Mohon tunggu...
Afni Zulkifli
Afni Zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis adalah sajadah kata untuk berbicara pada dunia

Jurnalis, Akademisi, Praktisi Komunikasi Publik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kamuflase Informasi Deforestasi Indonesia

7 Juni 2020   15:39 Diperbarui: 7 Juni 2020   16:03 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komunikasi secara praktik adalah informasi yang tersampaikan. Ilmu informasi bersifat multidisipliner. Sarana penyampaiannya beragam. Tujuannya macam-macam.

Di lingkup kerja pemerintahan dan politik kebijakan, komunikasi bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dan pengakuan publik (rakyat). Selain juga menjadi alat untuk evaluasi kebijakan (policy) dan pengayaan ilmu pengetahuan (science).

Belakangan ini informasi deforestasi Indonesia didominasi dengan informasi bahwa ''Indonesia kehilangan hutan primer nomor tiga di dunia''.

Kita mulai dari posisi judul informasi.

Judul adalah kesimpulan dari seluruh informasi yang disajikan dalam badan berita. Survey menunjukkan, bahwa pembaca hanya suka membaca judul berita saja, tanpa membaca isi.

Pada case ini, pengetahuan pembaca sudah diisi dengan informasi utama bahwa Indonesia juara ketiga deforestasi di dunia.

Selanjutnya kita melangkah pada isi berita.

Dalam dunia jurnalistik dikenal teori piramida terbalik. Semakin ke bawah isinya semakin tidak penting. Pondasi piramida yang berada di atas, merupakan struktur dengan isi informasi terpenting. Inilah yang disebut dengan lead.

Lead akan jadi guidance atau membimbing pembaca ke inti informasi seluruhnya. Makanya jangan heran, banyak yang merasa cukup mendapat informasi hanya dengan membaca judul dan lead pembuka, karena menganggap paragraf-paragraf berikutnya tidak penting sehingga tidak perlu lanjut membaca.

Lead utama dari contoh case ini hanya dominan mengenai posisi Indonesia juara tiga kehilangan hutan primer di dunia. Hanya itulah akhirnya yang publik tahu, andai malas membaca.

Kamuflase Informasi

Penyusunan judul dan lead deforestasi Indonesia, tidak salah dalam kitab jurnalistik manapun. Karena memang masih banyak berlaku adagium klasik bad news is good news. Kabar buruk adalah berita yang bagus. Sehingga dianggap sah-sah saja.

Namun pada konteks sajian data deforestasi Indonesia, ada yang terkesan sengaja dikaburkan (camouflage), dan bila tidak dicermati dengan baik, maka terjadi kamuflase informasi yang bisa mendelegitimasi upaya, kinerja, dan capaian-capaian pemerintah (di dalamnya jelas ada seluruh komponen rakyat), terutama terkait sektor kehutanan.

Berbagai sumber informasi yang mengangkat isu ''Deforestasi Indonesia juara tiga dunia'' merujuk data dari University of Maryland yang dirilis oleh Global Forest Watch (GFW), yang kemudian banyak diterbitkan oleh media dalam negeri maupun media asing.

Kebanyakan menyatakan "Indonesia telah berhasil menurunkan deforestasi, tapi masih tiga besar dunia".  Suatu hal yang kemudian berkembang menjadi lead berita adalah tentang tiga besar dunia, tanpa melihat lagi apakah definisi primary forest yang digunakan peta GFW/WRI tersebut adalah hutan primer berdasarkan standar keilmuan dan peraturan perundangan di Indonesia.

Membentuk Opini

Opini yang terbentuk dari contoh kasus ini membuat seolah-olah Indonesia gagal menjaga kekayaan sumber daya alamnya secara berkelanjutan. Padahal faktanya, informasi ini jelas tidak tepat karena Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi secara terukur.

Penggiringan opini dengan kamuflase informasi akan menjadikan publik kita minder, tidak percaya dengan kemampuan negara sendiri, dan lebih bangga merujuk pada kemampuan negara lain.

Sajian data yang dikamuflasekan juga menjadi ancaman pada pembentukan opini dan pengambilan kebijakan yang tidak tepat oleh para pihak. Publik seakan dimanjakan dengan data-data riset asing yang menggunakan metodologi dan definisi yang berbeda dengan kondisi di Tanah Air.

Padahal untuk sumber data kehutanan, Indonesia sebenarnya jauh melangkah maju. Untuk menghitung luasan deforestasi Indonesia, metodologi penghitungan telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen resmi negara berjudul National Forest Reference Emission Level (FREL) yang resmi dikeluarkan pada 18 September 2015.

Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC melalui proses verifikasi internasional pada November 2016. Hal ini menggambarkan bahwa metode dan data Indonesia sudah diterima (well-recognized) di dunia internasional.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mempunyai sistem Pemantauan Hutan sendiri yang independen dan diakui di dunia internasional yaitu National Forest Monitoring System/NFMS SIMONTANA), dan dipakai dalam pelaporan-pelaporan ke dunia Internasional, seperti laporan ke FAO, UNFCCC (termasuk FREL), dan UNFF.

Kamuflase versi WRI

Rujukan informasi dari banyak media mengambil data dan narasumber dari World Recources Institute (WRI) Indonesia, yang merupakan lembaga riset internasional pengelola platform Global Forest Watch (GFW).

Sajian informasi ke publik jadi dimaknai berbeda, karena WRI membuat grafik tren "primary forest loss" dengan rujukan narasumber riset GFW, namun menggunakan definisi primary forest yang berbeda dengan standar keilmuan maupun peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Hal ini bahkan sudah ditegaskan langsung oleh Menteri LHK RI Siti Nurbaya dengan meminta agar hasil kerja keras Indonesia menurunkan deforestasi tidak direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademik khususnya bidang studi kehutanan.

Karena jika publik tidak jeli dan lengkap membaca, maka kamuflase informasi dengan menganut adagium 'bad news is good news' lebih menonjol dan dipahami publik sebagai pesan utama, yakni 'Kehilangan hutan primer Indonesia nomor tiga dunia', daripada 'Indonesia berhasil menurunkan deforestasi selama tiga tahun terakhir' dengan berbagai upaya seluruh komponen bangsa.

Analisis dan grafik WRI menunjukkan tren primary forest loss, tetapi mereka mendefinisikan primary forest sebagai hutan dengan setidaknya 30% kepadatan tutupan pohon dari tahun 2002-2019. Jelas ini artinya bukan tren kehilangan hutan primer.

WRI juga menjelaskan bahwa meningkatnya penegakan hukum, adanya moratorium permanen pada hutan primer dan lahan gambut, menurunkan angka deforestasi di Indonesia dari 2017-2019. Ini jelas ''good news' yang diakui oleh WRI, meskipun seharusnya mengakui secara full bahwa ini adalah keberhasilan Indonesia sendiri, bukan karena tekanan dari internasional.

Namun ''good news' seperti itu tidak diangkat sebagai judul dan lead pembuka, hanya diletakkan pada bagian isi berita, dan semakin jauh posisinya dari lead dan paragraf utama.

Ini menciptakan ambigu bagi kalangan pembaca untuk bisa memahami keterkaitan informasi antara lead, paragraf dan badan berita. Ambigu informasi dikenal dengan noise (gangguan) berkomunikasi. Sehingga pesan yang akan dikirim dengan pesan yang diterima akan berbeda, atau disebut juga dengan kegagalan persepsi.

Jika sudah begini, untuk mendapatkan 'good news' hanya dipasrahkan kepada si pembaca sendiri. Apakah ia mau membaca sampai akhir, atau hanya cukup membaca judul dan lead pembuka? Semakin banyak paragraf dibaca, semakin paham dan tercerahkan.

Namun semakin malas membaca, maka akan semakin terkamuflasekan informasi yang diterima tentang capaian-capaian Indonesia khususnya di sektor kehutanan.

Perlu diingat, dari hasil penelitian menunjukkan literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah sekali.(Kompas,26/3/2018).

Trend Deforestasi

Dari total kehilangan hutan primer seluas 3,8 juta ha se dunia yang dihitung University of Maryland dalam sajian data GFW ataupun WRI tersebut, Indonesia kehilangan 324.000 ha. Angka ini turun 5 persen dibanding tahun 2018.

Sebenarnya inilah fase terendah deforestasi di Indonesia lebih dari satu dekade, setelah jor-joran izin di dekade yang lalu-lalu.

Penurunan angka ini dimulai dari corrective action atau aksi koreksi sejak masa awal transisi pemerintahan dari Presiden SBY ke Jokowi.(Dapat dilihat dalam grafik tabel).

dokpri
dokpri
Upaya korektif pemerintah di sektor kehutanan, salah satunya berhasil menekan laju deforestasi tahunan Indonesia yang berkurang signifikan dari 3,5 juta ha dalam periode 1996-2000, turun tajam menjadi 0,44 juta ha.

Namun 'good news' ini sayangnya jarang terpilih sebagai judul, lead pembuka, ataupun bahkan pada paragraf penunjang.

Kamuflase Informasi Karhutla

Kamuflase informasi berkaitan dengan deforestasi sangat sering dikaitkan dengan sajian data kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia.

'Good news' bahwa Indonesia mampu menekan karhutla pada skala masif pasca kejadian 2015, tetap dinilai kurang menarik untuk diangkat jadi judul utama.

Selama empat tahun yakni periode 2015-2019, karhutla tercatat membakar 5,4 juta ha. Relatif lebih rendah bila dibandingkan luasan area terbakar pada kejadian Karhutla tahun 1997/1998 yang mencapai 11 juta ha, karhutla 2006 yang mencapai 10 ha, atau realitas bahwa pada kurun waktu satu tahun saja di 2015 area terbakar mencapai 2,6 juta ha.

Jarang sekali ada sajian informasi membandingkan kerja keras Indonesia mengendalikan karhutla 2019, dengan karhutla di negara seperti Kanada (1,8 juta ha), Amerika Serikat (1,9 juta ha), Amazon, Brazil (2,2 juta ha), Siberia (6,7 juta ha), dan Australia seluas hampir 12 juta ha.

Padahal pada masa itu Indonesia dengan tantangan geografis, SDM pemadaman, dan lanskap pemilik salah satu gambut terluas di dunia, di 2019 mengalami Karhutla seluas 1,6 juta ha, setelah pada 2016-2018 berhasil menekan Karhutla hingga rata-rata 80-90 persen dari kasus 2015.  

Termasuk soal sajian informasi asap lintas batas (Transboundary Haze Pollution). Setelah kejadian 2015, hanya satu kali terjadi asap lintas batas ke negara tetangga Singapura dan Malaysia di tahun 2019, itupun hanya beberapa saat saja.

Saat itu banyak yang mengusung adagium 'bad news' secara masif dengan narasi kegagalan Indonesia mengatasi karhutla, daripada mengedepankan upaya-upaya pengendalian yang terus dilakukan tanpa henti. Asap yang melintas hitungan hari membuat banyak pihak terlupa bahwa sepanjang tahun 2016-2018, negara tetangga selalu mendapat asupan oksigen lebih dari keberhasilan Indonesia mengendalikan Karhutla.

Padahal bila ''good news'' dikedepankan, akan mampu membentuk kepercayaan publik pada kesungguhan dan keberhasilan Indonesia melakukan intervensi kebijakan perlindungan gambut, dan perubahan paradigma kerja dari pemadaman ke pengendalian yang telah membawa Indonesia pada fase baru penanganan Karhutla. Bahkan lebih hebat dari negara lainnya di dunia.

Good News: Nasionalisme

Nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Membangun komunikasi publik yang baik dengan orientasi good news (berita baik) juga sangat penting artinya untuk membuktikan bahwa negara hadir di tengah rakyatnya.

Kamuflase informasi yang secara terus menerus dan gagal dipahami publik, akan bermuara pada rendahnya kepercayaan atas kemampuan negara meski sudah menjalankan sistem nilai good governance.

Publik dikhawatirkan cenderung percaya pada kalangan luar, dan menafikan pencapaian yang dilakukan putra putri terbaik Bangsa. Paham-paham kolonialisme begini tentu sangat berbahaya bagi nasionalisme bahkan kedaulatan kita sebagai bangsa besar.

Meski masih jauh dari berbagai target ambisius, Indonesia tengah berada di jalur yang benar dalam hal pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Banyak capaian diraih bukan karena kerja pemerintah semata, namun juga kerja keras seluruh komponen masyarakat. Ini perlu dijaga dengan rasa percaya dan saling mendukung sesama anak Bangsa.

Informasi yang tidak tepat, apalagi disampaikan secara berulang-ulang, akan dipercaya sebagai kebenaran. Sebaliknya, informasi yang tepat bila tidak pernah disajikan dengan jujur, maka kebenaran hanya akan ekslusif dinikmati mereka yang paham saja.

Saatnya kita menyampaikan pendapat dan kritik dengan jujur, serta tidak hanya berfokus pada narasi-narasi negatif tentang Bangsa kita sendiri.

Mengutip pendapat pengajar psikologi dan sains kognitif dari Universitas Sheffield, Tom Stafford: Alasan kenapa berita berpusat pada hal-hal negatif karena berhubungan dengan insting ketakutan manusia.

Apa yang didapat dari menakut-nakuti Bangsa sendiri? Siapa yang akan menangguk untung dari rasa takut ini?

Mari kita lawan ketakutan dengan membangun optimisme sebagai bagian dari Bangsa yang besar. Tetaplah bangun narasi-narasi positif. Karena di luar sana, belum tentu juga ada yang sehebat Indonesia.
___
*Mantan Pemred Pekanbaru Pos dan JPNNTV, Tenaga Ahli Menteri LHK, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Riau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun