Mohon tunggu...
Afni Zulkifli
Afni Zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis adalah sajadah kata untuk berbicara pada dunia

Jurnalis, Akademisi, Praktisi Komunikasi Publik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kamuflase Informasi Deforestasi Indonesia

7 Juni 2020   15:39 Diperbarui: 7 Juni 2020   16:03 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyusunan judul dan lead deforestasi Indonesia, tidak salah dalam kitab jurnalistik manapun. Karena memang masih banyak berlaku adagium klasik bad news is good news. Kabar buruk adalah berita yang bagus. Sehingga dianggap sah-sah saja.

Namun pada konteks sajian data deforestasi Indonesia, ada yang terkesan sengaja dikaburkan (camouflage), dan bila tidak dicermati dengan baik, maka terjadi kamuflase informasi yang bisa mendelegitimasi upaya, kinerja, dan capaian-capaian pemerintah (di dalamnya jelas ada seluruh komponen rakyat), terutama terkait sektor kehutanan.

Berbagai sumber informasi yang mengangkat isu ''Deforestasi Indonesia juara tiga dunia'' merujuk data dari University of Maryland yang dirilis oleh Global Forest Watch (GFW), yang kemudian banyak diterbitkan oleh media dalam negeri maupun media asing.

Kebanyakan menyatakan "Indonesia telah berhasil menurunkan deforestasi, tapi masih tiga besar dunia".  Suatu hal yang kemudian berkembang menjadi lead berita adalah tentang tiga besar dunia, tanpa melihat lagi apakah definisi primary forest yang digunakan peta GFW/WRI tersebut adalah hutan primer berdasarkan standar keilmuan dan peraturan perundangan di Indonesia.

Membentuk Opini

Opini yang terbentuk dari contoh kasus ini membuat seolah-olah Indonesia gagal menjaga kekayaan sumber daya alamnya secara berkelanjutan. Padahal faktanya, informasi ini jelas tidak tepat karena Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi secara terukur.

Penggiringan opini dengan kamuflase informasi akan menjadikan publik kita minder, tidak percaya dengan kemampuan negara sendiri, dan lebih bangga merujuk pada kemampuan negara lain.

Sajian data yang dikamuflasekan juga menjadi ancaman pada pembentukan opini dan pengambilan kebijakan yang tidak tepat oleh para pihak. Publik seakan dimanjakan dengan data-data riset asing yang menggunakan metodologi dan definisi yang berbeda dengan kondisi di Tanah Air.

Padahal untuk sumber data kehutanan, Indonesia sebenarnya jauh melangkah maju. Untuk menghitung luasan deforestasi Indonesia, metodologi penghitungan telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen resmi negara berjudul National Forest Reference Emission Level (FREL) yang resmi dikeluarkan pada 18 September 2015.

Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC melalui proses verifikasi internasional pada November 2016. Hal ini menggambarkan bahwa metode dan data Indonesia sudah diterima (well-recognized) di dunia internasional.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mempunyai sistem Pemantauan Hutan sendiri yang independen dan diakui di dunia internasional yaitu National Forest Monitoring System/NFMS SIMONTANA), dan dipakai dalam pelaporan-pelaporan ke dunia Internasional, seperti laporan ke FAO, UNFCCC (termasuk FREL), dan UNFF.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun