Keberhasilan Real Madrid meraih trofi ke-14 dari ajang Liga Champions kian menegaskan statusnya sebagai raja Eropa. Prestasi ini akan sangat sulit terkejar dalam waktu dekat.Â
Pasalnya, AC Milan yang berada di bawah Madrid masih mengoleksi 7 trofi. Liverpool dengan 6 trofi.Â
Kedua tim ini mungkin membutuhkan lebih dari 10 tahun agar bisa menyamai prestasi Madrid. Itu pun kalau Madrid tak sekalipun juara dalam rentang waktu tersebut. Â
Namun, hal itu sangat sulit terjadi apabila menimbang perkembangan tim-tim sepak bola modern saat ini, termasuk Real Madrid.Â
Ya, banyak tim-tim Eropa yang sudah berbenah. Rata-rata liga-liga besar Eropa memiliki tim-tim kuat yang bisa bersaing di Liga Champions.Â
Selain karena faktor tradisi seperti Bayern Munchen dari Jerman, juga faktor kekuatan finansial seperti yang terjadi dengan Paris Saint Germain (PSG).
Akan tetapi, di balik perkembangan ini, Madrid menunjukkan cara bagaimana memenangkan sebuah kompetesi seperti di La Liga Spanyol dan Liga Champions.
Cara ini yang agaknya berbeda dengan pendekatan rival klasik Madrid di La Liga Spanyol. Barcelona.Â
Barcelona memperpanjang paceklik gelar di Liga Champions. Reputusinya makin menurun di Eropa.Â
Cara Madrid di La Liga Spanyol dan Liga Champions menunjukkan letak perbedaannya dengan Barcelona.Â
Tak cukup bermain indah dan atraktif. Tim juga harus tahu meraih kemenangan dan mendapatkan gelar walau bermain dengan gaya yang berseberangan opini publik.
Filosofi ini yang melatari performa Madrid di final Liga Champions. Hanya dua tembakan tepat sasar, dan salah satunya berbuah gol tunggal yang menyatakan kemenangan Madrid di final Liga Champions kontra Liverpool.Â
Terlepas dari taktik Madrid di bawah kepelatihan Ancelotti, proyek yang sementara dibangun oleh Florentino Perez di Madrid perlu mendapat perhatian.Â
Presiden yang pro dengan Liga Super Eropa ini menjalankan cara kerja yang sangat berbeda di beberapa musim terakhir. Sangat bertolak belakang dengan gaya Barcelona.
Pertama, ketegasan Perez dalam soal transfer dan urusan kontrak pemain.Â
Madrid tak lagi bermain dengan melibatkan uang besar dalam transfer untuk mendapatkan pemain baru. Madrid cenderung mencari pemain muda bertalenta dan kemudian ditempa di skuad Madrid.
Vinicius Jr, Camavinga, dan Rodrygo adalah  contoh dari cara kerja Madrid pada beberapa musim terakhir.Â
Ketiga pemain ini sudah menjadi tulang punggung penting Madrid, dan mereka menjadi masa depan Madrid ketika Benzema, Modric dan Toni Kross tidak lagi berada di  Madrid.Â
Lalu, Madrid juga tak gampang tunduk pada kontrak pemain. Para pemain veteran yang mau bertahan harus ikut aturan transaksi di Madrid.Â
Ketika para pemain tak setuju, klub tak segan-segan untuk membiarkan mereka pergi.Â
Langkah Perez ini  mulai dilakukan oleh Barcelona bersama dengan Joan Laporta. Hal ini dilakukan karena ketidakstabilan keuangan klub.Â
Sejauh ini, Klub menetapkan aturan di mana para pemain mesti tunduk pada kontrak yang diberikan klub. Apabila tak setuju, klub tak segan-segan untuk memberikan pintu keluar untuk pemain.Â
Masalahnya, Barca lebih cenderung mencari pemain jadi dan senior yang beharga murah.Â
Aubameyang dan D. Alves adalah dua contoh pemain yang didatangkan Barca pada bulan Januari lalu.Â
Belum lagi isu mendatangkan Robert Lewandowski dari Bayern Munchen.Â
Kendati para  pemain ini bisa memberikan kontribusi, namun fondasi permainan Barca tak kuat untuk jangka waktu yang lama.Â
Berbeda ketika pemain didatangkan saat masih muda dan ditempah bersama tim sejak dini seperti yang dilakukan Madrid.Â
Memang tak gampang, tetapi perkembangan mereka bisa membeirkan fondasi kuat pada tim dan memperbaiki performa tim secara umum.Â
Kedua, pola perekrutan di Madrid sangat bebas dari keterikatan latar belakang dan status budaya.
Bukan rahasia lagi jika konteks budaya Catalunya sangat melekat kuat dengan Barcelona. Â
Tak jarang, pemain baru asal Spanyol kerap diasosiasikan dengan kultur Catalunya.Â
Sementara di Madrid, situasinya lebih multibudaya. Pemain asal Spanyol tak begitu mendominasi. Pemain asal akademi juga tak begitu mencolok.Â
Pelbagai latar belakang pemain menghuni skuad Madrid. Para pemain bisa beradaptasi dan merasa sama di Madrid karena tak terikat pada kultur tertentu.Â
Barangkali yang membedakan di antara pemain adalah masa bermain dari setiap pemain, yakni antara pemain senior dan yunior. Namun mereka tak begitu terikat pada budaya tertentu.Â
Tantangannya, Madrid kehilangan pamor di timnas Spanyol atau pun pemain didikan akademi harus berupaya kuat untuk bersaing di tim utama.Â
Namun, pada sisi lain hal itu malah membangun iklim yang kondusif untuk para pemain dari luar. Mereka tak tertantang oleh kultur dan tradisi klub yang terikat pada konteks di mana klub itu berada.Â
Belum lagi kriteria pemain yang harus lebih disesuaikan dengan gaya atau filosofi permainan klub daripada gaya pelatih dan pemain.Â
DNA Barca dengan gaya Tika-taka kerap menjadi salah satu referensi dalam merekrut pemain baru.Â
Berbeda dengan Madrid yang tak semata-mata berpatok pada satu gaya. Kerap gaya pelatih yang perlu diikuti.Â
Misalnya, gaya permainan Madrid ketika menundukkan Liverpool. Madrid cenderung bermain bertahan mengkuti gaya permainan Ancelotti.Â
Situasi ini menguntungkan para pemain dan klub secara umum.
Sebaliknya, banyak pemain Barca yang harus menyesuaikan dengan gaya permainan yang telah digariskan dalam tim sejak lama.Â
Menimbang situasi ini, tak berlebihan jika menyatakan bahwa kekuatan Madrid akan terus mendominasi di La Liga Spanyol.Â
Terlebih lagi jika Barca hanya berharap untuk mendapatkan gaya permainan Tika-taka daripada menyesuaikan diri dengan kondisi skuad dan taktik dari pelatih.
Salam Bola
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H