aku capek bang terus-terusan begini.. ”
“ ...........” tanpa kata sang suami mencium kening istrinya.
Sementara itu, di bawah mereka genangan air itu masih terus datang bersama lumpur, bagai tumpahan bajigur dari plastik raksasa. Lambat laun air banjir itu menenggelamkan habis seisi kamar dan menguasai sepenuhnya ruang rumah mereka. “ bruaaakkkkkkk....!” Jendela rumah mereka yang rapuh itu akhirnya tumbang, hanyut terbawa arus. Kemudian, di pojok ruang tamu meja kayu terjungkil. Pada pucuk meja kayu sang suami melihat sesuatu mengambang. Tiba-tiba sang suami melepas pakaian, lalu perlahan terjun dari loteng.
“ abang ...! mau ngapain.. Hati-hati ah...awas licin! “
***
Seperti yang sudah sudah, kalau lagi musimnya banjir rumah warga Kampung Pegepe biasa terendam hingga pintu rumah tak nampak mata. Rutinitas banjir tahunan yang melanda kampung Pegepe ini tiap tahun selalu besar volume airnya bahkan makin meningkat. Banjir saat ini memang banjir tertinggi dalam sejarah kebanjiran Pegepe yang pernah ada.
Tak bisa dipungkiri, dalam hati penduduk Pegepe pun banjir itu memang terasa layaknya musibah, membuat mereka susah. Penduduk kampung Pegepe khususnya di gang Q, memiliki satu hal lain yang menjadi kekhawatiran ketika banjir terjadi. Selain deras air mengancam nyawa dan harta benda, juga selain bakteri penyakit dari sampah-sampah, penduduk gang Q juga khawatir dengan si Mamat. Bagi mereka, banjir bukan cuma menjadi bencana materil, namun piristiiwa ini bisa menjadi serangan psikis, si Mamat-lah contohnya.
Biasanya, setiap kali banjir pikiran Mamat jadi tak karuan, tensi darah si Mamat seakan naik total, ia menjadi lebih emosional. Banyak warga gang Q, panik kelau melihat Mamat waktu banjir. Perilaku tak wajar Mamat bagi mereka memang wajar, sebab akibat banjir Mamat yang melarat ini terpaksa libur narik ojek, belum lagi istrinya juga otomatis cuti dari dagang nasi uduk.
Ketika banjir sudah surut, Mamat yang belum punya anak ini juga harus menjadi lelaki kuat, seorang diri berhadapan dengan lumpur, sisa-sisa sampah dan keamburadulan rumahny. Maka mendidihlah perasaanya, kesal hatinya, tapi entah kesal kepada siapa. Yang jelas di mata Mamat ketika kebanjiran, wajah orang orang seketika nampak menyebalkan semua. Untungnya Mamat sangat tunduk dengan istrinya, sehingga kalau-kalau warga terlibat masalah dengan Mamat ketika situasi banjir, biasanya seseorang akan memanggil istrinya untuk menjinakan, lantas membawa pulang si Mamat.
Saat motornya terendam ketika banjir dua tahun lalu, si Mamat pernah bikin seorang pemulung lari terbirit – birit. Mamat sedang menyeroki lumpur pasca surut banjir di teras rumahnya, tak sengaja melihat sosok pemulung sedang tersenyum senyum memilah - milah barang hanyutan di gunungan sampah depan rumahnya. Tiba-tiba si Mamat jadi naik pitam, ia lalu berteriak sambil menghunuskan golok, mengusir pemulung.
Ketika banjir besar tahun lalu Ria si pembantu muda sebelah rumahnya pun sempat dibikin heran plus ketakutan oleh si Mamat. Pasalnya, majikannya Ria sedang mengungsi ke rumah lainnya, sedangkan di rumahnya itu air mineral tidak cukup tersedia. Maka, Ria yang merasa menjadi langganan genit-genitannya si Mamat mencoba membuat taktik. Ketika banjir surut sampai selutut, ria melihat Mamat di ujung gang, membopong sekerdus air mineral dari posko banjir. Mengetahui si Mamat akan jalan melewati rumahnya, Ria langsung menggosok pagar rumahnya, lantas sengaja menegakan tubuhnya sedemikian rupa sehingga lekukan tubuhnya nampak lebih nyata. Ria juga menggemulaikan liukan lengan tangannya.
Namun kalakuan si montok Ria itu tak membuat Mamat sesenti pun menengok, tidak juga menggodanya, apa lagi menawarkannya air mineral tersebut. Puncaknya, Ria merasa kehilangan daya tarik, ia pun berinisiatif menciptakan bunyi-bunyian batuk dari tenggorokan, berharap menarik perhatian si Mamat. Mamat pun mulai sadar akan suara batuk Ria yang tak menentu nadanya itu, lantas Mamat melotot sambil membentak,
“ berisik ah! dasar babu! “
Sejak itu banyak warga gang Q berpkesimpulan kalau banjir tiba sebagian urat saraf si Mamat akan hanyut entah kemana. Sudah lebih dari 3 tahunlah si Mamat jadi cemberutan kalau banjir, dan berlangsung bisa sampai satu mingguan, sampai situasi kampung sudah kondusif kembali.
Anehnya, banjir kali ini gelagatnya si Mamat beda. Dia nampak begitu legowo dan ceria. Mamat mampu bergembira seperti pada situasi normal. Mamat berenang keliling kampung dengan galon kosong untuk mengapung, memburu biawak, merakit perahu dari jebolan pintu rumah. Ketika air banjir sudah mulai surut, Mamat juga membuatkan bendungan kecil di selokan depan rumahnya.
“ ayo..ibu – ibu, bapak-bapak, tua muda siapa saja! ambil saja air ini, lumayan untuk membilas dinding. Selagi listrik belum nyala “
Mulanya banyak tetangganya takut untuk menggunakan bendungan itu, ibu-ibu tercengang melihat kelakuan si Mamat, mereka masih belum yakin. Sebagai pancingan si Ria disuruh lebih dulu turun membawa ember kosong. Ibu-ibu khawatir kalau si Mamat kumat lagi stres banjirnya. Ternyata belum juga Ria bergegas, si Mamat langsung menggoda, “ Wuahh eneng Ria! Jangan ngedekem di rumah aja, nanti gak laku-kalu loh! Hahah sini ah turun ambil air “. Seketika ibu-ibu tetangga tertawa girang. Kemudian keluar dari rumah, memburu air bendungan buatan si Mamat.
Sore itu menjelang magrib, surutnya air sudah sampai sebetis, para warga mulai mendorongi lumpur keluar rumah. Penduduk gang Q saling bergunjing tentang si Mamat yang berubah dratis. Mamat bukan lagi si penderita banjir yang sinis, aneh dan amukan. Namun hati Mamat seperti dilapisi energi mistis, mamat tetap bertahan sebagaimana Mamat biasanya.
Di sela waktu mereka orbrol sana-sini sambil menyantap bingkisan nasi dari relawan.
" ....mestinya tanggul kali diperlebar lagi..."
" Hemmmm...pohon - pohon ditebang mulu sih..."
" Halah..banjirnya malah makin tinggi nanti kalau jebol..."
" ...makanya jangan buang sampah sembarangan dong! "
" Eh eh , bapak-bapak kapan ya kita digusur? “
" Dijadikan waduk!?!? Memangnya pemerintah punya dana seberapa? "
Seperti sidang para ahli pembangunan, bapak - bapak gang Q kampung Pegepe bergaya bag tokoh publik. Di atas sana, Mamat nangkring di genteng rumahnya, menikmati rokok sambil menahan tawa menyimak tetangganya itu. Bagi si Mamat solusi banjir tak ubahnya sesuatu yang gaib, tak bisa dijangkau siapa saja, mustahil untuk digapai. Celoteh bapak-bapak itu palingan hanya selingan menunggu air bersih karena listrik masih padam, pikir Mamat.
"Sssttt...liat tuh bang Mamat! Malah ngopi coba, rumahnya masih berantakan gitu.."
" Hehh berisik loh!! Nanti si jenggo banjir Mamat ngamuk baru tau rasa."
" Ohiya.. denger-denger Si Mamat sudah enggak alergi banjir lagi? "
" Masak sih?"
“ Iyaya..aneh. Padahal kasurnya ludes kerendem loh itu "
“ Hheuh bener, tadi dia malah nawarin ane rokok, kesurupan apa yeh bang Mamat ?kok nggak kumat “
Sebuah mobil truk datang ke dalam gang Q, dari dalam supir mengumumkan dengan toa, “ air bersih ! “air besih.... “ Tidak lebih dari limat menit warga gang Q sudah menyemuti mobil tersebut. Sedangkan si Mamat masih asik leha-leha di atas genteng rumahnya.
“ Abang!! ” Tiba tiba suara bergetar dari bawah rumah. Layaknya tentara mendengar komando, atau tak ubahnya kiai yang mendengar azan, si Mamat sigap, tanpa babibu langsung beranjak meninggalkan genteng, turun merosoti pohon jambu, menyelinap masuk lewat jendela yang sudah jebol, lalu menuju ke sumber suara.
" Itu air bersih ambil ! ngapain sih di genteng lama-lama? ngintipin si Ria !?”
" Ah...astri..astri, ada-ada saja kamu ini. Kirain apa, orang-orang juga masih antri tuh..”
" Nanti kalau kehabisan gimana bang? Itu lantai kamar kita belum dibilas, mau tidur di loteng lagi? Kasur kita juga kotor banget itu!” “ hahaha iya sayang..sabar sabar “
" Abang ini aneh. Udah mulai bisa cengegesan pas banjir, ada angin apaan sih? “
“ Hhm, abang janji banjir tahun depan kita sudah bisa ngungsi di lantai dua. Abang janji sayang! bulan ini juga kita bakal ningkat rumah !”
“ Hah?!? Abang mau ngepet dimana?”
“ Wahh, tenang aja sayang, percaya deh, abang lagi dapet rejeki yang tak terduga dari alloh!”
“ Au ah! sana ambil air! awas jangan bikin ulah yang enggak-enggak lagi! “
" hahahha oke sayang...”
***
Malam menjelang, listrik masih padam. Banjir sudah surut, terlihatlah Kampung Pegepe carut marut, bagai kapal pecah. Kursi tersangkut di pepohonan, juga kaleng kerupuk nyangsang di batang pohon jambo. Belum lagi di pinggiran jalanan utama banyak hanyutan kasur, perabotan rumah, juga lumpur-lumpur tercecer menjajah jalanan. Sementara itu di gang Q pemuda - pemuda sedang berceloteh ria di pos kamling.
" .... bu sabirin masuk koran yak? "
" ...gila! melahirkan di atap rumah..."
" pasti itu mukjizat Tuhan..."
" anaknya namanya siapa yak kira kira? "
" Hmm... Banyu Putro, kalo batak Ucok si air-air! “
“ Hahaha ....”
Malam makin larut, gelap tanpa lampu, membuat teras pos itu seperti tempat perserikatan kunang-kunang. Bintik cahaya merah dari bara rokok para pemuda menjadi kesatuan artistik. Tiba-tiba dari kejauhan terpancar cahaya lain, berwarna kuning, bergerak mendekat.
“ Loh loh...lihat ! Bang Mamat ke sini...”
“ Waduh...mampus kita! Ayo pulang, pasti bang mamat kumat nih!”
Si Mamat datang menghampiri mereka. Mamat memang senang bergaul dengan pemuda kampung, iya anggap mereka seperti anaknya sendiri. Di hari-hari normal , si Mamat juga masih aktif begadang bersama pemuda kampung, menghabiskan malam dengan kartu remi. Beberapa pemuda kampung panik melihat kedatangan Mamat. Sebagian lagi mencoba menenangkan.
“ Yampun, mana lumpur rumahnya tadi masih numpuk, pasti kacau banget bang Mamat nih..”
“ Gue pulang duluan deh..”
“ Heh ngapain.... kata ibu-ibu, bang Mamat udah waras, udah kuat ngadepin banjir “
“ Bener nih?”
Belum selesai mereka bersiap-siap hengkang dari pos, si Mamat sudah menyambit senternya kepada rumunan, kemudian gelas kopi para pemuda ditendangnya sampai terpental jauh.
“ Heh...mau pada kemana kalian?! “
" Siapa yang ngambil guci di atas pot rumah saya?!? “
" Hah??! Eggak tau bang...”
Seketika para pemuda lari tunggang langgang, ngacir ke arah rumah masing-masing. Mamat makin berang, lalu mencoba mengejar mereka. Kang Dadang penjaga poskamling yang sedang mengitari gang melihat kejadian itu dari kejauhan. Setelah menyorotkan cahaya senternya sesaat, kang dadang lalu bergegas menuju rumah Mamat memanggil istrinya. Beberapa jenak kemudian..
"Abang! Kenapa lagi siih ”
“ ini...begundal begundal kampung pasti yang ngambil barang abang.”
"Barang yang mana? “
".... yang di dalem guci, di atas genteng. “
“ O emang itu apaan? Guci jelek aja! Tadi aku buang ke kali, habis bau pesing ! “
"Astaga....astri ! “
"Memang kenapa? “ i
" Itu buat ningkat rumah kita !! di dalamnya ada amplop coklat, isinya uang, ratusan ribu! Banyak sampe jutaan! Ya Alloh astri...!” " Yaampun..kenapa abang ga bilang ! "
Kang Dadang pelan-pelan menjauh, sambil pura-pura berbicara kepada hatenya. Gang Q makin sepi. Sunyi, hanya ada Mamat dan Istrinya melangkah lemah, pulang kembali ke rumah.
Bekasi
Marendra Agung
( Pernah dimuat di majalah Didaktika edisi 46 , tahun 2016 )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H