Selama saya tinggal di sekolah berasama, tak ada namanya kekerasan yang hingga melukai sesama atau pun menciptakan persoalan yang cukup heboh.
Perkelahian antara anak asrama kadang ada. Bullying dari kakak kelas untuk adik kelas juga kadang ada. Namun, hal itu seolah diterima sebagai bagian relasi dalam kehidupan berasrama.
Kendati demikian, kekerasan yang sampai menyebabkan luka dan bahkan kematian tak terjadi. Barangkali hal ini terjadi karena sistem yang telah terbangun di sekolah berasrama.
Ketika melakukan kesalahan besar, seorang siswa langsung dikeluarkan tanpa pertimbangan tertentu.
Keluar dari sekolah berasrama karena faktor kenakalan kerap mengandung risiko. Misalnya, pihak sekolah memberikan rekomendasi yang bisa menyebabkan si anak kesulitan untuk mendaftar di sekolah lain.
Sistem kerja seperti ini cukup mendukung sistem pendidikan sekolah berasrama agar meminimalisir kekerasan. Jadinya, peserta didik berupaya sedemikian agar menjauhi kekerasan karena sanksinya cukup keras.
Tak ayal, biasanya seorang peserta didik keluar dari sekolah berasrama lebih karena faktor akademis, sering bolos dari asrama, hingga kesalahan minor lainnya.
Agar sekolah berasrama benar-benar menjadi tempat yang nyaman untuk peserta didik, setiap pihak membangun sistem kerja tertentu.
Ketika orangtua memasukkan anak ke sekolah berasrama, dia pun mendukung sistem kerja di sekolah berasrama. Termasuk, terbuka menerima keputusan dari pihak sekolah saat anaknya dikeluarkan atau diberi sanksi.
Lalu, pihak sekolah juga perlu transparans dalam menjelaskan sistem kerja di sekolah berasrama. Segala informasi menyangkut sekolah berasrama tersampaikan dengan jelas.
Apabila terjadi masalah, sekolah berasrama pun harus berani untuk bertanggung jawab sekaligus terbuka untuk menyampaikan fakta yang terjadi.