Namun menjadi tidak fair karena informasi mengedepankan seolah-olah semua 'kejahatan' lingkungan hidup dan kehutanan itu sedang dan masih terjadi sampai saat ini. Disinilah 'kesalahan fatal' itu terjadi.
Banyak hati jadi terobok-obok. Marah. Atau bahkan merasa benci pada pemerintah Republik Indonesia. Karena hakikatnya rasa ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, telah mejadi musuh bersama rakyat dunia.
Belum lagi framing ke arah pelanggaran HAM, yang sudah menjadi isu sensitif di Papua. Terlebih lagi tulisan yang diduga sarat framing ini diterbitkan berdekatan jelang perayaan Hari Papua Merdeka, awal Desember nanti. Framing yang sangat berbahaya sekali.
Sudah kebayang resiko potensi seperti apa dunia menatap ke Indonesia dari indikasi framing media ini? atau seperti apa hati rakyat Papua yang salah membaca informasi? atau bahkan rakyat Indonesia secara keseluruhan menyikapi berita ini?
Maka sudah tepat apa yang disampaikan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa, bahwa pemberitaan seperti ini berpotensi memprovokasi dunia serta memecah belah persatuan warga di Papua.
Karena faktanya, Korindo Group sudah pernah diberikan sanksi oleh Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) era pemerintahan saat ini. Setelah kejadian tahun 2015, Gakkum untuk pertama kalinya dalam sejarah berani menyasar raksasa besar. Baru di era pemerintahan inilah ada sanksi untuk korporasi terkait karhutla.
Sepanjang tahun 2015-2020 (per Oktober), Ditjen Gakkum KLHK mencatatkan putusan perdata terbesar dalam sejarah Indonesia untuk penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan. Ada 13 putusan hukum inkract, dengan nilai putusan sanksi lebih dari Rp20 triliun. Menerapkan 1.482 sanksi administrasi, melakukan 1.514 pengawasan perusahaan, 26 gugatan perdata di pengadilan, dan melakukan 1.455 operasi.
Indonesia sudah berubah banyak dalam hal tata kelola lingkungan. Dunia harusnya mendapatkan sinyal itu. Bukan justru framing yang dipenuhi kamuflase informasi yang membahayakan NKRI.
Perlindungan Hutan di Pulau Papua
Faktanya juga, pemerintah telah mengambil kebijakan moratorium  secara permanen izin di hutan primer dan lahan gambut. Tujuannya demi melindungi lingkungan hidup yang masih tersisa dari imbas izin lalu-lalu.
Lebih dari 25,63 juta ha hutan primer dan lahan gambut di Papua, yang artinya lebih besar dari Inggris, masuk dalam peta moratorium permanen. Sementara itu, lebih dari 40% dari total luas Provinsi Papua Barat merupakan bagian dari peta moratorium permanen. Begitulah bentuk komitmen pemerintah melakukan koreksi kebijakan (corrective policy) menjaga hutan dua Provinsi di Pulau Papua ini.