Nah, inilah hal terpenting yang tidak dinarasikan di berbagai platform media, bahwa PT.REKI mengantongi izin dari negara dengan status kawasan HUTAN PRODUKSI. BUKAN HUTAN KONSERVASI.
Izin ini mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan hutan produksi.
Artinya, pengelola Hutan Harapan yang terbentang di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan (dalam hal ini PT.REKI), mengantongi izin pengelolaan hutan produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).
Pemberian izin ini merupakan upaya (baca:niat baik) pemerintah untuk mengembalikan areal hutan produksi yang telah rusak menjadi seimbang keadaan hayatinya.
Aktivitas PT.REKI bersama para pihak LSM seperti Burung Indonesia, Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) dan Birdlife International, bukanlah berada di dalam kawasan hutan konservasi (yang tidak boleh diganggu sama sekali), melainkan di dalam hutan produksi, dimana berdasarkan aturannya boleh dimanfaatkan maksimal 10 % untuk peruntukan lainnya (termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).
Sehingga keluarnya izin untuk PT.Marga Bara Jaya, sesungguhnya bukanlah barang yang tabu ataupun haram. Seluruh izin dikeluarkan sesuai prosedur yang berlaku di negara Republik Indonesia. Apalagi izin yang dikeluarkan ternyata tidak sampai 10 % dari kawasan.
Hal ini mengacu bahwa PT REKI berada di dalam hutan produksi, maka tentu saja KLHK mempelajari pemanfaatan kawasan Hutan Harapan dengan skim hutan produksi. Dimana dalam aturannya, PT.REKI juga memiliki kewajiban melakukan restorasi di dalam kawasan hutan produksi ini.
Namun ternyata PT.REKI menyimpan masalah dengan tidak melakukan kewajiban restorasi di dalam kawasannya. Ada areal-areal restorasi yang tidak dijalankan, bahkan PT.REKI tidak mengantongi Rencana Kerja Usaha (RKU) lanjutan.
Hal penting yang perlu dipahami, restorasi yang dijalankan perusahaan pemegang izin, sifatnya adalah kewajiban, bukan berarti akan mengubah status kawasan. Orang awam mungkin berpikir bila selesai direstorasi, seterusnya hanya menjadi hutan saja, padahal tidak demikian dalam aturannya. Karena setelah kewajiban restorasi dilakukan, status kawasan tersebut tetaplah hutan produksi. Bukan hutan konservasi.
Maka selaku pemegang izin, kewajiban perusahaan adalah merestorasi dulu, sampai ke titik normal, baru bisa dimanfaatkan sesuai perijinan yang diberikan.
Dengan kondisi faktual di lapangan, maka KLHK memutuskan mengeluarkan izin untuk PT.Marga Bara Jaya di dalam kawasan PT.REKI, dengan fokus pada titik-titik kewajiban restorasi yang tidak dilaksanakan oleh PT.REKI sebelumnya.