Pengajuan itu wajib dipelajari untuk diberi kepastian, apakah izin bisa diberikan, atau ditolak. Maka Menteri memberikan disposisi ke Ditjen PKTL untuk mempelajari pengajuan izin.
Ditjen PKTL lantas meminta pertimbangan teknis mengenai pengajuan izin dari Badan Litbang dan Inovasi (BLI), Ditjen KSDAE, dan Ditjen PHPL KLHK. Semua pihak diminta bekerja untuk memberikan kajian-kajian teknis.
Rekomendasi Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK kemudian 'digoreng' sedemikian rupa, seolah Menteri mengabaikan kajian ilmiah yang melarang ada aktivitas di Hutan Harapan. Padahal faktanya, kajian tim BLI hanya dasar ilmiah, lengkap dengan saran melakukan study lapangan, dan itu dikeluarkan jauh sebelum Komisi AMDAL bekerja.
Karena semua kajian yang masuk dari BLI, Ditjen KSDAE dan Ditjen PHPL, masih harus diolah lagi oleh tim AMDAL, dengan melihat dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
Semuanya kemudian diuji publik oleh Komisi AMDAL, yang anggotanya terdiri dari perwakilan multipihak, bukan hanya unsur pemerintah saja, tapi juga dari kalangan independen.
Semua kajian dari para pihak didiskusikan, didebat-debat, dihajar-hajar, dikaji-kaji, diminta pertimbangan dari segala sisi.
Komisi AMDAL lantas memberikan tiga opsi, yakni (1) membuat jalan di luar areal PT.REKI, (2) membuat jalan dalam areal PT.REKI, tapi hanya di pinggir kawasan, (3) membangun jalan di dalam kawasan inti.
Pada akhirnya, dipilihlah opsi kedua. Diizinkan membangun jalan di dalam kawasan PT.REKI dengan hanya melipir di pinggir kawasan.
Pemilihan opsi ini bukan ujug-ujug, apalagi asal-asal tunjuk. Karena pada prinsipnya opsi kedua inilah yang paling sangat minimal memiliki dampak lingkungan.
Kenapa KLHK tidak memilih di luar kawasan? Karena di luar kawasan justru hutannya masih sangat lebat, sehingga dampak lingkungan akan jauh lebih besar mengancam manusia, satwa dan keanekaragaman hayati lainnya.
Selain itu ternyata di dalam kawasan hutan produksi, ada lokasi yang kewajiban restorasinya tidak dijalankan dengan baik oleh PT.REKI.