Menjadi sangat disayangkan, laporan dalam balutan 'kasta tertinggi jurnalistik' yang digulirkan tentang kebakaran lahan di Papua, tidak menyebutkan secara eksplisit kapan kebakaran lahan itu terjadi, dan kapan izin yang menyebabkan kerusakan hutan di kawasan itu dikeluarkan. Informasi sepenting itu bahkan tidak dicantumkan sampai ke paragraf 15 dari bagian tulisan pertama!
Kamuflase informasi dalam berita ini terkesan memanfaatkan ''rasa malas membaca' masyarakat Indonesia. Pembaca cenderung menarik kesimpulan dari judul atau hanya tulisan di lead pembuka saja. Tidak ada minat menganalisis, apakan lagi melakukan study literasi. Berdasarkan hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019, tingkat literasi membaca masyarakat Indonesia tergolong rendah di 34 Provinsi.
Satu-satunya kalimat yang menggambarkan waktu pada berita investigasi hanya tertulis, ''...yang dirilis pada Kamis (12/11)...''.
Bagi yang jeli, kalimat penunjuk ini merujuk pada waktu karya jurnalistik dikeluarkan, bukan kapan kejadian dari isi informasi itu terjadi. Sementara bagi yang tidak jeli, berpotensi besar menelan informasi tersebut bulat-bulat sebagai waktu terjadinya kebakaran. Seolah-olah bahwa kejadian itu benar adanya baru atau sedang terjadi. Cerdik bukan?
Pada lead awal, tertulis kalimat ''Investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace Indonesia, yang diterbitkan pada Kamis (12/11) bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya.''. Namun tidak disebutkan, kapan waktu pembakaran dimaksud? tahun berapa? dan kapan perusahaan berbau asing itu menjejakkan kaki dengan segala aktivitasnya di sana? tidak ada!
Di sinilah kamuflase informasi dalam bentuk framing diduga disusun sedemikian rupa. Karena tidak ada satu kalimat pun pada bagian pertama tulisan menyebutkan bahwa seluruh investigasi dimaksud, ternyata merupakan kejadian tahun 2013, serta akibat dari keluarnya izin dari tahun 2009. Bukan di pemerintahan Presiden saat ini yang baru memulai periode kepemimpinannya di akhir tahun 2014.
Kamuflase dengan analisis framing kemudian ditemukan juga pada bab berikutnya. Dimana sajian informasi hanya menonjolkan ketimpangan antara 'raksasa dan derita rakyat jelata', pelanggaran HAM, kemiskinan dan ketidakadilan. Serta meniadakan atau membuang informasi mengenai upaya pemerintah yang sudah mengeluarkan kebijakan moratorium izin sejak bergantinya pemerintahan.
Selain itu meniadakan informasi bahwa kebakaran hutan dan lahan di lokasi tersebut, mengalami penurunan drastis bahkan hingga 90 % pasca kejadian tahun 2015. Patut dicatat, bahwa Indonesia mengalami karhutla tidak terlepas dari imbas kebijakan yang lalu-lalu. Di masa transisi pemerintahan saja masih terjadi pelepasan izin hutan, yang ambil bagian sebagai penyebab terjadinya karhutla besar tahun 2015.
Barulah setelah dilakukan langkah koreksi baik kebijakan maupun kerja lapangan, sejak 2016 karhutla perlahan bisa diatasi. Meski tidak langsung drastis, namun perlahan namun pasti Indonesia menemukan skema yang tepat menangani karhutla dengan mengubah pola kerja dari pemadaman ke pencegahan.
Terbukti di 2020, Indonesia bebas bencana asap di tengah tekanan pandemi corona melanda dunia. Tidak semua negara yang masih memiliki hutan, bisa melewati 'fase mematikan pertemuan dua bencana' ini. Sayangnya informasi tersebut terhilangkan.
Persis seperti konsep framing Robert N.Entman, dimana media melakukan apa yang disebut dengan make moral judgement atau membuat keputusan moral. Dimana nilai moral dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi. Dalam konteks ini, keberadaan atau peran negara sedang didelegitimasi, terutama di Papua.