Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agar Orangtua Mantu dan Ipar Tidak Ikut Campur Urusan Rumah Tangga Kita

22 Oktober 2021   21:16 Diperbarui: 22 Oktober 2021   21:26 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pexels/Deepak Khirodwala via Kompas.com

Seorang teman bercerita tentang kehidupan berkeluarga dari saudaranya. Nama saudaranya, sebut saja Deni. Pekan lalu, Deni mengalami kecelakaan sepeda motor. Kecelakaan tunggal.

Gegara kecelakaan ini, dia menderita luka yang cukup serius. Salah satu pahanya harus dioperasi guna membetulkan posisi tulangnya.

Singkat cerita, selama Deni di rumah sakit, istri dan keluarga dari istrinya tak pernah datang menjenguk. Deni kemudian bercerita bahwa sebelum kecelakaan itu, dia sempat beradu mulut dengan istrinya.

Karena perdebatan itu, Deni merasa tak tenang dalam perjalanan ke rumah temannya. Barangkali karena situasi batinnya, dia tak bisa menguasai laju sepeda motornya. Maka terjadilah kecelakaan.

Perdebatan dengan istrinya hanya seperti "gunung es" tentang masalah yang terjadi di dalam keluarganya. Menurut teman saya dan sekaligus saudari dari Deni, pihak dari istrinya mulai dari orangtua mantu hingga iparnya cenderung memojokkan Deni.

Pemojokannya itu diwarnai oleh gosip dan rumor yang tidak benar tentang Deni. Jadinya, rumah tangga Deni terlihat seperti dipengaruhi oleh keluarga istrinya, daripada relasi antara dia dengan istrinya.

Dia seolah terkungkung oleh pandangan dan sikap dari keluarga istrinya selama berkeluarga lebih dari 4 tahun. Belum lagi, istrinya yang lebih mengiakan apa yang dikatakan oleh orangtua dan iparnya daripada mendengarkan Deni.

Persoalan yang dialami oleh Deni ini kadang terjadi di lingkup keluarga. Keluarga salah satu pasangan ikut campur urusan suami dan istri.

Padahal, ketika kedua belah pihak menikah, peran dari keluarga dari kedua belah pasangan seyogianya lebih mendukung hidup rumah tangga mereka, dan bukannya untuk memilih salah satu pihak semata. Kecuali kalau ada kesalahan serius yang memang sangat membutuhkan campur tangan keluarga.

Untuk mengatasi persoalan dari kecenderungan keterlibatan keluarga salah satu pasangan dalam urusan rumah tangga, sebaiknya suami dan istri menjadi orang pertama yang mengantisipasinya sekaligus mengatasinya.

Berikut adalah tiga hal yang perlu dilakukan suami-istri ketika terlibat masalah di antara keduanya.

Pertama, Berdiam diri

Filosofi "diam itu emas" kadang bermakna dalam sebuah relasi. Diam di sini bukan berarti menerima begitu saja perlakuan kesewenang-wenangan dari pasangan, tetapi mengontrol diri untuk membalas kelakuan dari salah satu pihak.

Tak jarang terjadi, sikap diam membuat salah satu pasangan menjadi salah tingkah. Bahkan dia bisa merasakan ada yang tak beres dari relasi di antara kedua belah pihak.  

Seorang teman berhadapan dengan kelakuan suaminya yang sering mabuk. Menariknya, mereka tinggal serumah dengan mamanya.

Ketika suaminya mabuk, dia tak sekalipun membicarakan itu kepada mamanya atau pun memarahinya di depan anak-anak.

Begitu pula, ketika suaminya sudah sadar dari kemabukan. Awalnya, dia menegur. Namun, karena kejadiannya sering terulang, dia pun memilih untuk diam.

Sikap diamnya ini malah membuat suaminya kerap salah tingkah ketika sadar dari pengaruh alkohol. Bahkan suaminya yang jadi lebih sering meminta maaf karena sudah mabuk daripada menunggu istrinya untuk menasihati.

Terlihat bahwa upaya teman itu berdiam diri dengan persoalan suaminya mendapat titik baik. Berdiam diri memang pada satu sisi bisa menyebabkan luka batin. Namun, di sisi lain ini bisa menyelamatkan muka pasangan dari pikiran negatif anggota keluarga lainnya.  

Ya, tak semua hal perlu kita bicarakan. Ada hal-hal yang menjadi konsumsi pribadi, apalagi kalau hal-hal itu bisa dikendalikan di dalam diri.

Kalau kita sudah tak bisa mengontrol emosi, baru kita mencari orang yang tepat untuk berkonsultasi.

Kedua, Membicarakan masalah dengan pihak netral. 

Kalau memang masalah bersuami-istri sulit didiamkan, lebih baik kita perlu ungkapkan dan luapkan. Cara meluapkan masalah ini sangat perlu diperhatikan. Tak boleh di tempat yang salah.

Misalnya, kita tak boleh memanfaatkan media sosial untuk meluapkan emosi kita kepada pasangan.

Selain itu, kita perlu mencari orang yang tepat untuk membicarakan masalah yang terjadi dengan pasangan. Orang yang tepat itu adalah orang yang netral. Kalau boleh, dia adalah sosok yang tak mempunyai ikatan kekeluargaan.

Dalam tradisi pernikahan Kristen Katolik, ada pihak yang berperan sebagai "Bapa dan Mama saksi Perkawinan." Mereka biasanya ditentukan oleh pengantin wanita dan biasanya mereka berasal dari pihak netral.

Tugas mereka sebenarnya menjadi "orangtua angkat" yang bisa membantu perjalanan hidup pasangan. Dengan ini, pasangan bisa berkesempatan untuk menyampaikan keluhan mereka apabila terjadi persoalan.  

Ada banyak pihak netral di lingkungan sosial. Mereka bisa saja teman akrab, kaum agamawan/religius/rohaniwan/wati. Pendeknya, mereka itu adalah orang-orang yang bisa dipercayai untuk menjaga rahasia dan membantu hidup perkawinan.

Tujuan berkonsultasi dengan pihak netral adalah agar menghindari keberpihakan pada salah satu pasangan. Makanya, pihak netral ini bisa juga melihat, menilai, dan mengolah persoalan secara berimbang. Tak sekadar setuju pada pasangan yang menyampaikan keluh kesah.  

Dengan kata lain, pihak netral ini bukan saja mendengar apa yang terjadi, tetapi dia juga bisa menjadi alat untuk mencari solusi untuk persoalan yang sementara terjadi.

Ketiga, Berani untuk membela pasangan ketika dipojokan oleh keluarga

Membela pasangan sendiri itu sangat perlu. Apalagi pembelaan itu bertujuan untuk menjauhi tuduhan dan dugaan palsu tentang pasangan.

Pembelaan ini bukan bertujuan untuk mencipatkan jarak dengan keluarga. Akan tetapi, ini bertujuan agar anggota keluarga tahu dan sadar bahwa pasangan hidup itu bukan orang lain. Dia sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Pada titik inilah, dia bukan saja membela pasangannya dari pandangan salah yang muncul dari keluarganya, tetapi juga berupaya mempertahankan persatuan dan perkawinan mereka.

Ya, membatasi campur tangan keluarga dalam urusan rumah tangga dimulai dari kedua belah pihak, suami dan istri. Keduanya mesti tahu dan sadar bahwa mereka adalah sebuah keluarga, dan mau berdiri di atas kaki sendiri. Dengan ini, hubungan mereka tak boleh dinahkodai oleh salah satu keluarga mereka.

Tidak gampang membangun persatuan suami dan istri. Hal ini membutuhkan pengertian dan kesetiaan dari kedua belah pihak dalam melihat dan mengevaluasi persoalan yang terjadi di dalam keluarga.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun