Seorang teman bercerita tentang kehidupan berkeluarga dari saudaranya. Nama saudaranya, sebut saja Deni. Pekan lalu, Deni mengalami kecelakaan sepeda motor. Kecelakaan tunggal.
Gegara kecelakaan ini, dia menderita luka yang cukup serius. Salah satu pahanya harus dioperasi guna membetulkan posisi tulangnya.
Singkat cerita, selama Deni di rumah sakit, istri dan keluarga dari istrinya tak pernah datang menjenguk. Deni kemudian bercerita bahwa sebelum kecelakaan itu, dia sempat beradu mulut dengan istrinya.
Karena perdebatan itu, Deni merasa tak tenang dalam perjalanan ke rumah temannya. Barangkali karena situasi batinnya, dia tak bisa menguasai laju sepeda motornya. Maka terjadilah kecelakaan.
Perdebatan dengan istrinya hanya seperti "gunung es" tentang masalah yang terjadi di dalam keluarganya. Menurut teman saya dan sekaligus saudari dari Deni, pihak dari istrinya mulai dari orangtua mantu hingga iparnya cenderung memojokkan Deni.
Pemojokannya itu diwarnai oleh gosip dan rumor yang tidak benar tentang Deni. Jadinya, rumah tangga Deni terlihat seperti dipengaruhi oleh keluarga istrinya, daripada relasi antara dia dengan istrinya.
Dia seolah terkungkung oleh pandangan dan sikap dari keluarga istrinya selama berkeluarga lebih dari 4 tahun. Belum lagi, istrinya yang lebih mengiakan apa yang dikatakan oleh orangtua dan iparnya daripada mendengarkan Deni.
Persoalan yang dialami oleh Deni ini kadang terjadi di lingkup keluarga. Keluarga salah satu pasangan ikut campur urusan suami dan istri.
Padahal, ketika kedua belah pihak menikah, peran dari keluarga dari kedua belah pasangan seyogianya lebih mendukung hidup rumah tangga mereka, dan bukannya untuk memilih salah satu pihak semata. Kecuali kalau ada kesalahan serius yang memang sangat membutuhkan campur tangan keluarga.
Untuk mengatasi persoalan dari kecenderungan keterlibatan keluarga salah satu pasangan dalam urusan rumah tangga, sebaiknya suami dan istri menjadi orang pertama yang mengantisipasinya sekaligus mengatasinya.