Beberapa pekan lalu, seorang ibu menceritakan niatnya untuk memasukan anak laki-lakinya dan keponakannya ke sekolah berasrama. Pilihan sekolah berasrama untuk keduanya pun berbeda.
Ibu itu menilai bahwa jika mereka ditempatkan di sekolah berasrama yang satu dan sama, tujuannya pun tak akan tercapai. Makanya, mereka harus dipisahkan.
Pilihan ibu itu dibuat ketika melihat dan memerhatikan tingkah laku dari anak laki-lakinya dan keponakannya di rumah. Keduanya kerap membuat onar, keluar rumah tanpa minta ijin, bahkan sudah berani untuk pulang ke rumah menjelang malam.
Ibu ini tak begitu kuat untuk menangani dua orang anak yang sementara masuk fase awal masa remaja. Kesibukan dan tuntutan dari bisnisnya membuatnya tak bisa membagi waktu dengan baik. Malahan, dia makin terbebankan dengan tingkah laku dari anaknya dan keponakannya.
Maka dari itu, dia memutuskan untuk memasukan mereka ke sekolah berasrama. Motifnya hanya satu agar kedisiplinan kedua anak itu terbentuk.
Ibu ini memilih sekolah berasrama yang relatif sama dalam metode pendampingan. Kebetulan ibu ini memilih sekolah berasrama yang dikelolah oleh kaum biarawan di dua kota berbeda.
Motif mendisiplinkan anak menjadi salah satu tujuan dari orangtua memasukkan anak di sekolah berasrama. Motif orangtua ini tentu saja terlahir karena sudah melihat dan merasakan hasil yang tercapai.
Umumnya, sekolah berasrama mempunyai seperangkat aturan yang mesti ditaati. Para siswa berjalan seturut aturan. Ketika seorang siswa tak mentaati aturan, dia bisa mendapat sanksi tertentu. Bahkan dia bisa dikeluarkan.
Pola seperti ini membentuk seorang siswa untuk hidup disiplin, tahu mengatur waktu, dan bahkan terbuka untuk menerima konsekuensi berupa sanksi saat melanggar aturan.
Saya sendiri merupakan bentukan sekolah berasrama di salah satu sekolah swasta di Flores. Sekolah berasrama Katolik. Tiga tahun di SMP dan tiga tahun di SMA berasrama.
Sekolah berasrama ini melingkupi pelbagai kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan tak hanya di sekolah.
Di asrama juga ada serangkaian kegiatan. Ada kegiatan spiritual, pembentukan jasmani lewat olahraga bersama, kerja fisik berupa kerja di kebun, membersihkan kompleks asrama, dan sekolah.
Pendek kata, ada pelbagai kegiatan bermanfaat yang diatur dalam kehidupan berasrama. Kegiatan di asarama pun sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan di sekolah.
Berkat rangkaian kegiatan itu, para siswa dilatih untuk mengatur waktu. Tak tepat waktu atau tak terlibat kegiatan kerap kali dibarengi dengan peringatan dan atau sanksi tertentu. Kendati demikian, sistem ini malah membantu dalam membentuk kedisipilinan peserta didik.
Motif pembentukan kedisiplinan menjadi asalan orangtua saya memasukkan saya ke asrama. Orangtua hanya ingin agar saya dan kebetulan adik-adik saya juga masuk sekolah berasrama, bisa mempunyai cara hidup disiplin.
Pola pikir itu pun tak jauh berbeda dari pikiran orangtua lainnya. Anak dimasukkan ke sekolah berasrama agar pola hidupnya terbentuk seturut pola kedisiplinan tertentu yang diperoleh dari sekolah berasrama.
Di Flores, sekolah berasrama yang cukup umum adalah seminari. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan untuk calon pastor.
Seleksinya agak ketat. Banyak yang mendaftar. Akan tetapi, kuota untuk masuk kerap kali terbatas. Proses pendidikannya terbilang ketat. Tiap semester selalu ada yang diberhentikan dan dikeluarkan baik karena faktor hidup kedisiplinan, maupun kualitas akademik.
Kendati demikian, tak sedikit dari mereka yang dikeluarkan malah berkembang baik saat berada di luar sekolah non berasrama. Di antaranya malah berprestasi di sekolah. Hal ini tak lepas dari pembentukan yang sudah terbentuk di dan dari sekolah berasrama.
Untuk itu, sekolah berasrama tetap menjadi alternatif yang cocok untuk pembentukan seorang anak, terlebih khusus untuk membangun kedisiplinannya. Ini juga menjadi motif mendasar orangtua untuk memasukan anak mereka ke sekolah berasrama.
Lantas, bagaimana menghindari kekerasan di sekolah berasrama?
Selama saya tinggal di sekolah berasama, tak ada namanya kekerasan yang hingga melukai sesama atau pun menciptakan persoalan yang cukup heboh.
Perkelahian antara anak asrama kadang ada. Bullying dari kakak kelas untuk adik kelas juga kadang ada. Namun, hal itu seolah diterima sebagai bagian relasi dalam kehidupan berasrama.
Kendati demikian, kekerasan yang sampai menyebabkan luka dan bahkan kematian tak terjadi. Barangkali hal ini terjadi karena sistem yang telah terbangun di sekolah berasrama.
Ketika melakukan kesalahan besar, seorang siswa langsung dikeluarkan tanpa pertimbangan tertentu.
Keluar dari sekolah berasrama karena faktor kenakalan kerap mengandung risiko. Misalnya, pihak sekolah memberikan rekomendasi yang bisa menyebabkan si anak kesulitan untuk mendaftar di sekolah lain.
Sistem kerja seperti ini cukup mendukung sistem pendidikan sekolah berasrama agar meminimalisir kekerasan. Jadinya, peserta didik berupaya sedemikian agar menjauhi kekerasan karena sanksinya cukup keras.
Tak ayal, biasanya seorang peserta didik keluar dari sekolah berasrama lebih karena faktor akademis, sering bolos dari asrama, hingga kesalahan minor lainnya.
Agar sekolah berasrama benar-benar menjadi tempat yang nyaman untuk peserta didik, setiap pihak membangun sistem kerja tertentu.
Ketika orangtua memasukkan anak ke sekolah berasrama, dia pun mendukung sistem kerja di sekolah berasrama. Termasuk, terbuka menerima keputusan dari pihak sekolah saat anaknya dikeluarkan atau diberi sanksi.
Lalu, pihak sekolah juga perlu transparans dalam menjelaskan sistem kerja di sekolah berasrama. Segala informasi menyangkut sekolah berasrama tersampaikan dengan jelas.
Apabila terjadi masalah, sekolah berasrama pun harus berani untuk bertanggung jawab sekaligus terbuka untuk menyampaikan fakta yang terjadi.
Sejauh ini pengalaman saya, sekolah berasrama mengatasi persoalan kekerasan karena sistem kerja yang teratur. Tiap anak mempunyai pendamping yang siap melihat, memerhatikan, dan mengevaluasi peserta didik.
Pendamping mempunyai perang penting karena dia akan terus memotir setiap pergerakan anak di sekolah berasrama. Makanya, sangatlah dibutuhkan pendamping yang mau bekerja 24 jam sehari agar proses pendampingan pun berjalan baik.
Lalu, orangtua diberikan waktu untuk datang berkunjung. Paling tidak, sekali sebulan. Tujuannya, tak hanya anak bisa bertemu dengan keluarga, tetapi juga anak bisa berbagi cerita tentang pengalaman di asrama.
Peserta didik juga diberikan kesempatan untuk keluar dari asrama. Biasanya disebut izinan umum di hari Minggu atau pun hari libur tertentu dengan jangka waktu tertentu. Maksudnya, agar peserta didik tak begitu asing dengan situasi di luar.
Sekolah berasrama tetap menjadi pilihan karena itu menjadi salah satu tempat yang kondusif untuk mendisiplinkan anak. Saya sendiri sudah merasakan dampak positif dari sekolah berasrama hingga saat ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H